Akar Bencana Ekologis: Buruknya Tata Kelola Kapitalis?

Oleh. Afiyah Rasyad

Bencana alam kerap terjadi di negeri ini. Tsunami Aceh akhir tahun 2004 masih segar dalam ingatan. Gempa bumi di Lombok juga belum hilang dari ingatan. Pasigala (Palu, Sigi, dan Donggala) beberapa tahun lalu diterjang tsunami dan likuivaksi masih menyisakan duka dan derita. Banten juga pernah berduka, tsunami menerjang pesisir dan menelan 429 korban, hilang 154 dan 16. 082 jiwa mengungsi. Sebanyak 1485 orang terluka, dan hampir seribu rumah rata dengan tanah.

Bulan Juli, negeri ini kembali disapa bencana ekologis. Banjir yang melanda Garut pada Jumat (15/7) malam menyebabkan hanyutnya sembilan rumah. Selain itu, puluhan rumah mengalami kerusakan (merdeka.com, 17/7/2022). Bukan hanya banjir di Garut, di Karawang juga disapa banjir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan 304 rumah terdampak banjir di Kecamatan Telukjambe Barat Desa Karangligar, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (16/7). Banjir disebabkan intensitas curah hujan yang tinggi, sehingga aliran sungai Cidawolong dan Kedunghurang meluap ke permukiman penduduk pada Sabtu sore (CNNIndonesia.com, 17/7/2022).

Hampir setiap tahun, kerusakan alam di Bumi Pertiwi ini semakin meningkat. Tata kelola lahan yang serampangan banyak dijumpai di berbagai penjuru negeri. Kerusakan demi kerusakan akibat ulah tangan manusi terus terjadi tanpa solusi tuntas. Apalagi jika perusahaan besar yang berburu kekayaan alam ataupun pengelolaan lahan industri. Tak ayal, kerusakan dan bencana akan gemar bertandang ke wilayah tersebut. Allah Swt. telah memberi peringatan pada kaum muslim dalam surah Ar-Rum ayat 41:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Padahal Allah-lah yang telah menciptakan manusia dan alam semesta ini. Berbagai kerusakan dan musibah yang disebabkan oleh pengingkaran terhadap hukum Allah ini telah menimbulkan kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan, kehidupan yang terasa sempit, kehidupan yang menakutkan karena ketidakamanan dan kehidupan yang serba mengkhawatirkan. Allah Swt. berfirman:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta”. (QS Thahaa: 124)

Menelaah Akar Bencana Ekologis Tersebab Tata Kelola Kapitalis

Banjir bandang yang menyapu Garut menjadi salah satu dari sekian banyak bencana ekologis yang disebabkan oleh pembangunan kapitalistik. Hal itu sesuai pernyataan Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum. Dia menilai bahwa banjir di Garut tidak hanya akibat curah hujan tinggi, tetapi lebih dari itu, banjir terjadi karena adanya pembabatan dan alih fungsi lahan kawasan hulu sungai (merdeka.com, 17/7/2022).

Kawasan resapan air di hulu Sungai Cimanuk banyak dilakukan konservasi lahan menjadi perkebunan, area wisata, dan lain sebagainya. Di samping itu, penebangan hutan untuk berbagai kepentingan, seperti penambangan, begitu marak. Hal itu menyebabkan rusaknya lingkungan dan rangkai ekosistem hingga terjadi banjir.

Nahasnya, perhatian negara terhadap bencana banjir bandang Garut yang telah menelan banyak korban dan menghancurkan banyak pemukiman sangat minim. Bencana banjir tersebut seolah tidak mendapat penanganan serius sebab masih terus saja terjadi. Padahal, kondisi kerusakan hulu sungai sudah lama berlangsung. Apalagi saat curah hujan tinggi dan cuaca ekstrem. Semakin jauh dari nalar ketika penambangan baru di Gunung Papandayan yang merupakan daerah hulu Sungai Cimanuk, misalnya, malah mendapatkan izin. Wajar saja banjir terus terjadi karena akar permasalahannya tidak kunjung diselesaikan.

Jika demikian, maka akar bancana ekologis ini perlu dilihat lebih jauh. Ada dua faktor penyebab alih fungsi lahan di hulu sungai yang tidak dapat dihentikan hingga kini. Dua faktor itu antara lain:

Pertama, adanya kebijakan pesanan korporasi.

Pemerintah pusat maupun daerah sering kali tampak membebek dalam menetapkan sebuah kebijakan. Adanya korporasi yang berkepentingan di area tersebut tentu tak sekadar menyuntikkan dananya secara free. Ada kompensasi yang harus diberikan. Maka, lipatan-lipatan pesanan korporasi kerap tertuang dalam kebijakan. Meski pemerintah telah membuat tegulasi, akan tetapi izin sering kali dikantongi korporasi.

Derasnya politik transaksional dalam sistem kapitalisme, melahirkan kepentingan abadi, ikatan kepentingan antara kekuasaan dan finansial, antara penguasa dan pengusaha. Dana pemilu ataupun pilkada yang tidak gratis, bahkan menghabiskan dana besar, menuntut penguasa yang terpilih harus membalas budi para korporasi atau pengusaha yang menyuntikkan dananya dalam pemilihan itu.

Bentuk balas budi ini direalisasikan dengan mematuhi berbagai kesepakatan di antara mereka. Sudah menjadi rahasia umum, kebijakan pesanan kerap dilakukan demi memuluskan kekuasaan. Perizinan pembangunan di daerah hulu salah satu konsekuensi dari balas budi itu. Naudzubillah.

Kedua, pembangunan yang kapitalistik

Dengan dalih pertumbuhan ekonomi, perizinan pembangunan properti, penambangan, dan pembangunan lainnya di hulu sungai terus dilakukan. Dengan adanya kesibukan pembangunan, maka diharapkan kurva ekonomi meninggi dan lapangan pekerjaan semakim bertambah. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat dianggap akan mampu diwujudkan di tengah-tengah masyarakat.

Kedatangan investor justru diharapkan
Selain itu, banyaknya investor yang mau demi menumbuhkan perekonomian sebuah perusahaan. Ketika perusahaan yang semakin berkembang pesat, hal itu dianggap akan mengurangi pengangguran dengan membuka lapangan pekerjaan baru. Alih-alih kesejahteraan dan lapangan kerja teraih, justru kenyataan pahit yang mendera. Kegiatan penambangan dan pembangunan di wilayah hulu tak jua menambah devisa negara secara signifikan. Asas manfaat benar-benar diterapkan oleh perusahaan kapitalistik tersebut. Sehingga, perusahaan hanya berburu keuntungan besar.

Demikianlah tabiat kapitalisme dalam ranah ekonomi. Tak boleh ada kerugian menyapa korporasi. Apa pun caranya, meski harus menumbalkan ekosistem dan kelestarian lingkungan tidak menjadi soal, yang penting keuntungan harus diraih sacara total.

Dampak Negatif Bencana Ekologis

Berbagai kerusakan yang dilakukan manusia telah nyata membawa datangnya bencana ekologis. Apabila bencana ini terus terjadi, maka akan berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Dampak buruknya antara lain:

1. Tercemar dan rusaknya lingkungan
Sudah menjadi rahasia umum, ulah tangan manusia dalam merusak lingkungan, dalam hal ini korporasi kapitalis, membuat lingkungan tercemar dan rusak. Keanekaragaman hayati musnah dan tatanan ekosistem pun kacau. Limbah dan polusi yang dihasilkan dari pabrik dan penambangan menjadikan lingkungan tercemar dan mendatangkan penyakit bagi masyarakat.

Allah tidak pernah menzalimi manusia, bahkan justru senantiasa memberikan nikmat kepada manusia. Adapun manusia kebanyakan tidak bersyukur dan bahkan berbuat kesalahan dan kemaksiatan. Kemaksiatan adalah bentuk kezaliman kepada diri sendiri. Allah Swt. berfirman:

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS An-Nisaa: 79)

2. Penderitaan rakyat kecil
Selain kerusakan alam, bencana ekologis yang rutin terjadi akan membawa penderitaan dan kesengsaraan pada rakyat. Kerugian finansial karena rumah terseret banjir misalnya, akan menambah penderitaan rakyat. Belum lagi korban jiwa, hal itu tentu semakin membuat hati rakyat terluka dan nestapa.

Berapa banyak rumah-rumah terkena abrasi dan tanah longsor, serta banjir bandang. Berapa banyak nyawa yang sudah melayang karena bencana ekologis. Hal iti tentu membuat hidup rakyat semakin sengsara. Sudahlah memenuhi kebutuhan pokok individunya susah, ditambah rasa khawatir atas datangnya bencana bagi masyarakat yang langganan banjir dan tanah longsor.

Itulah dampak negatif dari bencana ekologis. Apabila penanganan dari pemerintah santai, maka bisa jadi bencana susulan akan terus datang menyapa, semakin merusak alam, mencemari lingkungan, dan menambah penderitaan bagi manusia.

Tata Kelola Alam yang Baik dan Ramah Lingkungan

Segala kebaikan hanyalah bersumber dari Dzat Yang Mahabaik. Sudah terbukti bahwa sistem kapitalisme membawa dampak negatif bagi masyarakat, alam, dan kehiduoan. Maka, mengambil solusi dari Dzat Yang Mahabaik adalah pilihan yang tepat. Allah menjadikan Islam bukan sekadar agama, namun juga sebagai aturan yang membawa rahmat bagi semesta alam. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin memiliki aturan yang sangat terperinci mengenai pembangunan dan tata kelola lingkungan agar tidak terjadi bencana ekologis. Walaupun terjadinya bencana merupakan ketetapan Allah Swt., tetapi manusia wajib berikhtiar agar terhindar dari bencana tersebut.

Ikhtiar yang maksimal dan optimal tak cukup hanya bertumpu pada ikhtiar individu semata, melainkan harus skala negara karena negara memiliki kekuatan menyelesaikannya dan berwenang untuk menetapkan kebijakan. Sistem politik Islam yang bebas dari campur tangan korporasi pada sistem pemilihannya menjadikan kebijakan yang lahir akan independen, tak akan ada kebijakan pesanan, bebas dari pengaruh para korporasi itu sendiri.

Negara akan memiliki masterplan dalam mengurus tata kelola lingkungan. Terjadinya banjir akan diteliti dengan cermat oleh para ahli yang lahir dari sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Pembiayaan penelitian sepenuhnya ditanggung negara. Bahkan, negara akan memperketat perizinan alih fungsi lahan karena daerah resapan harus terlindungi agar tidak terkena banjir. Negara juga memiliki pemetaan, mana saja daerah yang boleh dikonversi, termasuk boleh dijadikan daerah pemukiman; dan mana yang harus dilindungi, seperti kawasan hutan lindung. Selain regulasi yang tegas dan prorakyat, hukum sanksi dalam Islam juga bersifat menjerakan sehingga siapa pun yang melanggar, misalnya menambang tanpa izin, akan mendapatkan sanksi administrasi sesuai berat ringannya pelanggaran. Ada beberapa langkah yang akan ditegakkan dalam tata kelola lingkungan oleh negara:

1. Untuk Kawasan Hutan Lindung. Tidak boleh ada kegiatan budidaya apa pun, penebangan, pembakaran hutan, membangun kawasan industri atau pemukiman, atau mengerjakan kegiatan apa pun yang akan menurunkan fungsi hutan lindung.

2. Kawasan Resapan Air. Tidak diperkenankan mendirikan bangunan di kawasan resapan air yang akan menghalangi meresapnya air hujan secara besar-besaran. Pembangunan jalan raya juga dihindari agar tidak menyebabkan pemadatan tanah dan terganggunya fungsi akuifer. Vegetasi yang ada di tempat ini agar dijaga dan tidak dilakukan penebangan komersial.

3. Kawasan Sempadan Sungai. Sepanjang sempadan sungai tidak diperkenankan digunakan untuk ruas jalan, didirikan bangunan, pengerukan pasir, penebangan, dan kegiatan budidaya. Pada sempadan sungai harus dilakukan penanaman pohon yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas resapan air dan menjaga agar tidak terjadi penebangan dan pengambilan vegetasi.

4. Kawasan Sekitar Mata Air. Di kawasan sekitar mata air, yakni pada radius 200 meter, tidak diperkenankan untuk kegiatan budidaya, penambangan pasir, ataupun penebangan pohon.

Siapa saja yang menyalahi tata kelola, maka sanksi akan ditegakkan tanpa tebang pilih. Inilah kesempurnaan Islam dalam menyelesaikan permasalahan bencana ekologis akibat pembangunan kapitalistik dan kebijakan yang tidak independen. Oleh karenanya, agar bencana ekologis bisa terselesaikan dan malapetaka yang menimpa umat berakhir, urgen sekiranya negeri ini menerapkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi