ANGGARAN MINIMAL KESEHATAN (MANDATORY SPENDING) ADALAH KOENTJI

apt. Imad Siddiq
Kesehatan adalah hal mendasar dan asasi bagi seluruh manusia. Negara bertanggung jawab akan kesehatan rakyatnya, tak terkecuali Negara Indonesia. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 3, “Ketiga, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Keberhasilan mengelola kesehatan rakyat adalah salah satu faktor keberhasilan mengelola Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang sehat tentu akan menghasilkan kebaikan-kebaikan. Sebaliknya, jika SDM sakit maka negara akan menanggung para pesakit yang malah menjadi beban negara. Sehingga, pengelolaan kesehatan ini mutlak perlu dilakukan dengan baik dan benar.
Pengelolaan kesehatan tentu berbiaya mahal. Sebab, bidang kesehatan ialah padat teknologi. Membutuhkan keahlian dan penguasaan teknologi tinggi. Negara yang berhasil mengelola kesehatan dengan baik artinya mereka menjadi Negara dengan penguasaan teknologi tinggi dan keahlian SDM yang tinggi pula. Pengelolaan kesehatan dengan anggaran seadanya tidak ada dalam sejarah manusia. Alhasil, jika ingin berkualitasnya suatu pengelolaan kesehatan memang mesti mahal. Tidak bisa tidak.
Data dari Our World in Data (2019) memperlihatkan bahwa peningkatan Belanja Kesehatan per kapita berkorelasi terhadap peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH). Meski memang ada pencilan data, USA yang tidak demikian.
Menurut OECD, US adalah outliers. Hal ini diperkirakan karena populasi US memiliki angka overweight dan obesitas tertinggi yang menguras biaya kesehatan pada beberapa dekade ini. Meski memang angka perokok di US lebih baik dibanding negara OECD lainnya yang tentu meningkatkan Angka Harapan Hidup (AHH).
Selain itu, para peneliti dalam artikel “Low Life Expectancy in the United States: Is the Health Care System at fault?”(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK62584/) meyakini tingginya belanja kesehatan di US namun tidak secara langsung meningkatkan Angka Harapan Hidup (AHH) disebabkan karena tingginya angka meninggal pada bayi dan tingginya angka kekerasan (kriminalitas) pada usia muda.
Hal inilah yang menyebabkan pembelanjaan kesehatan US yang tinggi tetapi tidak begitu bermakna bagi Angka Harapan Hidup (AHH) seperti trend di dunia.
Tentu belanja kesehatan per kapita ini tidak bisa dilepaskan dari peran negara. United Kingdom (UK) misalnya, justru hampir 75% pembelanjaan kesehatan didukung oleh negara. Sebaliknya, Justru US bahkan setengah pembelanjaan kesehatan itu didukung oleh swasta alih-alih jaminan kesehatan nasional. Hal ini dinilai realistis, melihat Pendapatan Negara Bruto/GDP US yang tinggi tentu tidak begitu sulit bagi mayoritas rakyat US (OECD Health Statistics, 2021).
Mengapa negara perlu hadir untuk mendukung tercukupinya belanja kesehatan ini?
Sebab kesehatan memang mahal harganya. Ini menjadi persoalan bagi rakyat di negara low income dengan Pendapatan Negara Bruto/GDP rendah. Ketika rakyat tidak bisa memastikan kesehatannya secara mandiri dan negara tidak hadir disana tentu ini adalah jalan yang buruk bagi rakyat dan tentu negara tersebut.
Maka disinilah pentingnya untuk memastikan negara memiliki Mandatory Spending kesehatan alias ‘kunci-an’ dalam penganggaran belanja kesehatan dari total belanja negara. Kenapa ini penting?
Pertama, Mandatory Spending adalah instrumen politik untuk memastikan keseriusan pemerintah dalam kepastian pengelolaan kesehatan rakyatnya. Ini ibarat kontrak jaminan antara pemerintah dan rakyat. Tanpa kontrak jaminan itu maka sulit untuk memastikan belanja kesehatan tidak dinomor sekiankan dengan belanja lainnya.
Kedua, Mandatory Spending adalah komitmen anggaran untuk menyelesaikan berbagai program kesehatan yang ada. Tanpa komitmen anggaran maka, sulit untuk dapat memastikan program kesehatan bisa berjalan dengan baik dari tahun ke tahun secara berkesinambungan.
Ketiga, Mandatory Spending adalah bentuk penjagaan terhadap dinamika kondisi kesehatan. Seperti kita ketahui, COVID-19 memang berhasil membuat negara-negara meningkatkan anggaran belanja kesehatan, tetapi apakah hal itu dapat bertahan jika tanpa adanya kondisi COVID-19? Rasanya belum tentu.
Keempat, Mandatory Spending adalah bentuk kerja riil demi peningkatan status kesehatan negara. Hal ini tertuang dalam Konsorsium Riset RESYST (Resilient and Responsive Health Systems) dengan anggota London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM) (https://resyst.lshtm.ac.uk/…/a-target-for-uhc-how-much…). Mereka mengatakan salah satu cara untuk tercapainya Universal Health Coverage (UHC) ialah dengan meningkatkan pembiayaan kesehatan negara minimal 5% dari Pendapatan Negara Bruto/GDP.
So, emang mandatory spending ini adalah instrumen penting. Data Bappenas menyatakan, “Tercatat 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia memiliki proporsi anggaran dibawah 10%”. Namun ketercapaian Mandatory Spending ini tidak serta merta dapat dikatakan bagus. Nyatanya banyak program yang tidak tepat sasaran.
Hal inilah yang diungkapkan dalam Indonesia Health System Review (2017) bahwa minimnya pendekatan berbasis bukti, fakta dan keahlian dalam perencanaan anggaran. Terlebih, anggaran kesehatan daerah banyak dipengaruhi oleh faktor politis demi sekedar mengejar ketercapaian indikator pembangunan nasional hingga dipengaruhi oleh kepentingan segelintir partai atau pihak. Kondisi ini berimbas memperburuk kualitas perencanaan dan realisasi anggaran kesehatan. Alhasil, memang diperlukan sistem monitoring dan evaluasi yang baik demi memastikan penggunaan anggaran kesehatan sesuai peruntukan.
Sayangnya, Indonesia justru akan berjalan mundur!
RUU Kesehatan hadir dengan niat menghapus Minimal Belanja Kesehatan yang sudah tercantum dalam Mandatory Spending Kesehatan. Melepaskan tanggung jawab negara dengan menghilangkan anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD diluar gaji. Hal ini sesuai amanat Pasal 171 ayat (1) dan ayat (2) UU NO. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Penghapusan UU no.36 tahun 2009 ini juga jelas-jelas melanggar TAP MPR no. 10 Tahun 2001. Ketetapan MPR No.10 MPR 2001 di Point 5a huruf 4 berbunyi : Menugaskan kepada Presiden untuk mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan 15% dari APBN. Dari amanat TAP MPR ini dibagi antara alokasi dari APBN minimal 5 persen dan alokasi dari APBD minimal 10 persen.
Terlebih, dikatakan bahwa penghapusan Mandatory Spending ini akibat ketidak becusan pengelolaan anggaran kesehatan para pelaksana, yang diakibatkan ketiadaan sistem monitoring dan evaluasi anggaran kesehatan yang mumpuni.
Ini diibaratkan suatu mobil tidak bisa jalan karena ada ban yang bocor, bukannya mengganti ban nya, tapi malah mobilnya yang dibakar! Seperti apa yang dikatakan @ecosocrights:
“Tindakan menghapus anggaran kesehatan wajib dalam RUU KESEHATAN itu adalah tindakan menghukum kaum miskin secara semena2 atas kejahatan yang mereka tidak lakukan. Pejabatnya yg korup/tidak mengelola/menggunakan anggaran secara tepat, kenapa kaum miskin yang dihukum?” [].
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi