Polemik Kebocoran Data, di Mana Penjagaan Negara?

Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)

Jumlah penduduk Indonesia melebihi 200 juta jiwa. Tentu saja data ini sudah banyak yang memiliki hak suara. Namun, apa jadinya jika data yang sudah masuk ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) diduga diretas dengan mudahnya? Lantas bagaimana kemanan data yang sudah diretas kemudian di jual secara terbuka?

Peretasan ini tentu membuahkan kebocoran data. Polemik ini seakan tiada ujungnya. Belum ada kepastian solusi kebocoran data sebelumnya, kini kebocoran data KPU menjelang Pemilu menerpa. Keberadaan tawaran data dengan sejumlah harga sudah tercium di dunia maya. Sang peretas tanpa malu dan takut menawarkannya dengan harga mencapai satu miliar secara terbuka.

Diberitakan CNBNIndonesia.com (30/11/2023), ratusan juta data KPU bocor. Akun bernama Jimbo di Breachforum menjual data itu senilai US$74 ribu atau sekitar Rp 1,2 miliar. Selain menjual, Jimbo juga membagikan 500 data contoh. Selain itu juga mengunggah beberapa tangkapan layar dari website Cek DPT online milik KPU sebagai verifikasi data. Namun demikian, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) merespons dugaan kebocoran data pemilih yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Juru Bicara BSSN Ariandi Putra, pihaknya telah melakukan komunikasi dan koordinasi kepada pihak KPU terkait upaya investigasi berkenaan dengan dugaan yang dialami.

Alarm Penjagaan Negara belum Menyala

Keberadaan data penduduk memang sangat diminati oleh orang-orang yang memiliki hajat politik lima tahunan. Tentu KPU akan memiliki data pemilih dari warga negara. Sekalipun data yang ada di KPU ini sifatnya umum, tetapi ia tetaplah data yang harus dilindungi dan dijaga.

Polemik kebocoran data yang terus terjadi dan kini diduga terjadi menjelang pesta lima tahunan, seharusnya menjadikan alarm penjagaan negara meraung lebih kencang. Sebab, adanya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah pemerintah sahkan pada tahun 2022, nyatanya tak membuat peretas dan penjahat online takut. Negara kurang ketat dalam menegakkan perlindungan data dan melakukan patroli siber.

Wajar saja penjagaan negara terkesan lemah. Hal itu disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menceraikan peran negara dengan rakyat. Tanggung jawab negara untuk memelihara urusan rakyat dikebiri oleh sistem ini. Belum lagi aroma bisnis dan keuntungan materi sangat mendominasi sistem kapitalisme ini sehingga membuat siapa pun berburu materi meski harus memperjualbelikan data pribadi yang dilindungi.

Lebih dari itu, iklim perpolitikan negeri ini juga rawan dipolitisasi. Segala kemungkinan bisa terjadi demi menambah keuntungan materi. Pun dengan sang peretas yang merasa sedikit bebas untuk menjual data pribadi tanpa khawatir sama sekali karena alarm penjagaan negara berbunyi setengah hati.

Islam Melindungi Keamanan Data Pribadi

Potensi kejahatan siber di dunia kapitalisme sangat besar peluangnya. Buktinya terjadi dugaan kebocoran data yang berulang dan muncul secara terbuka. Dalam kapitalisme, kasus itu dibiarkan begitu saja atau negara hadir dengan setengah hati dalam menjaga. Namun, kondisi seperti itu tak akan dijumpai saat Islam diterapkan oleh negara.

Islam memberikan perlindungan dan menjamin keamanan atas warga negara, baik itu di dunia nyata ataupun maya. Islam mewajibkan negara untuk melindungi data pribadi sedemikian rupa agar tak pernah disalahgunakan siapa saja. Negara wajib hadir di tengah urusan warga negara. Artinya, negara memiliki tugas melindungi, menjaga keamanan, dan memelihara urusan tiap individu rakyatnya.

Upaya preventif dan kuratif harus terus ditegakkan dalam segala hal, termasuk perkara keamanan data. Negara harus membina tiap individu rakyat terkait data pribadi, hak milik individu dan umum, serta pemanfaatan hak milik tersebut secara berkesinambungan dan berkala. Pembinaan itu tentu didasari dengan akidah Islam agar individu dan masyarakat bisa terjaga suasana keimanannya dan saling melakukan amar makruf nahi munkar saat terjadi dugaan peretasan data.

Selain pembinaan, tentu negara akan terus menjaga dengan ketat data-data warga negaranya. Negara akan melakukan patroli siber secara intens dan berkala agar tidak ada potensi data bocor atau semisalnya. Negara juga akan berinovasi bersama khubara (tim ahli) untuk terus meningkatkan proteksi data di dunia nyata dan dunia maya.

Dengan demikian, peluang bocornya data pribadi akan sulit terjadi. Namun, jika masih saja terjadi, maka khalifah akan memberikan sanksi tegas sesuai pandangannya yang bersandar pada syariat Islam. Pencurian data dan memperjualbelikannya merupakan tindakan kriminal yang merupakan bagian dari pelanggaran atas hak milik individu. Maka dari itu, khalifah akan memberikan sanksi yang memberikan efek jera bagi siapa saja yang meretas atau mencuri data. Sanksinya bisa penjara, diasingkan, atau mungkin hukuman mati sesuai dengan pandangan khalifah. Sebab, khalifah dalam Islam adalah penanggungjawab urusan rakyat. Sebagaimana sabda Nabi saw.,

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)

Penutup

Tegaknya kontrol negara hanya bisa terwujud saat negara menerapkan Islam dengan sempurna dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk kontrol dan proteksi keamanan data pribadi. Maka dari itu, saatnya umat Islam mencampakkan kapitalisme dan menegakkan sistem Islamdalam kehidupan individu, masyarakat,

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi