Oleh: Arief B. Iskandar
Zionisme
Sebelum berbicara mengenai Zionisme, kita harus memahami terlebih dulu hubungan Yahudi dengan Zionisme.
Dari apa yang dinyatakan Roger Geraudy dalam bukunya, The Case of Israel, ada isyarat bahwa ketika berbicara mengenai Yahudi, hal itu terkait dengan: (1) Yahudi sebagai agama; (2) Yahudi sebagai sebuah bangsa; (3) Yahudi sebagai keturunan; (4) Yahudi sebagai sebuah gerakan politik (baca: Zionisme).
Para tokoh Yahudi sendiri memiliki penafsiran yang berbeda tentang permasalahan tersebut.
Sebagai sebuah agama, bangsa, sekaligus keturunan, Yahudi telah eksis sejak berabad-abad yang lalu; bahkan sejak zaman Nabi Musa a.s.
Adapun Yahudi sebagai gerakan politik adalah fenomena baru yang lahir pada masa imperialisme dan kolonialisme Barat. Dengan kata lain, Zionisme adalah pemikiran baru, bukan bagian dari historisitas Yahudi Internasional, tetapi derivat dari pemikiran Barat, khususnya Eropa.
Pakar politik dan pemikir Kristen justru mengenal paham Zionisme sebelum paham itu terlintas di benak orang Yahudi.
Paham itu bermula dari pengusiran-pengusiran orang-orang Yahudi. Tidak tahan dengan perlakukan seperti itu, kaum Yahudi kemudian melakukan eksodus besar-besaran ke Eropa. Kejadian ini telah membuat orang-orang Eropa merasa risih terhadap keberadaan mereka. Akhirnya, orang-orang Eropa berkeinginan memindahkan mereka dari daratan Eropa. Hal ini telah mendorong mereka untuk mencari tempat berlindung.
Inilah alasan yang menyebabkan negara-negara Eropa, terutama Inggris, membentuk gerakan-gerakan Yahudi bukan untuk kebaikan Yahudi, bukan pula sebagai wujud belas kasihan kepada Yahudi, tetapi sebagai jembatan untuk mempertahankan kepentingan Eropa di wilayahnya.
Zionisme adalah gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara khusus bagi komunitas Yahudi (di Palestina). Negara ini merupakan institusi yang mengumpulkan kembali orang-orang Yahudi yang sudah bertebaran di seluruh dunia (diaspora).
Secara politis, tahun 1882 adalah titik-tolak keinginan tokoh-tokoh Yahudi untuk mewujudkan negara Zionis Israel. Theodore Hertzl merupakan tokoh kunci yang mencetuskan ide pembentukan negara tersebut. Ia menyusun doktrin Zionismenya dalam bukunya berjudul Der Judenstaad (The Jewish State).
Sejak tahun 1882, Zionisme merupakan sebuah gerakan politik yang secara sistematis berusaha mewujudkan negara Yahudi. Secara nyata, gerakan ini didukung oleh tokoh-tokoh Yahudi yang hadir dalam kongres pertama Yahudi Internasional di Basel (Swiss) tahun 1895. Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 300 orang, mewakili 50 organisasi zionis yang terpencar di seluruh dunia. Mereka lalu mendirikan basis kekuatannya di Wina (Austria) tahun 1896.
Imperialisme
Dilihat dari perkembangan sejarah dunia, terutama sejak masa renaissance di Eropa hingga kini, dunia telah dibentuk dengan ide-ide-baik yang mendasar ataupun turunan-yang sebagian besarnya dimunculkan oleh orang-orang keturunan Yahudi (Ini berarti terkait dengan Yahudi sebagai keturunan).
Hal inilah yang disimpulkan oleh Max I Dimont seorang Yahudi, yang secara angkuh mengungkapkan dalam bukunya, Jews, God, and History.
Buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan ini, membuat sebuah paragraf penutup, “Jika seseorang memandang pencapaian Yahudi melalui kaca mata meterialistik, ia hanya melihat sebuah minoritas tak berarti yang hanya memiliki secuplik negeri dan sedikit bataliyon. Ini tampaknya musykil. Akan tidak tampak musykil jika orang menanggalkan prasangka-perasangka yang menutup mata dan memandang dunia bukan sebagai ‘benda’ tetapi sebagai sebuah ‘ide’. Si orang itu pasti akan melihat bahwa dua pertiga ide dunia beradab sudah diatur oleh ide-ide bangsa Yahudi-ide Moses, Jesus, Paul, Spinoza, Marx, Freud, Einstein….”
Dalam sudut pandang ideologi, ada tiga ide besar yang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran dan keterlibatan orang-orang Yahudi, yakni Kapitalisme, Sosialisme/Komunisme dan Zionisme.
Kapitalisme dan Sosialisme/Komunisme pertama kali digagas di Eropa. Ideologi ini dibangun atas dasar pemikiran-pemikiran mendasar tentang manusia dan kehidupan. Peran orang-orang Yahudi untuk menghasilkan ide-ide yang merusak dunia ini sangatlah besar.
Seperti yang ditulis oleh Max I Dimont ketika mengomentari masa kebangkitan Eropa (renaissance), “Tetapi citra akan terkaburkan jika kita menghapuskan nama-nama kontributor Yahudi. Dalam periode ini, menjulang tinggi figur-figur Yahudi seperti Marx, Freud, Bergson, Einstein…”
Dari Karl Marx muncul ideologi Sosialisme/Komunisme.
Masih dalam buku yang sama, Max I Dimont memberikan komentar tentang Karl Marx, tentunya dengan sudut pandang Yahudinya yang sangat kental, “Karl Marx, anak seorang Yahudi yang berada, dilahirkan pada tahun 1818 di Trier, Jerman…”
Ide ekonomi kapitalis dunia tidak bisa juga dilepaskan dari seorang David Ricardo. Dia dianggap sebagai Bapak Kapitalisme yang telah merumuskan teori-teori ekonomi Kapitalisme penting tentang utang, kepemilikan, upah dan tentang kuantitas uang.
Bagaimana kedekatan David Ricardo ini dengan Yahudi? Kembali Max I. Dimont menulis, “…Ayah Ricardo telah mengadakan kebaktian Yahudi untuk pemakaman anaknya itu…”
Apa yang dirasakan oleh manusia dengan kedua ideologi (yakni Kapitalisme dan Sodialisne/Komunisme) yang dicetuskan oleh orang-orang Yahudi ini?
Kedua ideologi ini telah membawa kehancuran yang dahsyat bagi dunia. Ini terutama karena kedua-duanya menjadikan imperialisme (penjajahan) sebagai instrumen untuk meneguhkan sekaligus mengembangkan dirinya ke seluruh dunia.
Hubungan Zionisme dengan Imperialisme
Lalu bagaimana hubungan antara Kapitalisme dan Sosialisme/Komunisme–yang sama-sama menggunakan imperialisme sebagai instrumennya–dengan Yahudi sebagai sebuah agama dan Yahudi sebagai sebuah gerakan politik (Zionisme)?
Sebagai sebuah agama yang hanya bersifat ritual dan spiritual, Yahudi tidak bisa berdiri sendiri. Agama Yahudi membutuhkan sebuah ideologi politik. Oleh karena itu, para penganut agama Yahudi ada yang bergabung dengan ideologi Kapitalisme dan ada pula yang bergabung dengan Sosialisme/Komunisme.
Namun demikian, sebagai sebuah gerakan politik (Zionisme), Yahudi lebih memanfaatkan Kapitalisme–yang memang lebih dominan sekaligus lebih berjaya dengan imperialismenya–sebagai kendaraan politiknya. Oleh karena itu, Zionisme berhasil menuai berbagai keuntungan politis berkat dukungan imperialisme Barat sejak imperialisme tersebut dimulai hingga saat ini.
Dibandingkan dengan imperialisme Barat–meskipun secara tidak langsung dicetuskan oleh orang-orang Yahudi karena merekalah yang menggagas ideologi Kapitalisme–Zionisme jelas kalah pamor. Kepentingan imperialisme sendiri muncul lebih awal ketimbang kemunculan gerakan bersatunya Yahudi sebagai kekuatan politik yang sangat berpengaruh di Barat.
Historisitas gerakan Zionisme bukan bagian dari historisitas Yahudi internasional dan tidak pernah dikenal oleh orang-orang Yahudi Yaman, India, atau Irak; tetapi hanya dikenal oleh orang-orang Yahudi di Dunia Barat.
Gerakan ini juga tidak pernah dikenal pada Abad Pertengahan. Ia baru dikenal pada abad ke-19, yakni bersamaan dengan meletusnya peperangan melawan imperialisme Barat di berbagai wilayah.
Karena kesadaran pengikut zionis akan pentingnya bersandar kepada pihak luar, maka mereka bergabung dengan sentral kekuatan imperialisme yang mampu untuk menjamin perlindungan dan keamanan terhadap mereka. Untuk itu, Yahudi memindahkan kegiatan dan markas mereka ke Amerika, agar terus mendapat jaminan perlindungan dan keamanan Amerika.
Simbiosis Barat imperialis dengan kaum Zionis Yahudi menemukan bentuk idealnya ketika mereka bersama-sama menghadapi kekuatan kaum Muslim yang saat itu berada di bawah naungan Daulah Islamiyah Utsmaniyah.
Orang-orang Yahudi ‘rela’ mengubur permusuhannya dengan orang-orang Barat Kristen. Padahal mereka belum pupus ingatannya terhadap peristiwa yang menimpa warga Yahudi Eropa. Raja Spanyol yang beragama Katolik bertanggung jawab terhadap pembantaian dan pemusnahan kaum Yahudi dari daratan Eropa tidak lama setelah jatuhnya benteng Islam terakhir di wilayah Andalusia–sekarang menjadi daerah Portugal dan Spanyol–tahun 1492.
Zionisme, Imperialisme dan Terorisme atas Dunia Islam
Kita tahu, sejak tampil sebagai pemenang dalam Perang Dunia II dan juga Perang Dingin hingga saat ini, pijakan kebijakan politik luar negeri AS–sebagai pengusung utama ideologi kapitalisme–sebetulnya tidak pernah berubah, yakni imperialisme (penjajahan). Yang berubah adalah cara dan sarananya saja.
Jika pada masa lalu imperialisme lebih menonjolkan kekuatan fisik (militer), maka saat ini instrumen yang digunakan adalah politik dan ekonomi.
Pada era imperialisme non-fisik inilah hubungan Zionisme dengan sentra kekuatan imperialisme Barat ini, terutama AS, jutru semakin erat dan bahkan semakin ‘mesra’. Hal itu dapat dilihat dari berbagai kebijakan politik luar negeri (baca: imperialisme) Amerika, khususnya di Timur Tengah, yang selalu menguntungkan kaum Zionis. Keduanya bahkan sama-sama terlibat secara intens di dalam menebarkan teror di Dunia Islam.
Hal ini sebetulnya mudah dipahami ketika kita mengetahui siapa sesungguhnya yang menentukan kebijakan politik luar negeri Amerika.
Menurut beberapa sumber bahwa politik luar negeri AS banyak dipengaruhi Kongres dan lobi Yahudi; di samping agen intelijen dan media massa.
Kongres dan lobi Yahudi yang dikenal dengan AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee) memainkan peranan vital dalam politik LN Amerika sejak tahun 1960-an walaupun implikasinya tidak kentara (invisible) di lapangan, tetapi mereka yang bertanggung jawab dalam hal tersebut sangat merasakan sepak terjangnya yang kuat.
Kongres memainkan peran substansial dalam membentuk kebijakan LN Amerika, terutama untuk kawasan Timur Tengah, antara lain dengan melindungi keamanan entitas Zionis, eksistensi dan superioritasnya di berbagai aspek karena entitas ini diproyeksikan sebagai agen Barat kawasan ini.
Konsekuensinya, Kongres konsisten membuat segala upaya untuk mengalokasikan porsi bantuan LN yang signifikan buat Israel pada saat konflik Israel vis-a-vis Arab terus bereskalasi.
Pada saat PBB mengeluarkan resolusi yang sangat lunak tentang kebiadaban Israel, Kongres AS sering berbuat sebaliknya. Mereka melakukan voting untuk mengecam Palestina.
Terkait AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee), dalam kasus yang pernah terjadi, diduga AIPAC terlibat langsung dalam kasus klaim Yerusalem sebagai ibukota Israel pada masa Presiden AS Donald Trump. Apa pasal? Menurut sebagian analis, konon Trump saat itu sedang dalam ancaman impeachment karena dugaan kecurangannya dalam Pilpres AS, yakni ‘bermain mata’ dengan pihak berwenang Rusia. Untuk menghadapi ancaman impeachment saat itu, Trump berusaha mengambil hati AIPAC dengan cara mendukung secara terbuka klaim Israel atas Yerussalem sebagai ibukotanya. Dengan itu trump berharap dukungan AIPAC dalam menghadapi impeachment.
Apalagi sebelum Pilpres AS pada November 2016, beberapa kali Trump secara tegas dan vulgar menyatakan bahwa jika ia terpilih, ia akan makin menguatkan hubungan dengan Israel. Di dalam konferensi tahunan AIPAC, Trump pernah menyatakan, “Palestina harus datang ke meja perundingan dengan mengetahui bahwa ikatan antara AS dan Israel tak bisa diputuskan.” (Detik.com, 22/3/2016).
Inilah gambaran demikian kuatnya pengaruh Yahudi, khususnya AIPAC, di Amerika Serikat.
Mengapa Yahudi demikian kuat di AS, padahal jumlah mereka sedikit. Edward Tivnan dalam bukunya The Lobby, Jewish Political? Power and American Foreign Policy meneliti tentang sejauh mana kekuatan masyarakat Yahudi di AS.
Dalam buku itu disebutkan beberapa sumber kekuatan Yahudi dalam politik AS, antara lain:
Pertama, senjata politik. Lewat ini kelompok Yahudi akan dapat mencap atau memberi label anti Israel, Pro Arab, atau anti semit kepada mereka yang mengeritik Israel.
Kedua, suara (vote) masyarakat Yahudi. Meskipun Amerika memiliki tradisi demokrasi yang kental, namun sesungguhnya hanya sedikit penduduk AS yang memberikan suaranya, bahkan hampir setengah dari pemilih tidak memberikan suara. Sebaliknya, enam juta Yahudi yang hanya 3% dari seluruh penduduk bisa secara maksimal memberikan 90% suara mereka.
Ketiga, kemampuan orang-orang Yahudi untuk memberikan uang dalam kampanye-kampanye politik. Kekuatan uang-yang menonjol-dalam pemilihan di Amerika Serikat hampir seusia dengan negara ini. Yahudi pertama yang memberikan dana politik nasional adalah seorang bankir Yahudi bernama Abraham Feinberg. Dia merupakan penyokong dana pemilihan Hary Truman dan John F. Kennedy. Yahudi Amerika Serikat sangat ‘dermawan’ terhadap calon yang mereka percaya akan mendukung kepentingan mereka.
Di samping itu, setiap orang mengakui bahwa media massa merupakan elemen tak terpisahkan dari proses politik Amerika yang secara tidak langsung memberikan kontribusi pada politik LN-nya. Liputan media selalu saja memberikan impresi negatif dan pandangan miring terhadap orang Arab dan komunitas Islam.
Pada sisi lain, media Amerika secara konsisten mempresentasikan Israel dalam a positive light, kendati kebrutalan dan kebiadaban terus dilakukannya.
Tidak dipungkiri memang bahwa media Amerika telah didominasi oleh Yahudi yang berhasil menampilkan sosok rakyat Arab dan umat Islam seperti monster yang menteror dan mendestabilkan dunia.
Pada masa kejayaan media cetak, misalnya, dari 1.700 koran terbitan AS, 3% adalah milik Yahudi. Jumlah ini mencakup surat kabar yang terkemuka terutama dalam masalah internasional. Misalnya The New York Times dan The Washington Post.
Pada era kejayaan media cetak pula, para hartawan Yahudi AS juga menguasai majalah mingguan yang berpengaruh seperti Newsweek, Time, US News & World Report, ataupun mingguan intelektual seperti ‘Nation, New Republic, The New York Times Review of Books,_ dan lain-lain.
Lalu pada era kejayaan televisi, mereka juga menguasai tiga televisi besar di AS seperti The Columbia Broadcasting System, The American Broadcasting Corporation’ dan _The National Broadcasting Corporation. Perlu dicatat bahwa pada masanya orang AS lebih suka menontot TV dari pada membaca.
Dengan demikian, pengaruh TV di AS untuk membentuk opini sangatlah besar.
Lebih dari itu, eratnya hubungan Zionisme dengan imperialisme AS dapat dilihat dari beberapa fakta berikut.
Semasa masih menjadi presiden, di Los Angeles, Bill Clinton (14/8/2000), misalnya, pernah berkata, “Kami harus menjalin hubungan erat dengan Israel, sebagaimana telah saya lakukan sepanjang kekuasaan saya sebagai presiden dan sepanjang 52 tahun lampau.”
Lalu pada awal-awal kekuasaannya sebagai presiden AS, George W. Bush berkomentar pada jumpa pers yang ia lakukan dengan Toni Blair di Kamp David pada tanggal 23/2/2001, “Kami akan mengulang kembali seluruh kebijakan-kebijakan politik (sebelumnya) untuk wilayah-wilayah dunia. Salah satunya adalah wilayah yang telah menyita sebagian besar waktu, yakni sekitar Teluk Persia dan Timur Tengah.”
Dua pekan sebelum itu, Bush ketika mengucapkan selamat kepada Ariel Sharon dalam Pemilu tanggal 6/2/2001, menyatakan, “Amerika akan bekerjasama dengan semua pemimpin Israel; sejak berdirinya pada tahun 1948. Hubungan bilateral kami sangat kokoh layaknya batu karang; sebagaimana komitmen Amerika terhadap keamanan Israel dan adanya kepercayaan besar terhadap PM Sharon.”
Hal yang sama ditunjukkan oleh Presiden AS berikutnya, Donald Trump. Salah satunya, yang paling jelas dan paling baru, adalah terkait klaim Yerussalem sebagai ibukota Israel.
Sikap dan dukungan yang sama terhadap Yahudi-Israel juga ditunjukkan oleh Presiden AS Joe Biden saat ini.
Demikianlah sikap resmi Pemerintah AS terhadap Israel.
Wajar jika berbagai kebijakan politik yang ditempuh Israel-termasuk tindakan terorisme-di Timur Tengah akan selalu mendapatkan dukungan atau, paling tidak, restu dari AS.
Urgensi Khilafah Global
Dari paparan di atas, belum terlambat waktunya bagi kaum Muslim untuk menyadari bahwa musuh mereka saat ini, selain Zionisme Israel, adalah Imperialisme Barat (terutama AS).
Oleh karena itu, sudah saatnya pula kaum Muslim menjadikan mereka sebagai musuh utama yang segera harus dimusnahkan di muka bumi. Sayangnya, hal itu mustahil dapat dilakukan jika kaum Muslim tidak memiliki sebuah institusi yang kuat; sebuah institusi (negara) yang berbasiskan ideologi Islam.
Sebabnya, ideologi Barat–yakni Kapitalisme yang melahirkan imperialisme dan Zionisme–hanya mungkin dilawan dengan ideologi Islam, dan institusi (negara) semacam AS dan Yahudi hanya mungkin dapat dilawan dengan institusi (negara) Islam global, yakni Khilafah Islam.
Tanpa ideologi Islam dan Khilafah Islam global, jangan berharap kita mampu menghancurkan AS dan Yahudi; bahkan sekadar untuk melepaskan diri dari cengkeraman keduanya.
Alhasil, saatnya kaum Muslim sedunia secara bersama-sama memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islam global, yakni Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah yang kedua.
Baginda Rasulullah saw. bersabda:
…ثم تكون خلافة على منهاج النبوة
Selanjutnya akan datang (kembali) Khilafah (yang berjalan) di atas metode kenabian (HR Ahmad).
WalLaahu a’lam bish-shawab. []