Selama ini lingkaran setan hubungan kekuasaan dan kekayaan dipercaya sebagian publik banyak terjadi di dalam sistem politik demokrasi. Uang dipakai untuk mendapat-kan kekuasaan. Kekuasaan digunakan untuk mengeruk uang. Money to power, power to money.
Sebagian publik menyimpulkan banyak kursi kekuasaan di sistem demokrasi dihuni para pekerja yang sekadar mencari nafkah, bukan tempat para idealis memperjuangkan kepentingan rakyat. Kadangkala kita jumpai celetukan masyarakat bahwa motivasi terbesar seseorang masuk ke DPR ialah faktor ekonomi.
Para wakil rakyat bukan hanya memperkaya diri sendiri, tetapi juga harus mengembalikan modal yang didapat dari para pemodal dan koleganya untuk biaya politik pencalonannya. Jika tidak secara langsung maka dengan menjadi broker untuk bisa memberikan proyek-proyek kepada para pemodal. Jika perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang memuluskan semua itu dan menjadikannya legal. Kasus mafia anggaran, kasus korupsi proyek-proyek besar yang juga melibatkan orang-orang DPR memperkuat anggapan masyarakat.
Mengapa semua itu terjadi? Jawabannya adalah bahwa semua itu merupakan akibat logis dari penerapan sistem kapitalisme dengan politik demokrasinya. Kapitalisme mengajarkan asas manfaat sebagai pondasinya dan keuntungan materi sebagai tolok ukurnya. Kapitalisme mengajarkan bahwa segala upaya dan pengorbanan manusia itu harus bisa mendatangkan keuntungan materi.
Kapitalisme mendorong setiap orang menghitung apa saja yang dia lakukan dalam konteks untung rugi materi. Dalam kamus Kapitalisme tidak dikenal yang namanya pengorbanan. Yang ada adalah investasi. Berapa yang dikeluarkan dan berapa yang didapat sebagai imbalannya? Berapa yang harus diperoleh untuk mengembalikan modal atau biaya yang dikeluarkan disertai sekian persen keuntungan.
Karena itu terjadilah lingkaran setan uang dan kekuasaan. Uang digunakan untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk mengumpulkan uang dan berikutnya uang yang dikumpulkan itu untuk meraih kekuasaan dan begitu seterusnya.
Fenomena yang diungkap banyak pengamat politik menjadi tabiat dan cacat bawaan demokrasi. Sudah merupakan konsekuensi logis dari sistem politik demokrasi yang sarat modal. Selama sistem politiknya masih sama, fenomena itu akan tetap ada. Fenomena itu hanya akan bisa dihilangkan kalau sistem politiknya diubah secara total menjadi sistem politik yang berpijak pada politik ri’ayah (pelayanan dan pengurusan rakyat) dan tidak sarat biaya. Sistem politik yang seperti itu hanya sistem politik Islam. Itulah sistem Khilafah. [Mahfud Abdullah ; (Direktur Indonesia Change)]