Oleh. H. M Ali Moeslim
Bismillahirrahmanirrah
Harga-harga komoditas pangan di Indonesia sering tak terkontrol, terkadang sangat tinggi sampai tak terbeli, terkadang sangat rendah sampai petani dan pedagang tak mau menjual karena saking rendahnya harga pasar tidak mampu menutupi biaya panen dan transportasi. Tidak terkontrolnya harga-harga tersebut karena begitu lemahnya peran pemerintah. Saking lemahnya, adanya pemerintah itu seperti tidak adanya. Peran pemerintah dalam penetapan harga memang dibatasi.
Pemerintah tidak boleh intervensi soal harga. Harga lebih diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun, bila harga-harga melangit sehingga mencekik rakyat, pemerintah mestinya punya kewenangan mengontrol suplly and demand serta kemungkinan penimbunan barang atau monopoli oleh kartel terjadi? Agar stabil kembali, apalagi kejadian demikian sudah sangat sering terjadi, kenapa tidak diantisipasi? Jangan-jangan pemerintah sendiri “bermain atau dimainkan” oleh para konglomerat dan kapitalis?
Benar bahwa Islam telah mengharamkan pematokan harga secara mutlak berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas yang berkata:
غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ, لَوْ سَعَّرْتَ, فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ الْمُسَعِّرُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهُ وَلاَ يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلِمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
“Harga melonjak pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka berkata, “Ya Rasulullah, andai saja Anda mematok harga.” Beliau bersabda, “Sungguh Allah-lah Yang Menciptakan, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Memberi rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku sungguh berharap menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun yang menuntutku dengan kezaliman yang aku lakukan kepada dia dalam hal darah dan tidak pula harta.” (HR Ahmad)
Namun, stabilitas perekonomian rakyat, apalagi menyangkut kebutuhan pokok rakyat menjadi tanggung jawabnya, maka mengontrol keadaan di bawah adalah sebuah kewajiban, kelangkaan barang maupun daya beli rakyat. Apakah kenaikan harga itu akibat adanya penimbunan (ikhtikar) atau alamiyah mekanisme pasar? Jika penimbunan (al-ihtikâr) secara mutlak adalah haram secara syar’i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadits secara gamblang. Al-Qasim telah meriwayatkan dari Abu Umamah yang berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُحْتَكَرَ الطَّعَامُ
“Rasulullah saw. telah melarang makanan ditimbun.” (HR Al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah)
Imam Muslim juga meriwayatkan dengan sanad dari Said bin Al-Musayyib bahwa Mu’ammar berkata, Rasulullah Saw. pernah bersabda:
مَنْ اِحْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“Siapa saja yang menimbun, dia berbuat kesalahan.”
Jadi larangan dalam hadis tersebut berfaedah thalab at-tarki (tuntutan untuk meninggalkan). Celaan terhadap orang yang menimbun (al-muhtakir) dengan mensifati dirinya sebagai orang yang berbuat kesalahan (al-khâthi’)*) adalah orang yang berdosa lagi bermaksiat. Ini merupakan qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan tersebut berfaedah haram. Dari sini, Hadis-Hadis tersebut menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan ini bermakna pasti. Dari sini pula, Hadis-Hadis tersebut menunjukkan keharaman menimbun.
Jadi, solusi terkait masalah orang yang menimbun adalah menjatuhkan atas dirinya sanksi ta’zîr dan memaksa dia untuk menawarkan barangnya di pasar dengan harga pasar. Jika barang itu hanya ada pada dia saja, maka negara harus menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu, pedagang itu tidak mengendalikan harga. Masalah ini telah dijelaskan di dalam kitab An-Nizhâm Al-Iqtishâdî pada bab “At-Tas’îr (Pematokan Harga)”:
Adapun jika terjadi kenaikan harga-harga pada masa peperangan atau krisis politik atau jika tidak adanya di pasar adalah akibat dari kelangkaannya, maka khalifah diperintahkan untuk memelihara berbagai kemaslahatan masyarakat. Khalifah wajib menyediakan barang itu di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempatnya.
Dengan ini, maka kenaikan harga bisa dicegah. Khalifah Umar bin Al-Khaththab pada masa paceklik yang disebut tahun kekeringan—meski terjadi kelaparan di Hijaz akibat kelangkaan makanan pada tahun itu, sementara harga telah melonjak akibat kelangkaannya—tidak mematok harga tertentu untuk makanan. Akan tetapi, Umar mengirim surat dan mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga harga turun tanpa perlu melakukan pematokan harga.
Wallahu a’lam bishawab.