Oleh. H. M Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah)
Bismillahirrahmaanirrahiim
TAMPAKNYA hanya akan menjadi mimpi di siang bolong, berharap negara ini membangun negeri tanpa pajak, apalagi saat ini ditambah dengan utang. Pajak di negara ala kapitalisme adalah primadona atau sumber utama pendapatan atau pemasukan negara. Sumber pendapatan dari pajak persentasenya adalah yang tertinggi jika dibanding dengan sumber pendapatan negara dari sektor lain.
Di Indonesia saja saat ini ada beberapa pajak; Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan).
Bagaimana pandangan Islam terhadap pajak? Penguasa dilarang mewajibkan pajak kepada kaum muslim berdasarkan sabda Nabi saw.,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ الْمَكْسِ
“Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang menarik cukai.” (HR Ahmad. Az-Zain dan Al-Hakim)
Al-Maks adalah pajak (dhariibah) yang dipungut dari para pedagang di perbatasan negara. Larangan tersebut mencakup semua pajak. Dasarnya adalah hadis berikut:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ
“Sungguh darahmu, hartamu, dan kehormatan dirimu itu haram diganggu, sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini, dan di negerimu ini, hingga hari kalian berjumpa dengan Tuhan kalian. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan ini?” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Selain pajak yang menjadi beban rakyat saat ini, rakyat pun kini dibebankan dengan pungutan pungutan lain yang diwajibkan melalui Peraturan Pemerintah lainnya seperti asuransi kesehatan. Baru saja sedikit bernapas karena ada penundaan TAPERA, terbit kembali Peraturan Pemerintah yang mewajibkan pada tahun 2025 nanti semua kendaraan bermotor wajib membayar asuransi.
Program asuransi wajib telah tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Aturan tersebut dirancang dan disusun menggunakan metode omnibus law. Karenanya, UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terkena dampak dengan sejumlah pasal yang direvisi.
Pasal 52 UU 4/2023 yang mengubah UU 40/2014 khususnya mengatur program asuransi wajib diatur dalam Pasal 39 A. Ayat (1) menyebutkan, “Pemerintah dapat membentuk Program Asuransi Wajib sesuai dengan kebutuhan”. Sedangkan ayat (2), Pemerintah dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Praktik-praktik asuransi saat ini jika diteliti oleh dalil-dalil syariat tampak banyak pelanggaran. Terkait asuransi secara umum artinya siapa pun yang mengadakan, baik swasta apalagi negara, hukumnya haram.
Dalam pandangan syariat Islam, perusahaan asuransi adalah bagian dari perseroan dalam sistem kapitalisme yang bertentangan dengan Islam, terkhusus sistem ekonomi Islam (An-Nidham Iqtishadiy fi Islam), misalnya;
Dalam asuransi konvensional maupun asuransi yang dilabeli syariah tidak ada pemindahan hak (kepemilikan) kepada orang lain secara mutlak (tidak ada pihak ke-tiga yang menjadi jaminan sebelum terjadi perkara, Perusahaan asuransi tidak menjaminkan hartanya pada seseorang dalam menunaikan kewajiban pihak tertanggung, lalu tidak ada jaminan berupa harta, serta hak harta bagi yang menerima tanggungan, peristiwa yang menjadi tanggungan atau jaminan pun belum terjadi artinya hal ini seperti “si pembeli sudah mengeluarkan uang untuk membeli payung, namun si penjual akan memberikan payungnya yang telah dibelinya jika terjadi hujan.”
Hukum asuransi secara keseluruhan adalah haram, jenis apa pun asuransinya, baik itu asuransi jiwa, asuransi barang, pendidikan , dan lain lain.
Secara umum, Islam melarang baik penguasa maupun rakyat, mengambil harta secara zalim dan tanpa ada alasan yang dibenarkan. Bagaimana sebenarnya sumber pendapatan negara dalam negara Islam? Negara Islam atau kekhalifahan Islam itu adalah negara yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Islam sumbernya berasal dari wahyu Allah Swt., baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karena itu dalam Negara Islam, seluruh pos pemasukan dan pengeluaran negara pun memiliki landasan yang kuat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah; juga Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i.
Secara ringkas, pos pendapatan dalam APBN Negara Islam terdiri dari 12 kategori: pendapatan dari harta rampasan perang (anfaal, ghaniimah, fai dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; pungutan dari nonmuslim yang hidup dalam Negara Islam (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; harta rikaz dan tambang; harta yang tidak ada pemiliknya; harta orang-orang murtad; pajak; dan zakat.
Salah satu potensi pendapatan yang besar ketika Negara Islam tegak di negara-negara muslim adalah penerimaan dari sektor harta milik umum. Di antaranya sumber daya alam yang memiliki deposit besar. Di Indonesia, kekayaan alam tersebut antara lain berupa minyak mentah, gas, batubara, nikel, emas, tembaga dan alumunium. Hutan juga dikategorikan sebagai harta milik umum. Hasilnya dapat dimanfaatkan langsung oleh publik. Meski demikian, negara dapat melakukan proteksi pada kawasan tertentu untuk menjamin kelangsungan pendapatan negara. Kekayaan ini dikelola oleh negara untuk kepentingan publik secara langsung.
Adapun dalam pandangan Islam, pajak (dharîbah) hanya dipungut dalam kondisi kas negara dalam keadaan kosong dan dipungut dari orang-orang kaya saja. Penarikan dharîbah ini juga dilakukan secara temporer hingga kas negara terpenuhi. Wallahu a’lam bishawab.
Bandung, 22 Juli 2024/16 Muharam 1446