H. M. ali Moeslim
BAGAIMANA masyarakat tidak meradang? surat edaran pertama kali yang mewajibkan pengguna transpormasi pesawat terbang untuk terlebih dahulu test PCR (Polymerase Chain Reaction), PCR merupakan metode pemeriksaan virus SARS Co-2 dengan mendeteksi DNA virus.
Patokan harga test PCR pertama kali itu Rp. 2500.000,- , karena banyaknya protes serta perbandingan negara lain maka pemerintah menurunkan menjadi Rp. 900.000,-, kemudian Rp. 450.000 – Rp. 550.000,-, saat ini juga karena banyaknya protes, harganya Rp. 300.000,-.
Terlepas dari harga yang sangat mahal, bukan mempersoalkan terjangkau atau tidaknya bagi “pengguna” transportasi pesawat terbang, namun terletak pada mainstream pemerintah dalam “melayani” Rakyat akan kebutuhan kebutuhannya atau apa yang menjadi tanggung-jawabnya.
Sebagaimana negara dalam sistem demokrasi, bahwa apapun itu dalam mengelola kehidupan bernegara maka tata aturannya dibuat oleh manusia dan harus merupakan suara yang terbanyak, begitupula untuk suatu perkara yang belum ada aturannya, maka mengkira-kira, meraba-raba, menunggu”dibuat” dulu regulasinya menjadi problem yang terkadang justeru menjadi lahan otoriterianism bagi kelompok tertentu.
Begitu pula negara dalam ideologi kapitalisme, negara sebagai institusi pasilitator saja, kehidupan umum diserahkan kepada mekanisme pasar, tidak jarang pihak pemerintah bahkan menjadi institusi pendukung liberalism yakni neo-liberalism dan “penjaga” para pemilik kapital dalam menguasai negara atau oligarki.
Test PCR adalah bagian dari kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab negara, begitupula keterkaitan dengan alat transportasi yang merupakan kebutuhan dan infra stuktur yang seharusnya memberikan kemudahan bagi masyarakat.
Alat test PCR sendiri yang pada awalnya di-impor, kini bisa diproduksi oleh BUMN bidang kesehatan yakni Bio-Farma, namun kenapa harganya masih bikin “klenger?”
Lain negara kapitalis, lain pula dengan negara Islam atau daulah khilafah, karena syariat islam itu aturannya melingkuoi segala aspek kehidupan (syumuliyah), maka mekanisme harga pun diatur oleh syariat islam.
Negara Islam (daulah islamiyah) akan menjaga kestabilan harga dengan dua cara:
Pertama: Menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariat yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik.
Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah Saw. melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi), Jika pedagang, importir, atau siapa pun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan Khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.
Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Adanya asosiasi importir, pedagang, dsb., jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang
Kedua: Menjaga keseimbangan supply dan demand. Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain. Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khaththab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa ra. di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash ra. di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum.
Ibn Syabbah meriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash ra. untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik.” (Lihat: Akhbârul-Madînah, Karya Abu Zaid Umar Ibnu Syabbh, Juz 2, hal 745).
Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah ra. pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar ra. memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. (Lihat Târîkhul Umam wal Muluk, Karya Imam ath-Thobariy, Juz 4, hal. 100).
Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah SWT berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS Al-Baqarah: 275). Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri.
Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota.
Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Perajin tempe secara individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak akan terjadi kartel importir.
Jangan sampai dengan pengelolaan pemerintah selama ini kepada rakyatnya terkatagori mempersulit.
Rasulullah SAW bersabda;
عَنْ عَائشةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ
Dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, Barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas dia membuat susah mereka, maka susahkanlah dia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia.”
Wallahu a’lam bishawab