Mendedahkan Realisasi Janji Mengembangkan Sistem Gizi dan Tumbuh Kembang Anak

Oleh: Tri Widodo bukan Joko & A. M. Pamboedi

Salah satu program Jokowi-Ma’ruf Amin adalah terkait sistem jaminan gizi dan tumbuh kembang anak. Program tersebut diangkat lantaran selama ini kegagalan tumbuh kembang anak menjadi ancaman utama terhadap kualitas warga negara Indonesia dan ancaman kemampuan daya saing masyarakat.

Laporan utama UNICEF Status Anak Dunia 2019 menyoroti isu anak, pangan, dan gizi. Sepertiga anak balita masih mengalami malnutrisi –stunting, wasting, ataupun berat badan berlebih– sementara dua pertiganya berisiko menderita malnutrisi dan kelaparan terselubung akibat asupan makan yang tidak berkualitas. Pola ini mencerminkan tiga beban malnutrisi –gizi kurang, kelaparan terselubung, dan berat badan berlebih– yang mengancam kelangsungan hidup, tumbuh kembang anak, dan perkembangan suatu bangsa.

Pencapaian Indonesia di bidang gizi masih tertinggal dari aspek kesehatan lain yang terkait dengan tumbuh kembang anak. Jutaan anak dan remaja Indonesia masih menderita angka stunting dan wasting yang tinggi, serta mengalami ‘beban ganda’ akibat malnutrisi, baik dalam bentuk kurang gizi maupun lebih gizi.

Pada 2018, hampir 3 dari 10 anak berusia dibawah lima tahun menderita stunting atau terlalu pendek untuk usia mereka, sedangkan 1 dari 10 kekurangan berat badan atau terlalu kurus untuk usia mereka. Seperlima anak usia sekolah dasar kelebihan berat badan atau obesitas.

Permasalahan terletak pada sistem pangan yang tidak bekerja dan gagal memberikan asupan makanan yang dibutuhkan anak untuk tumbuh dengan sehat. Lalu mampukah janji mengembangkan sistem gizi dan tumbuh kembang anak direalisasikan dalam sistem pangan yang dijalankan sistem kapitalisme saat ini?

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Stunting

Sebelumnya, kita mesti mengetahui dulu tentang apa itu stunting. Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama. Hal ini terjadi karena asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun. Menurut UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO.

Stunting diakibatkan oleh banyak faktor, seperti ekonomi keluarga, penyakit atau infeksi yg terjadi berkali-kali. Kondisi lingkungan, baik itu polusi udara, air bersih bisa juga mempengaruhi stunting. Tidak jarang pula masalah non kesehatan menjadi akar dari masalah stunting, seperti masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan perempuan, serta masalah degradasi lingkungan.

Salah satu fokus pemerintah saat ini adalah pencegahan stunting sebagai upaya agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan maksimal, dengan disertai kemampuan emosional, sosial, dan fisik yang siap untuk belajar, serta mampu berinovasi dan berkompetisi di tingkat global. Stunting bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh pendek/kerdil) saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang tentunya sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif. Gejala yang ditimbulkan akibat stunting antara lain anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya, berat badan rendah untuk anak seusianya dan pertumbuhan tulang tertunda.

Proses stunting sebenarnya kronis. Dalam mengatasi stunting, perlu peran dari semua sektor dan tatanan masyarakat. Pada seribu hari pertama kehidupan harus dijaga baik nutrisi maupun faktor di luar itu yang mempengaruhi stunting.

Seribu hari pertama kehidupan adalah pembuahan/hamil ditambah usia 2 tahun balita. Saat itulah stunting harus dicegah dengan pemenuhan nutrisi dan lain-lain.

Jika memang ada faktor yang tidak baik yang bisa mengakibatkan stunting, di 1000 hari pertama itulah semua dapat diperbaiki. Pola hidup sehat, terutama kualitas gizi dalam makanan perlu diperhatikan dengan menerapkan konsep setengah piring diisi oleh sayur dan buah, setengahnya lagi diisi dengan sumber protein (baik nabati maupun hewani) dengan proporsi lebih banyak daripada karbohidrat.

Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan balita. Edukasi tentang kesehatan reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga, hingga para calon ibu dalam memahami kebutuhan gizi saat hamil juga penting untuk disosialisasikan.

Selain itu, edukasi tentang persalinan yang aman di fasilitas kesehatan, serta pentingnya melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) hingga pemberian colostrum air susu ibu (ASI) juga wajib disosialisasikan. Akses terhadap sanitasi dan air bersih yang mudah dapat menghindarkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu, perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.

Pertumbuhan yang baik adalah pertumbuhan ukuran fisik sesuai standarnya, baik itu berat panjang atau tinggi dan lingkar kepala. Lingkar kepala kecil mempengaruhi kecerdasan karena otak kecil.

Pada saat pergi ke pelayanan kesehatan baik itu rumah sakit, puskesmas maupun posyandu, mintalah untuk mengukur lingkar lengan atas bagi 6-9 bulan. Hal ini akan menentukan apakah balita gizi buruk, gizi ringan, normal.

Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan meliputi kemampuan motorik kasar, motorik halus dan bahasa bicara atau cara berkomunikasi dengan orang (hubungan sosial). Pemeriksaan rutin ke fasilitas pelayanan kesehatan penting walau tidak dalam kondisi sakit untuk mengecek pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pada usia balita 3 bulan, balita sebaiknya sudah miring, 4 bulan sudah tengkurep, 8 bulan sudah duduk dan 9 bulan sudah berdiri dan usia 1 tahun sudah dapat berjalan. Pada usia 2 tahun balita setidaknya sudah menguasasi 6 kata. Jika mengalami keterlambat berbicara sebaiknya diperiksakan ke dokter.

Dampak yang Ditimbulkan dari Kegagalan Mengembangkan Sistem Gizi dan Tumbuh Kembang Anak

Masalah stunting di Indonesia adalah ancaman serius yang memerlukan penanganan yang tepat. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, prevelensi stunting di Indonesia mencapai 27,7%. Artinya, sekitar satu dari empat anak balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting.

Angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%. Dalam upaya penanganan stunting di Indonesia, pemerintah sendiri sudah menargetkan Program Penurunan Stunting menjadi 14% pada tahun 2024 mendatang. Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono menyampaikan, “Bahkan, seandainyapun sudah tercapai 14 persen, bukan berarti Indonesia sudah bebas stunting.” (Republika, 28/12/2021).

Media massa online bulan Desember 2021 banyak mengulas turunnya prosentase stunting. Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 angka stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,6 persen per tahun dari 27.7 persen tahun 2019 menjadi 24,4 persen tahun 2021 (Rokom kemenkes, 27/12/2021). Namun, angka stunting masih terhitung tinggi. Karena daerah-daerah yang mengalami stunting dari 34 propinsi hanya 5 propinsi yang mengalami kenaikan.

Tatalaksana penanganan kasus stunting menitikberatkan pada pencegahannya bukan lagi proses pengobatan. Orang tua berperan untuk mengontrol tumbuh kembang anaknya masing-masing dengan memperhatikan status gizinya. Pertumbuhan dan perkembangan sesudah lahir harus naik atau baik dan apabila ada masalah harus segera dikonsultasikan ke dokter atau ahli gizi. Upaya pencegahan lebih baik dilakukan semenjak dini demi masa depan sang buah hati sebagai generasi penerus bangsa yang berhak tumbuh dengan sehat.

Akan tetapi, telah kita ketahui bersama, bahwa pemerintah baru-baru ini telah mencabut subsidi BBM jenis Pertalite dan Solar. Hal ini tentulah semakin memberi dampak yang serius terhadap upaya pencegahan stunting di Indonesia ke depannya.

Kenaikkan harga BBM subsidi tersebut jelas akan mempengaruhi terhadap harga-harga barang lainnya, dalam hal ini kenaikkan harga barang bahan-bahan lainnya tentulah sebuah keniscayaan. Khususnya bahan-bahan kebutuhan pokok.

Betapa pedihnya penderitaan masyarakat Indonesia, setelah 2 tahun lebih diterpa badai Covid 2019, banyak dari mereka terkena PHK. Pun, kondisi ekonomi nasional yang semakin terpuruk. Nilai tukar rupiah yang tertekan oleh dollar US hampir lebih setahunan terakhir ini.

Bagaimana kehidupan keluarga masyarakat Indonesia pada umumnya agar tercukupi kebutuhan asupan gizi terlebih pada generasi-generasi mudanya di tengah menghadapi situasi ekonomi yang semakin sulit dan membelit? Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, adalah mungkin stunting akan menjadi momok menakutkan bagi generasi manusia penerus Indonesia selanjutnya. Begitupun daya tahan tubuh dalam menghadapi berbagai macam patogen, tentunya menjadi semakin riskan.

Akhirnya, jadi teringat salah satu karya seni dari musisi Iwan Fals terkait dengan pemenuhan gizi pada anak-anak, yakni penggalan lirik lagunya yang berjudul Galang Rambu Anarki seperti berikut ini:

…Maafkan kedua orangtuamu kalau..tak mampu beli susu
Bbm naik tinggi..
Susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi..
Mungkin bayi kurang gizi.

Solusi Islam dalam Pencegahan Stunting

Di Indonesia sendiri secara umum, kasus stunting merata di setiap daerah. Kondisi ini sangat ironis sekali, di tengah kekayaan SDA (sumber daya alam) Indonesia. Dikenal sebagai salah satu negara penghasil emas terbesar dunia. Berdasarkan data yang diambil dari laman Ditjen Mineral dan Batu Bara (Minerba), total produksi emas Indonesia selama semester pertama tahun ini mencapai 12,9 juta ton.

Indonesia juga tercatat sebagai pemilik cadangan minyak mentah terbesar di dunia, mengalahkan negara Venezuela. Belum lagi kekayaan SDA yang lainnya. Juga kekayaan alam terbarukan yang berasal dari laut dan daratan.

Harusnya dengan mengelola semaksimal mungkin semua SDA, dan mendistribusikan hasil pengelolaan SDA kepada masyarakat, maka kesejahteraan rakyat bisa terjamin dan kasus stunting ini tidak akan di dapati lagi. Namun sayangnya, SDA Indonesia sebagian besar menjadi milik asing dan para investor. Rakyat hanya mendapatkan remah-remahnya saja, itupun masih disabotase oleh para oligarki, tambang emas Papua dikuasai Freeport, Blok Cepu dikuasai Exxon Mobile, dan banyak yang lainnya.

Generasi adalah aset yang baru dijaga, dirawat, dan dipersiapkan sebagai calon pemimpin bangsa di masa depan. Melanjutkan estafet kekhilafan dalam membangun peradaban manusia. Sehingga, sudah menjadi kewajiban negara untuk menjaganya dengan memenuhi kebutuhan pokok meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Islam telah membuktikan kemampuannya untuk memenuhi hak generasi-generasinya selama 13 abad tanpa celah. Islam mewajibkan negara untuk menjamin kesejahteraan setiap individu rakyat, termasuk anak-anak. Islam mengharuskan khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab melayani kebutuhan rakyat, termasuk dalam mencegah adanya stunting.

Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan mengatur kepemilikan negara dan kepemilikan umum dalam pengelolaannya ada dalam kendali negara. Serta mewajibkan pengelolaan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, jika sudah terpenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Baru jika ada sisa hasil pengelolaan SDA bisa dijual. Sehingga negara akan memiliki sumber pendapatan yang besar, sehingga rakyat individu per individu terpenuhi kebutuhan hidupnya dan terhindar dari kemiskinan. Karena Khilafah akan mampu mewujudkan generasi yang berkualitas bebas dari stunting, yang siap mewujudkan peradaban yang mulia.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi