More Than Beauty (Part 1)

Oleh : Afiyah Rasyad

Suara deru motor menerobos kabut tebal di antara tambak garam. Meski fajar belum menyingsing, namun tambak garam sudah diramaikan oleh kincir air dan kincir angin. Lisan Faza dibasahi dengan kalimat thoyyibah. Sesekali kepalanya mengangguk pada sekelompok ibu yang menjemur ikan berkepala dua.

Kampus yang asri dan rindang telah menawarkan harum embun dan dedaunan di pagi hari. Paru-paru Faza dengan leluasa menikmati kesegaran udara yang masih alami. Parkiran masih sepi, hanya ada beberapa jama’ah yang menunggu waktu syuruq. Dengan hati-hati Faza bersandar ke pilar kokoh masjid tua itu.

Dia mengambil mushaf dan melantunkan ayat suci Al Qur’an. Surat Luqman berhasil melelehkan air matanya. Dadanya penuh sesak karena ayat yang dibacanya.

“Assalamu’alaykum, Dik!” terdengar sapaan lembut.

Faza segera menutup mushaf dan menghapus genangan air matanya.

“Wa’alaykumussalam warohmatullahi wabarokatuhu,” jawab Faza terbata.

“MasyaAllah, sudah lama menunggu?”

“Nggak kok, cuma 10 minit saja,” Senyum Faza menyapa Ruqoyyah.

“Baiklah, ayo kita mulai sekarang ya.”

Selanjutnya dua insan itu memilih teras selatan, yang agak sepi dan jarang digunakan, kecuali sholat Jum’at, Tarawih dan pengajian akbar. Ruqoyyah tiga bulan lalu bertemu Faza di Trans Jakarta. Mereka berkenalan dan saling bertukar nomor HP. Saat itu Faza masih dengan busana yang jauh dari kata layak. Jauh dari kata sopan.

Faza anak periang, usianya terpaut 3 tahun dengan dirinya. Ruqoyyah mengajaknya mengobrol. Mereka satu tujuan hendak ke Taman Ismail Marzuki. Di halte, Ruqoyyah selanjutnya mengajak Faza naik Kancil ke TIM. Semakin terjalin keakraban diantara mereka. Setiba di TIM, mereka berpencar. Karena Ruqoyyah harus mengikuti Seminar, sementara Faza hendak menonton teatrikal dan pagelaran musik.

Faza anak IKJ. Tampilan nyentrik menjadi ciri khasnya saat itu. Dia sudah lulus dan berprofesi sebagai bintang iklan dan artis pemeran pembantu di bererapa FTV.

Qodarullah, Ruqoyyah harus ikut orang tuanya pindah tugas. Rudin ayahnya tepat di belakang komplek rumah Faza, daerah pesisir. Ruqoyyah pindah ke kampung Faza sebulan setelah perkenalannya. Tentu saja Ruqoyyah bersuka cita. Mengingat dia pendatang dan tidak tahu bahasa ibu di sana. Maka, Faza satu-satunya orang yang bisa diandalkan. Kebetulan Ramadhan, dia off dari per-FTV-an.

Sinar mentari tak kunjung datang. Sementara Faza dan Ruqoyyah semakin asik dalam kajian rutin yang baru tiga pekan berjalan.

“So, kesia-siaan begitu yang diperoleh, jika kita tak berihsanul amal?” mimik Faza serius.

“Benar, Dik. Oleh karenanya dalam melakukan aktivitas, kita harus tahu dulu ilmunya. Niat ikhlash saja tidak cukup. Tapi harus sesuai hukum syara’. Agar tidak sia-sia,” jelas Ruqoyyah

Faza agak bermenung. Dia menyesali selama ini telah melakukan kesia-siaan. Dia memang tidak pernah mendengar Ruqoyyah mengharomkan pekerjaannya atau menyinggung penampilannya. Dia sadar diri bahwa aktivitasnya penuh keharoman. Faza juga menyadari, saat ini dia berhijab karena selain momen Ramadhan, dia mulai merasa risih dengan pakaiannya saat menemani Ruqoyyah keliling desa.

“Ehm… Kak Aya’, I want to ask something. Tapi jangan marah ya, please!” Faza dengan manja mengajukan pertanyaan.

To be continued….

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi