Pengembangan Sorgum di Indonesia, Akankah Bernasib Sama dengan Komoditas Pangan Lainnya?

Oleh: Ervan Liem

Sebagaimana diketahui bersama bahwa kondisi pangan dunia saat ini sedang mengalami keterpurukan. Harga gandum yang merupakan bahan utama tepung guna keperluan utama di industri mie instan, roti, sereal dan sejenisnya tengah mengalami lonjakan. Ironisnya, olahan makanan yang berbasis gandum yang saat ini sedang digandrungi oleh masyarakat tersebut sudah hampir menggeser peranan makanan pokok rakyat negeri ini yaitu beras.

Sebagai contoh, bahwa perkembangan zaman yang semakin modern ini, menuntut kita untuk berbuat serba instan dan tidak suka ribet, nah dalam bidang pemenuhan kebutuhan makan maka olahan gandum berupa roti atau mie sering dijadikan alternatif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan sarapan pagi. Bahkan, jika zaman dulu masyarakat kita sehari makan 3 kali berupa nasi, saat ini sudah berubah hanya makan nasi 2 kali (siang dan malam), paginya dicukupkan dengan roti. Pola makan instan yang memang saat ini menjadi tren dan kebutuhan memang sulit untuk dihindari. Yang memprihatinkan adalah bahan baku dari makanan (gandum) yang hampir menggeser makanan pokok masyarakat tanah air tersebut sulit dikembangkan di negeri ini. Sementara selama ini ketersediaannya bergantung pada impor, maka jadilah semacam ‘kecanduan’ produk pangan asing yang mana tidak menutup kemungkinan semakin mudah bangsa ini didiktei oleh bangsa lainnya.

Fenomena tersebut belakangan disadari bahwa Indonesia tidak bisa bergantung terus menerus kepada asing (dalam hal ini gandum) yang saat ini juga ada pembatasan impor dari beberapa negara sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina, maka dicarilah bahan alternatif pengganti gandum dari dalam negeri yakni sorgum.

Roadmaps terkait produksi sorgum pun saat ini juga sudah dibuat oleh pemerintah, pertanian dan perluasan lahan juga sudah digarap dan direncanakan hingga tahun 2024, namun akankah hal tersebut mampu mengurai kesemrawutan soal pangan ditanah air? Sementara kita tahu, bahwa soal beras yang memang sudah lama ditanam saja masih juga pemerintah mengimpor beberapa waktu lalu, demikian pula dengan kedelai, jagung bahkan soal minyak goreng yang dunia menyaksikannya bahwa Indonesia ini adalah penghasil kelapa sawit nomor wahid di muka bumi, toh nyatanya sempat juga rakyat ini dibuat sengsara dengan lonjakan harga. Potensi bagus alam Indonesia ternyata belum menjawab dan memenuhi kebutuhan rakyat dengan bijak.

Masalah ancaman krisis pangan sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Dari masa kerajaan hingga kolonial rakyat bangsa ini sudah sering mengalami kesulitan pangan. Bencana dan penjajahan pernah terjadi, menyisakan penderitaan bagi rakyat yang sesunggungnya berada di atas tanah subur dan alam yang serba kaya akan potensi hasil alamnya. Jika memang kelaparan dan krisis pangan disebabkan oleh bencana alam, kiranya kita masih bisa memaklumi dan bersabar atas keadaannya. Namun jika krisis pangan tersebut terjadi karena keserakahan, penjajahan dan ketidakmampuan serta kesalahan kelola atas kepemimpinan yang sedang berkuasa, maka patut kiranya untuk rakyat menimbang ulang tentang kepada siapa amanah rakyat tersebut dipercayakan, agar keinginan hakikinya sesuai dan tepat dengan yang seharusnya.

Pengembangan Sorgum di Indonesia Berpotensi Gagal Membawa Kesejahteraan bagi Rakyat

Sejumlah kebijakan pengendalian harga pangan di dalam negeri sudah digulirkan sejak lama, bahkan beberapa tahun terakhir ini juga terus menerus digalakkan swasembada pangan, termasuk didalamnya adalah program diversifikasi pangan yang digadang-gadang akan mampu menyajikan varian baru pangan alternatif disamping beras yang memang selama ini mendominasi tradisi makan masyarakat ditanah air. Namun dari berbagai langkah tersebut bukannya harga pangan turun, tapi masyarakat justru berhadapan dengan masalah baru, yakni melonjaknya harga sembako, minyak, telur, gula dan gandum beserta produk turunannya. Bak pepatah ayam mati di lumbung padi, meroketnya harga pangan di Indonesia ini jadi ironi, mengingat negara ini adalah bumi yang subur, laksana surga bagi berbagai jenis tanaman pangan. Mustinya dengan kondisi alam semacam ini, tidak perlu terjadi kekurangan pangan maupun gizi buruk yang diderita oleh sebagian masyarakat.

Berbicara soal sorgum, yang dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi ramai pembahasannya seiring dengan melonjaknya harga gandum, terlebih ada sejumlah negara yang telah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor gandum, di antaranya Kazakhstan, India, Afganistan, Serbia dan Ukraina (buntut dari perang Rusia-Ukraina). Hal tersebut membuat harga tepung gandum ditanah air meroket. Data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan, harga tepung terigu pada 24 Agustus 2022 bertengger di Rp.12.400 per kg. Harga itu melonjak 14,81% dibandingkan 25 Februari 2022 yang tercatat Rp.10.800 per kg. Dan naik 9,93% dibandingkan 25 Maret 2022 atau sekitar sebulan setelah perang Rusia-Ukraina pecah. Kala itu, harga tepung terigu tercatat Rp11.300 per kg. Di mana, harga gandum pada 25 Maret 2022 tercatat sudah naik 2,73% dibandingkan 25 Januari 2022 atau sebelum perang Rusia-Ukraina pecah, yaitu Rp11.000 per kg (CNBC, 25/8/22).

Kenaikan harga Gandum dunia yang berimplikasi pada harga produk turunan tepung terigu yang sangat tinggi tersebut, membuat pemerintah berinisiatif untuk mengembangkan sorgum secara besar-besaran di tanah air. Pemerintah tengah meningkatkan produksi dan hilirisasi tanaman sorgum dan mengembangkan tanaman pengganti gandum untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Hingga bulan Juni tahun 2022 realisasi luas tanam sorgum adalah 4.355 ha dan tersebar di 6 provinsi. Luas tanam sorgum tersebut memiliki perkiraan produksi sebesar 15.243 ton atau dengan produktivitas 3,63 ton/ha. Luasan tersebut akan dipersiapkan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan sasaran luas tanam pada tahun 2023 seluas 30.000 ha yang tersebar di 17 provinsi dengan produksi sebesar 115.848 ton (asumsi provitas 4 ton/ha). Sementara itu, sasaran luas tanam pada tahun 2024 seluas 40.000 ha yang tersebar di 17 provinsi dengan produksi sebesar 154.464 ton (asumsi provitas 4 ton/ha).

Prospek pengembangan sorgum di Indonesia memang cukup menjanjikan jika dikelola dengan benar, karena tidak hanya dapat dikembangkan sebagai bahan pangan yang mampu menggantikan beras dan gandum, tetapi juga bisa dijadikan sebagai bahan pakan ternak dan bioetanol. Apalagi sorgum yang merupakan tanaman serelia tersebut bisa dengan mudah dikembangkan di lahan kering, baik di Jawa maupun luar Jawa dengan risiko kegagalan yang kecil. Harga sorgum saat ini berada di angka Rp. 3.500 per kilogram dan rata-rata produksinya mencapai 4 ton per hektare. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan jika pengembangan sorgum dilakukan dengan serius, memang dapat mengurangi volume impor gandum sekaligus bisa memenuhi kebutuhan tepung di dalam negeri. Hanya saja perlu keseriusan pemerintah agar pengembangan sorgum bisa berjalan dengan baik, terutama menyangkut ketersediaan bibit yang berkualitas.

Selain itu, kesulitan dalam menjual hasil produksinya membuat banyak petani masih belum tertarik untuk menanam sorgum serta lebih memilih padi dan jagung. Seperti yang terjadi di sejumlah daerah di Jawa Timur, meskipun saat ini harganya cenderung stagnan dan biaya produksinya semakin mahal, tanaman padi masih menjadi andalan petani karena lebih memberikan kepastian pasar, berbeda halnya dengan tanaman sorgum yang hanya memungkinkan dijual ke perusahaan produsen pakan ternak.

Sementara itu, para produsen besar saat ini juga mulai mengembangkan tepung sorgum sebagai pengganti terigu. Dengan pengembangan dan pembukaan lahan pertanian sorgum yang cukup masif dilakukan oleh pemerintah, penulis seringkali khawatir dan pesimis dengan masa depan sorgum. Sebenarnya bukan tanpa alasan, namun melihat nasib beras yang saat ini umum menjadi mata pencaharian masyarakat desa saja juga belum mampu pertanian tersebut menyejahterakan kehidupan petani, pupuk mahal dan terbatas, biaya bercocok tanam cenderung meningkat dari tahun ke tahun sementara harga padi stagnan bahkan saat panen raya sering anjlok. Soal jagung, kedelai juga mengalami nasib yang hampir sama, bahkan singkong yang beberapa waktu lalu dikembangkan pemerintah melalui Kementrian Pertahanan yakni Food Estate Singkong di Kalimantan Tengah juga disinyalir terbengkalai, tanamannya kerdil padahal sudah membabat 1 juta hektar hutan untuk keperluan tersebut. Artinya beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan cadangan strategis pangan rakyat tersebut gagal dan belum berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Hal serupa juga layak untuk dicurigai soal masa depan sorgum, yang mana untuk saat ini para petani saja masih ragu untuk mendapatkan kepastian pasar yang mampu membeli sorgum petani dengan harga yang layak. Memang ada produsen tepung yang berencana memproduksi tepung sorgum secara besar-besaran di Indonesia, namun jika asas perekonomian yang dipakai seperti gaya lama, yakni mencari untung sebesar-besarnya dengan biaya produksi sekecil-kecilnya, maka layak kiranya rakyat pesimis bahkan skeptis terhadap pengembangan sorgum. Pasalnya selama ini selalu saja petani yang banyak dirugikan, hasil pertanian dibeli murah oleh pengusaha besar, sementara pemerintah pun belum mampu memberikan jaminan kesejahteraan karena seringkali kalah dengan mafia (mafia minyak goreng contohnya).

Dampak Negatif Pengembangan Sorgum Yang Ditopang Oleh Perekonomian Berbasis Kapitalis

Memang bukan rahasia lagi bahwa kondisi ketahanan pangan bangsa ini masih lemah, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara dengan 4 musim yang memiliki tanah yang subur, luas wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam, pada kenyataannya negeri ini harus masih impor bahan pangan dari luar negeri, terlebih lagi gandum yang memang bergantung dari negara luar. Adanya penghambat dalam terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan yakni, keberpihakan pemerintah dan anggaran.

Tidak mungkin ketahanan dan kedaulatan pangan tercipta apabila anggaran sektor pangan dari tahun ketahun terus dipangkas oleh penguasa kapitalis dan mengalami penurunan, sehingga membuat mahalnya sarana untuk produksi pangan seperti alsintan, benih, pupuk pestisida dan lainnya berakibat pada tingginya biaya produksi dan harga jual yang tidak mampu bersaing, jadi jangan heran ketika produk tanaman pangan dalam negeri kalah bersaing dengan luar negeri, karena masalah pupuk pun masih kekurangan dan terbatas, seolah kita disulitkan bertanam dan meraih kesuksesan dalam bertani pun itu hal langka yang sulit didapat.

Hal ini tentunya juga berdampak kepada minat generasi muda, enggan menjadi petani dan lebih memilih menjadi buruh di perusahaan besar, karena memang lebih terjamin dari sekedar bertani di desa yqng kebanyakan dilakukan oleh orang-orang tua, dari sinilah regenerasi petani tersebut gagal, disamping lahan yang semakin sempit, kualitas pertanian dan penggunaan teknologipun masih belum cakap.

Berlepas tangannya pemerintah pada aspek pendistribusian pangan. Hal ini akibat merajalelanya para mafia pangan mulai dari penimbunan, korporasi hingga kartel pangan. Bahkan korporasi tak jarang ikut menentukan impor pangan. Mulai dari pejabat yang mudah di suap oleh para pengusaha besar, hingga KKN yang biasanya menguasai lini bisnis adalah keluarga pejabat itu sendiri, adanya pejabat semacam hanya memperkaya golongan dan keluarganya saja, adapun rakyat dinomor duakan, jikapun pejabat tersebut melayani rakyat maka hanya sebatas kepentingan politiknya saja.

Semua ini akibat sistem kapitalislah yang membuat berbagai perosalan muncul mulai dari distribusi hulu ke hilir hingga permainan tengkulak. Pengembangan sorgum sebagai alternatif gandum pun juga disinyalir akan hanya dimanfaatkan oleh kapitalis saja, tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa petani sorgum akan dibeli dengan layak hasil pertaniannya kelak, semuanya dikembalikan kepada mekanisme pasar kapitalis.

Implikasinya pesimistis terhadap pengembangan sorgum cukup besar, para petani di daerah Jawa Timur pun saat ini masih cukup sulit mencari kepastian pasar guna memasarkan sorgum hasil pertaniannya, kecuali hanya dilarikan ke ternak. Janji manis memang sering diucapkan oleh pejabat terkait, namun kenyataan yang ada masih jaub dari harapan. Sudah saatnya pemerintah mengakui kesalahan dan melakukan perubahan yang mendasar dalam membangun ketahanan dan kedaulatan pangan.

Strategi Islam Mengembangkan Bahan Pangan Agar Mampu Memberikan Kesejahteraan Kepada Rakyat

Untuk mengurai strategi Islam dalam menyelesaikan persoalan pangan, kita perlu mengetahui kisah krisis pangan yang pernah terjadi di negeri ini. Dilansir dari buku Krisis Pangan karangan Andreas Maryoto, disebutkan bahwa Indonesia sudah pernah mengalami krisis pangan sejak abad 16 hingga 17 Masehi, tepatnya di era Kesultanan Aceh. Saat itu, daerah tersebut mengalami krisis pangan beras, yang diperparah dengan tipologi lahan bercorak rawa, serta faktor kemarau yang berkepanjangan.

Untuk mengatasi hal itu, maka Sultan Iskandar Muda mengimpor tenaga kerja dari India untuk menggarap lahan di wilayahnya. Selain itu, dia juga menetapkan harga beras (dalam kondisi krisis), sehingga bisa dibeli oleh masyarakat Aceh. Hal serupa juga pernah terjadi di Kesultanan Mataram tahun 1677-1703, pada masa pemerintahan Amangkurat II. Harga beras yang meningkat, serta tingginya angka gagal panen, membuat masyarakat Mataram harus beralih mengonsumsi ubi dan gadung. Setelah dilakukan penyelidikan oleh Pangeran Puger, ditemukan penyebab krisis beras, yaitu distribusi yang tidak merata. Oleh karena itu, Amangkurat II memperbaiki distribusi dan menetapkan harga beras yang lebih terjangkau bagi masyarakat Mataram. Selanjutnya, krisis pangan juga pernah dialami pada era penjajahan Belanda, muncul akibat tanam paksa. Masyarakat terpaksa menanam kopi, teh, dan tebu untuk diekspor. Pada penjajahan Jepang, beras juga menjadi langka, lantaran pemerintah Jepang menarik beras dari petani dan menerapkan sistem kerja Romusha. Lahan pertanian yang ditinggalkan terbengkalai dan membuat beras langka. Masyarakat terpaksa mengonsumsi ubi, biji nangka, dan berbagai serangga sebagai makanan.

Dari kenyataan diatas kita bisa melihat realitas sejarah bahwa ada krisis pangan yang disebabkan oleh kondisi alam, bencana, perubahan iklim yang mana hal tersebut berada diluar campur tangan manusia (secara langsung), namun adapula jenis krisis yang kejadiannya diakibatkan oleh penjajahan, keserakahan dan pengelolaan sumber pangan yang salah oleh manusia dalam hal ini kesalahan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan.

Bagi Indonesia saat ini, sejatinya menyediakan pangan yang cukup dan dapat diakses oleh 270 juta lebih penduduk secara merata se-Indonesia, terjangkau serta bisa dinikmati oleh seluruh warga itu adalah suatu tantangan dan kewajiban bagi negara untuk mampu mewujudkannya. Disinilah peran negara, yang mana tugas besarnya adalah menjamin kesejahteraan rakyatnya, menjadikan pangan selalu tersedia dan terdistribusi dengan adil. Kebutuhan pangan adalah perintah agama, terkait hifz an nafs (menjaga jiwa) atau bahkan menjaga hifz ad din (menjaga agama), karena orang yang tidak bisa mengakses pangan biasanya orang miskin, dan kemiskinan, kefakiran itu cenderung kepada kekufuran. Sehingga ketahanan pangan ini sebetulnya juga masalah yang holistik.

Adapun dalam hal teknis kita perlu berpikir secara radikal, bahwa walaupun saat ini sudah sangat gencar pemerintah melakukan mekanisasi teknologi pertanian, tetapi untuk mengoperasikan teknologi pertanian yang efektif, bangsa ini butuh petani milenial yang terdidik. Kalau kita mencermati petani tua, mereka kurang responsif terhadap kemajuan teknologi, sementara rata-rata petani Indonesia didominasi oleh orang tua, petani muda hanya berkisar sekitar 8 persen saja. Kondisi dunia pendidikan dan pembangunan sumberdaya manusia hendaknya diperjelas arah dan tujuannya, jika keberadaan dunia pendidikan masih diarahkan mejadi buruh dan pelayan kapitalis, maka perbaikan generasi dalam beberapa tahun yang akan datang hanya akan melahirkan mental manusia yang mudah disetir oleh kepentingan kapitalis.

Karena itu, penting untuk dimengerti bahwa janganlah menggebu dan berambisi membangun insfrastruktur dengan kadar dosis yang berlebih, tetapi mengesampingkan pembangunan sumberdaya manusia. Moral dan mental harus diperbaiki agar tidak lagi ada para pejabat yang hobi impor dan terdiktei oleh kepentingan kapitalis asing, akhirnya bekerja bukan untuk rakyat yang wajib dilayani namun menjadi pelayan-pelayan asing.

Sejatinya prinsip ketahanan pangan dengan cara mengimpor pangan yang digunakan oleh pemerintah seperti saat ini adalah kurang bijak. Cara dalam mendapatkan bahan pangan itu memang ada dua jenis yakni produksi dalam negeri dan impor, nah ini karena ada istilah impor bahwa pemenuhan pangan itu bisa diproduksi dan bisa impor, maka gampangnya pemerintah saat ini terkesan lebih suka impor saja daripada capek memproduksi di dalam negeri, itu kenyataan prinsip yang ternyata dipakai oleh pejabat, mereka seperti cenderung menggampangkan impor.

Begitulah kiranya dalam banyak hal, termasuk permasalahan tepung gandum yang sedari awal dulu disediakan melalui cara impor mengingat memang pertumbuhan gandum sendiri kurang bersahabat dengan iklim di Indonesia. Seharusnya kebutuhan semacam itu sudah terpikirkan dari dulu, permasalahan kebutuhan pangan pokok maupun substitusi dalam banyak varian penunjang pangan perlu disesuaikan dengan potensi di alam Indonesia sendiri, artinya apapun sumber pangan yang bisa tumbuh dibumi pertiwi maka itulah makanan terbaik yang Allah SWT karuniakan untuk penduduk setempat. Yang terpenting saat ini adalah arah pembangunan manusia dan tatakelola negara, pemerintahan yang baik pasti akan membawa generasi kepada akhlak yang mulia, bukan memanfaatkan keadaan paceklik dan digunakan terus menerus untuk bergantung kepada negara lain dengan kebijakan impornya. Kiranya mustahil ketergantungan pangan bangsa ini akan berakhir, jika regulasinya saja masih tendensius dan dibentuk sesuai pesanan para kapitalis, kuncinya hilangkan prinsip ekonomi kapitalisme dan ganti dengan ekonomi Islam secara total.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi