Serial Bubur Bang Dul
Oleh. Afiyah Rasyad
“Saya titip KTP dulu kalau begitu, Bu. Saya akan pulang ambil uang,” kata Somad dengan wajah tertunduk lesu dan malu.
Segera dilajukan kuda besi ke rumah. Jangankan delapan ribu rupian, seribu pun tak bertengger di dompet atau sakunya. Rasa malu menari-nari dalam benak, apa pasal yang membuatnya begitu mengenaskan seperti hari ini. Utang tercecer di mana-mana. Enggan sekali rasanya bertemu siapa pun, namun jika tak keluar, dia tak akan makan bersama keluarganya.
Setiba di rumah dia segera mencari uang. Segala koin dikumpulkan menjadi satu. Hampir 10.600 detik Somad berputar mengelilingi rumah. Dia jumpalitan menyingkap seprei, mengoret celengan untuk mengumpulkan uang 8000 rupiah guna bayar bensin di kios tadi. Setelah terkumpul saat sore, barulah ia menebus eKTP-nya.
Kepedihan tak berakhir di sana. Walau KTP sudah di tangan, kini problem baru menyapanya. Setelah subuh, ucapan istrinya seakan menjadi petir yang menyambar jiwanya. Padahal, ucapan itu hanyalah pemberitahuan saja pada Somad, namun dia seakan terserang stroke mendadak. Kakjnya melangkah gontai setelah pamit pada sang istri. Dia berjanji bahwa sebentar lagi beras dan keperluan lainnya akan diantarkan untuk dimasak. Pikiran kacau menemani Somad hingga tiba di kantor properti miliknya.
Pas masuk ke kantor, sudah ada karyawannya. Dengan penuh hormat, para karyawan menyambut Somad. Lantas mereka sibuk lagi bekerja. Sesekali Somad memperhatikan percakapan karyawannya.
“Kalau aku gampang, di toko Monalisa bisa bayar belakangan. Aku sudah biasa begitu,” kata Febri.
“Tidak ada toko seperti itu di dekat rumahku,” sahut Doni.
“Wah, Feb. Emang ada ya toko seperti itu? Lha kok mau?” Tiba-tiba Somad mendekati meja Febri.
“Benar, Pak. Saya tadi habis melunasi tanggungan sepekan lalu,” sahut Febri.
“Coba buktikan padaku,” Tantang Somad.
“Eh, bagaimana maksudnya, Pak?” tanya Febri.
Somad pun meminta Febri ke toko itu untuk utang beras 5kg, minyak goreng 1 liter, dan telor 1/4kg, lalu mengantarnya ke rumah. Apa memang bisa? Tanpa curiga, Febri pun patuh. Somad bilang hanya mengetes karena tak percaya. Tatapan netra Somad mengantar punggung Febri keluar dengan penuh harapan rumahnya akan ada yang laku biar bisa melunasi keperluannya pagi ini.
Waktu bergulir cepat. Rasa lapar melilit perut Somad teramat sangat. Rasa perih tak dapat ditahannya. Dia segera mencari beberapa uang di loker dan lacinya. Beruntunh dia bisa mendapatkan uang 10.000. Segera ia pamit pada karyawannya keluar. Warung Bubur Bang Dul sudah tampak sepi. Dia menyebrang ke arah warung itu.
“Gali lobang tutup lobang
Pinjam uang bayar utang”
Lagu itu menyambut kedatangan Somad. Hatinya mencebik sebal. Kenapa Bang Dul kayak sengaja banget menyetel lagu itu.
“Ih, niat babget, Bang lagunya suka menyindir. Tak ada lagu lain apa?” Somad duduk bersungut-sungut.
“Assalamu’alaykum, Mas Somad! Mau makan tak boleh marah-marah. Mau pesan apa?” Bang Dul menyapa ramah.
“Seperti biasalah, Bang. Eh, tapi pakai air saja ya!”
“Siap!”
Bang Dul dengan cekatan mengantar pesanan Somad.
“Silakan dinikmati, Mas. Terkait lagu, kami memang punyanya kaset Rhoma Irama saja. Maaf, ya! Bukannya mau menyingung siapa pun,” Senyum tulus Bang Dul membuat Somad tak enak.
Somad menikmati bubur dengan lahap. Dia melihat Bang Dul sudah memutar sign closed di kaca. Tampak juga olehnya tumpukan kardus bubur pesanan. Alangkah tenteramnya Somad melihat kesederhanaan Bang Dul dan istrinya. Mana mereka taat lagi.
“Ini tehnya, Mas!”
“Lho, Bang. Aku gak pesan teh. Nanti uangku gak cukup,” kata Somad.
Entah kenapa dia jujur pada Bang Dul. Padahal, dia baru kenal sosoknya sebulan lalu sejak kantornya didirikan di hadapan warung bubur ini.
“Sudah, ndak usah dipikirkan. Itu rezeki, Mas. Jum’at berkah!” ucap Bang Dul lagi.
Ada mendung bergelayut di hati Somad. Betapa penjual bubur ini sangat baik. Akhirnya dia pun tak segan bertanya perihal warung Bang Dul ini. Ternyata didirikan tanpa utang. Malah Somad mendapat ilmu yang selama ini tak pernah didapatkan dari pafa kyai yang dijumpainya. Bagaimana tabiat buruk utang itu akan membuat gelisah. Urusan utang ini jika tidak selesai di dunia, maka akan tergadai akhiratnya. Orang mati syahid saja terhalang masuk surga jika menanggung utang, apalagi orang biasa. Itu pun utang tanpa bunga. Lha, dia?
Byar… deras hujan membanjiri hati Somad. Perasaan takut dan bersalah berayun mesra dalam benaknya. Dia tak berpikir sejauh itu. Namun, dampak dari utang sudah dia rasakan. Kemarin dia menjaminkan KTP karena tak bisa bayar bensin, tadi menyuruh Febri utang sembako ke toko, kapan waktu dia menggadaikan helm demi menyelesaikan urusan tanah.
Dengan tekad yang bukat, Somad mengutarakan maksudnya untuk bertobat. Lalu, Bang Dul mengarahkan ikut seminar. Somad pun patuh. Hasilnya? Luar biasa, dia merasa terlahir menjadi manusia baru. Dia berkomitmen akan meninggalkan kebiasaan berutang. Kini, dia mulai menerapkan muamalah sesuai syariat Islam. Dia pun merasakan kemudahan dalam kesulitan yang menimpa. Satu per satu utangnya tertunaikan, bahkan bisa bebas BDO. Somad benar-benar berproses bebas utang demi meraih hidup berkah.