Pajak dalam Kapitalisme dan Islam

In this world, nothing is certain except death and taxes.” Benjamin Franklin, 1789).

Di dunia itu tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak. Demikian kata Benjamin Franklin, salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat (National Constitution Centre, 2022).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa pajak dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam sistem kapitalisme, pajak memiliki peran esensial dalam mengatur dan mempengaruhi sistem ekonomi. Salah satu satunya sebagai sumber penerimaan negara.

Secara definisi, pajak adalah kontribusi wajib kepada pemerintah, yang dikenakan demi kepentingan bersama bagi semua orang, untuk tujuan menanggung biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi-fungsi publik (seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan), atau dikenakan untuk tujuan regulasi (seperti membatasi konsumsi rokok), tanpa mempertimbangkan manfaat khusus yang diperoleh oleh orang yang membayar (Crowe dalam McGee, 2003).

Selain sebagai sumber penerimaan negara, pajak  menjadi salah satu metode yang digunakan pemerintah di dalam sistem kapitalisme untuk mengatur distribusi kekayaan. Rakyat yang pendapatannya lebih tinggi akan dikenakan tarif pajak yang lebih besar. Sebaliknya, rakyat yang pendapatannya lebih rendah dikenakan tarif pajak yang lebih rendah. Dengan demikian pajak dapat digunakan untuk mengalokasikan sumberdaya dari  si kaya kepada si miskin.  Pajak juga dapat digunakan untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas ekonomi. Misalnya, ketika terjadi penurunan pendapatan maka tarif pajak dapat dikurangi. Sebaliknya, jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi maka tarif pajak dapat ditingkatkan sehingga inflasi dapat ditekan. Namun, dalam kenyataannya, fleksibilitas tarif pajak sulit diterapkan sebab perubahan tingkat pajak membutuhkan kesepakatan politik yang rumit.

Dalam perkembangannya, sistem perpajakan yang dirancang oleh kesepakatan manusia tersebut menghadapi berbagai problem. Salah satunya adalah masalah keadilan. Adam Smith, salah satu tokoh ekonomi klasik, mengemukakan bahwa salah satu prinsip perpajakan adalah setiap warga negara harus ikut berkontribusi dalam mendukung pemerintah, semampu mereka, yaitu sebanding dengan pendapatan yang mereka nikmati di bawah perlindungan negara (Smith, 1103; 2007).

Namun, dalam kenyataannya, seberapa besar tarif pajak yang adil tersebut menjadi sangat relatif. Di beberapa negara maju tarif pajak penghasilan individu pada batas atas dapat mencapai lebih dari 50%, seperti  Jepang (55%), Inggris (63%), Finlandia (66,7%) dan Belgia (79,5%). Pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang menyasar hampir seluruh jenis barang dan jasa yang diperdagangkan, nilainya diseragamkan antara yang miskin dan yang kaya.

Rakyat di negara-negara kapitalisme juga menghadapi berbagai aturan pajak sangat kompleks dan kadang-kadang berubah sehingga sulit dipahami oleh warga negara.  Akibatnya, warga negara kesulitan dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan membayar pajak dengan benar. Minat masyarakat untuk membayar pajak juga semakin berkurang ketika tingkat korupsi pejabat pemerintah tinggi (Picur & Belkaoui, 2006).

Sistem perpajakan di negara-negara kapitalis tersebut diperburuk oleh petugas pajak yang memiliki integritas rendah. Di Indonesia, sejumlah petugas pajak bersedia bernegosiasi dan menerima suap dari wajib pajak yang berupaya menghindari atau mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. Petugas pajak juga dapat merangkap sebagai konsultan pajak yang dibayar untuk membantu mengurangi kewajiban pajak. Beberapa petugas pajak juga melakukan pemerasan terhadap wajib pajak atas jasa pengurusan administrasi pajak yang mereka lakukan.

Sistem hukum yang buruk yang ditandai dengan proses yang lama dan mahal, serta hakim yang mudah disuap, juga menyebabkan wajib pajak enggan berurusan dengan pengadilan. Mereka memilih jalan pintas dengan cara bernegosiasi atau menyuap petugas pajak. Berdasarkan perhitungan dari proses pengadilan pajak (Sekretariat Pengadilan Pajak, Kemenkeu, 2023), mulai dari gugatan, banding dan peninjauan kembali,  dapat memakan waktu  lebih dari tiga tahun hingga berkekuatan tetap. Inkonsistensi di dalam penerapan aturan perpajakan juga menjadi celah bagi wajib pajak untuk menghindari pembayaran pajak. Salah satunya adalah penerapan tax amnesty atau pengampunan pajak yang dilakukan berkali-kali.

Berbagai faktor tersebut pada akhirnya berkontribusi pada keengganan masyarakat untuk membayar pajak atau membayar lebih rendah dibandingkan dengan kewajiban mereka. Sebagian lagi berusaha untuk menghindari pajak  dengan cara memanipulasi laporan keuangan perusahaan, atau menyembunyikan harta mereka di luar negeri, khususnya ke negara-negara surga pajak (tax haven), negara yang memiliki regulasi pajaknya rendah, seperti Bermuda, Cayman Islands, Singapura, dan Hongkong.

Sebagai contoh, dari tahun 2009 hingga 2012, Apple Operations International, yang terdaftar di Cork, Irlandia, menghasilkan keuntungan luar negeri sebesar $30 miliar. Namun, perusahaan itu tak membayar pajak penghasilan korporasi kepada pemerintah Irlandia, Amerika Serikat, atau pemerintah nasional lainnya karena perusahaan tersebut terdaftar di negara yang rendah  pajak (Stiglitz & Rosengard, 522: 2015).

Celakanya, pihak-pihak yang berupaya menghindari pajak bukan hanya warga negara biasa, tetapi juga para pejabat publik yang semestinya menjadi panutan. Pada tahun 2021, sebuah laporan, yang bernama Pandora Papers, membocorkan jutaan dokumen yang mengungkap harta tersembunyi, penggelapan pajak, serta kasus pencucian uang orang-orang kaya hingga pejabat publik dari berbagai negara, termasuk Indonesia.  Luhut Binsar Pandjaitan  (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman), Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) dan Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata) masuk dalam daftar tersebut.

 

Pajak Menurut Islam

Peraturan mengenai perpajakan di dalam sistem kapitalisme berbeda dengan Islam. Sistem kapitalisme dibangun berdasarkan hukum buatan manusia melalui lembaga legislatif. Kesepakatan yang tercermin dalam undang-undang tersebut menjadi sangat subjektif dan sangat cair sebab ditentukan oleh manusia yang sangat bias pada kepentingan berbagai pihak.

Sebaliknya, dalam sistem Islam, seluruh peraturan dalam Negara Islam wajib bersumber dari akidah Islam yang melahirkan berbagai aturan-aturan cabang, termasuk dalam aspek ekonomi. Di dalam Islam, sumber penerimaan dan pengeluaran negara sepenuhnya ditentukan berdasarkan hukum syariah yang digali dari dalil-dalil syariah. Karena itu pos-pos penerimaan dan pengeluaran negara di dalam Negara Islam atau Khilafah Islam bersifat tetap.

Pajak atau dhariibah merupakan salah satu sumber penerimaan di dalam APBN Khilafah. Namun, karakteristiknya berbeda dengan pajak di dalam sistem kapitalisme. Pajak didefinisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT atas kaum Muslim untuk menunaikan belanja pada kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos yang diwajibkan atas mereka, ketika tidak ada harta di Baitul Mal untuk memenuhi belanja tersebut (Zallum, 122: 2004).

Belanja tersebut adalah untuk: jihad fi sabilillah, industri militer dan industri yang mendukung jihad fi sabilillah; santunan fakir, miskin dan ibnu sabil; untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru dan orang-orang yang memberikan pelayanan kepada kaum Muslim; kebutuhan pelayanan umum, seperti infrastruktur jalan, sekolah dan rumah sakit, yang dapat menyebabkan bahaya ketika jumlah dan kualitasnya kurang; dan  penanganan bencana alam, seperti kelaparan, gempa dan topan (Zallum, 123-129; 2004).

Karena itu pajak di dalam Islam merupakan sumber penerimaan insidental. Pajak hanya dipungut ketika sumber-sumber penerimaan negara, seperti zakat, kharaj, jizyah dan pendapatan dari harta milik umum tidak mencukupi untuk membiayai belanja yang wajib ditunaikan oleh kaum Muslim dan kaum Muslim tidak melakukan sumbangan sukarela (tabarru’ât) yang mencukupi untuk menutupi kebutuhan tersebut. Sebaliknya, pajak di dalam sistem kapitalisme bersifat permanen, bahkan menjadi sumber utama penerimaan negara.

Kemudian, objek pajak di dalam Islam hanya orang-orang Muslim yang kaya. Pasalnya, kebutuhan yang menjadi dasar penarikan pajak di atas merupakan kewajiban kaum Muslim. Batasan orang kaya di sini adalah kelebihan dari pengeluaran untuk kebutuhan primer dan sekunder (Zallum, 130: 2014).

Dengan demikian orang-orang kafir dan orang-orang miskin tidak termasuk wajib pajak sehingga tidak akan dikenakan beban selain yang telah ditentukan  oleh syariat kepada mereka. Sebaliknya, di dalam sistem kapitalisme, pajak berlaku untuk seluruh warga negara. Pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN), siapapun yang membeli barang yang kena pajak, akan dikenakan pajak, yang tarifnya di Indonesia sebesar 11 persen. Pajak penghasilan dikenakan pada pendapatan dengan lapisan tarif yang berbeda-beda sesuai tingkat pendapatan.

Kemudian, jumlah pajak yang ditarik di dalam Islam hanya dibatasi berdasarkan jumlah yang dibutuhkan untuk membiayai belanja yang wajib ditanggung kaum Muslim, namun tidak dapat di-cover oleh Baitul Mal. Sebabnya, fungsi pajak bukan seperti di dalam sistem kapitalisme untuk meningkatkan penerimaan Baitul Mal  atau untuk membatasi kegiatan ekonomi tertentu, tapi semata-mata untuk menutupi kekurangan pembiayaan pos-pos yang wajib tersebut.  Karena itu penarikan tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan sebab bentuk kezaliman atas kaum Muslim yang akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat kelak.  Sebaliknya, jumlah pajak di dalam sistem kapitalisme hanya dibatasi oleh kemampuan pemerintah di dalam menarik pajak atas objek pajak sesuai dengan tarif yang berlaku atas mereka, sehingga kadang-kadang penerimaan pajak melampaui target pemerintah.

Dengan karakteristik negeri-negeri Muslim dewasa ini yang dikaruniai berbagai sumberdaya alam yang sangat kaya maka potensi penerimaan negara selain pajak akan sangat besar. Di dalam sistem Islam, kekayaan alam tersebut merupakan harta milik umum yang harus dikelola oleh negara dan pemasukannya masuk ke Baitul Mal melalui pos Kepemilikan Umum. Sekadar simulasi, produksi batubara Indonesia pada tahun 2022 mencapai 650 juta ton. Dengan harga internasional yang mencapai USD 4.500, kurs rupiah Rp 15 ribu per USD, dan biaya produksi sekitar USD 30 per ton, maka penerimaan dari batubara tersebut mencapai Rp 4.230 triliun. Jumlah ini sudah lebih besar dibandingkan dengan perkiraan total belanja APBN yang mencapai Rp 3.169 triliun pada 2022. Penerimaan negara tersebut akan jauh lebih besar ketika memasukkan komoditas lain, seperti migas, gas alam, emas, nikel, dan bauksit. Apalagi jika komoditas tersebut diolah menjadi produk-produk turunan yang bernilai tambah lebih tinggi, seperti minyak mentah yang diolah menjadi produk-produk petrokimia dan nikel menjadi baterai kendaraan listrik.

Faktor lainnya yang menjadi keunikan sistem Islam adalah sistem yang mendorong lahirnya ketakwaan individu termasuk pegawai negara, termasuk sistem pidana yang sangat detail mengatur harta pegawai negara. Sebagai contoh, larangan menerima suap, hadiah dan pendapatan yang tidak halal lainnya, tidak hanya diancam oleh sanksi pidana, tetapi juga ancaman terhadap terhadap siksa di Akhirat kelak. Pada titik ini, sistem kapitalisme sangat rapuh, sebab dari dasarnya ia telah memisahkan agama dari kehidupan. Nilai-nilai spiritual menjadi sangat kering sementara sikap hedonisme dan serba bebas menjadi sangat masif.

Alhasil, perpajakan di dalam sistem kapitalisme merupakan aturan yang zalim. Aturannya bertentangan dengan ajaran Islam, yang dibuat berdasarkan kesepakatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Akibatnya, pajak dalam sistem kapitalisme mengandung banyak kelemahan sehingga rakyat hingga pejabat pun cenderung berupaya menghindarinya. Kezaliman ini tentu saja harus dihilangkan melalui penerapan Islam secara sempurna di bawah naungan Khilafah Islam.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Muis].

 

Referensi:

Dieterle, David. A. (2019). Taxation. ABC-CLIO.

McGee, Robert. W. (2003). The philosophy of taxation and public finance. Springer Science & Business Media.

National Constitution Centre (2022, November 13). Benjamin Franklin’s last great quote and the Constitution. https://constitutioncenter.org/blog/benjamin-franklins-last-great-quote-and-the-constitution

Sekretariat Pengadilan Pajak Kemenkeu (2023). Proses Gugatan dan Simulasi Jatuh Tempo. https://setpp.kemenkeu.go.id/faq/faqBanding

Smith, Adam. (2007). Wealth of Nations. Cosimo. Inc., New York.

Stiglitz, Joseph. E., & Rosengard, J. K. (2015). Economics of the public sector: Fourth international student edition. WW Norton & Company.

Zallûm, Abdul Qadim. (2004). Al-Amwâl fî Daulah al-Khilâfah. Beirut: Dâr al-Ummah.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi