Sejumlah pegawai Kementerian Keuangan ditengarai melakukan pencucian uang dengan nilai fantastis. Menurut keterangan Menkopolhukam, Mahfud MD, nilainya mencapai Rp 349 triliun. Transaksi yang terjadi pada 2009-2023 itu, melibatkan 1.074 orang atau entitas. Sebanyak 491 orang merupakan aparatur sipil negara (ASN) di Kemenkeu; 13 orang ASN di kementerian lainnya; dan 570 orang non-ASN.
Pencucian uang merupakan praktik ilegal yang bertujuan untuk menyembunyikan sumber dan jejak keuntungan hasil kejahatan agar terlihat sah secara hukum. Ada beberapa modus yang sering digunakan dalam pencucian uang, seperti kepemilikan aset, dapat berupa rekening, saham dan properti atas nama keluarga atau pihak lain, pembentukan perusahaan untuk mengelola hasil kejahatan, penerimaan hibah tanpa akta, transaksi pembelian barang fiktif, serta penyimpanan harta hasil kejahatan dalam safe deposit box atau tempat lainnya.
Salah satu sumber utama pendapatan uang ilegal pejabat negara dan khusus pegawai pajak adalah pendapatan dari hasil korupsi. Pada kasus pencucian uang ASN Kemenkeu di atas, sebagian besar berasal dari korupsi perpajakan. Agar uang hasil korupsi tersebut tidak diketahui maka koruptor berupaya untuk menghilangkan jejaknya melalui money laundering.
Pada praktiknya, ada tiga tahap dalam pencucian uang. Tahap pertama adalah penempatan (placement), yaitu memasukkan hasil uang tunai dari aktivitas ilegal ke dalam sistem keuangan yang legal. Uang dicatat dalam jumlah kecil di bawah batas pelaporan, ditransfer ke banyak rekening.
Kedua, layering, melibatkan serangkaian transaksi keuangan untuk membingungkan asal usul uang. Salah satu bentuknya adalah uang disimpan di bank, lalu digunakan untuk membeli dan menjual berbagai aset seperti mata uang kripto atau properti, lalu hasilnya disetor kembali ke bank.
Keriga, integrasi (integration), melibatkan upaya untuk mengintegrasikan dana yang diperoleh secara ilegal ke dalam sistem keuangan yang sah. Tujuannya adalah agar penjahat dapat menggunakan uang untuk membeli barang dan jasa atau berinvestasi di real estate, aset mewah, atau bisnis, tanpa menarik perhatian penegak hukum atau otoritas pajak.
Korupsi oleh aparat Pemerintah terhadap uang negara, termasuk pajak, memiliki dampak yang sangat merugikan. Pertama, dari korupsi adalah berkurangnya potensi penerimaan negara. Akibatnya, Pemerintah terpaksa mencari sumber pembiayaan lain seperti berhutang untuk menutupi kekurangan tersebut.
Kedua, ada pengurangan hak-hak publik secara penuh. Pasalmya, anggaran yang semestinya digunakan untuk kepentingan publik digunakan untuk kepentingan pribadi.
Ketiga, ada kerugian pada dunia usaha. Pasalnya, para pengusaha harus mengeluarkan biaya lobi dan suap yang tinggi untuk memuluskan usaha mereka dibandingkan dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat. Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh United Nations Global Compact et al. (2014), biaya korupsi di seluruh dunia diperkirakan setara dengan lebih dari 5% dari PDB global (US$ 2,6 triliun), dengan lebih dari US$ 1 triliun dibayarkan sebagai suap setiap tahunnya. Selain itu, korupsi menambah hingga 10% dari total biaya melakukan bisnis secara global, dan mencapai hingga 25% dari biaya kontrak pengadaan di negara-negara berkembang.
Penyebab Korupsi dan Pencucian Uang
Pencucian uang yang dilakukan oleh pegawai di Kementerian Keuangan tersebut sebagian besar merupakan harta yang diperoleh dari korupsi terutama pajak dan cukai. Penyebabnya antara lain, hukum dan prosedur pajak yang kompleks. Aturan yang kompleks dan dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda menyulitkan wajib pajak untuk memahami dan mematuhi aturan tanpa bantuan (Tanzi, 1998).
Kurangnya pengetahuan tentang sistem perpajakan yang rumit tersebut juga sering menyebabkan wajib pajak tidak menyadari hak-hak mereka sehingga lebih rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang dan eksploitasi (Purohit, 2007).
Petugas pajak kadang-kadang mengancam wajib pajak yang melaporkan harta yang lebih rendah. Dalam situasi ini, wajib pajak diberi pilihan: melakukan sanggahan di pengadilan pajak atau memberikan suap kepada petugas pajak untuk menghindari masalah. Namun, karena proses pengadilan yang berbelit-belit, wajib pajak lebih memilih opsi kedua.
Tarif pajak yang tinggi dalam sistem Kapitalisme sering mendorong warga untuk mencari cara untuk menghindari atau mengurangi jumlah pajak yang harus mereka bayar. Faktor ini juga memicu adanya pemberian suap kepada penagih pajak agar dapat mengurangi kewajiban pajak mereka.
Faktor lain yang menyebabkan tingginya tingkat korupsi dalam sistem perpajakan adalah budaya korupsi yang mewabah di lingkungan pemerintahan. Lingkungan pemerintahan yang rusak tersebut cenderung merusak integritas pegawai yang semula bersih. Keteladanan yang buruk dari para pemimpin juga menjadi pendorong pegawai negara melakukan korupsi. Di Indonesia, ratusan pejabat negara telah dihukum karena melakukan tindak korupsi. Perilaku mereka telah menciptakan preseden buruk bagi pegawai yang ada di bawah mereka. Sistem sanksi yang terlalu ringan bagi pelaku korupsi dan mudahnya memperjualbelikan hukum juga menjadi faktor yang mendorong pejabat dan pegawai negara untuk melakukan korupsi.
Fungsi pengawasan dan pemeriksaan yang tidak berjalan dengan baik juga membuka peluang korupsi di kalangan pegawai negara. Bahkan pihak yang bertugas untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan juga terlibat di dalam praktik korupsi. Sebagai contoh, tidak sedikit kepala daerah yang menyuap petugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan mereka. Inspektorat yang semestinya menjadi pengawas pejabat tak bertaji melawan korupsi sebab mereka di bawah kendali pejabat yang diawasi.
Gaji yang tinggi bukan solusi untuk menghentikan budaya korupsi di kalangan pejabat. Dalam sebuah studi mengenai penyebab pegawai pajak melakukan korupsi, ternyata faktor gaji berada pada urutan buncit. Penyebab utamanya adalah sistem sanksi yang ringan atau tidak tegas menindak pelaku korupsi (Antonakas et al., 2013).
Karena itu tidak heran banyak pejabat Pemerintah, meskipun memiliki gaji dan tunjangan tinggi, masih melakukan korupsi.
Penyebab lain maraknya korupsi dan pencucian uang adalah budaya materialisme yang mengakar kuat di masyarakat kapitalisme. Budaya materialisme merujuk pada pandangan hidup individu atau masyarakat yang menganggap kebahagiaan dan keberhasilan hidup terkait erat dengan kepemilikan materi. Kebahagiaan sering diukur berdasarkan jumlah materi yang dimiliki, seperti mobil mewah, pakaian bermerek, atau properti mahal. Karena itu budaya materialisme sejalan dengan budaya konsumerisme, yang mendorong seseorang untuk memiliki materi untuk mencapai kebahagiaan atau menaikkan status sosial. Berbagai cara pun dilakukan untuk memenuhi hasrat tersebut, termasuk dengan korupsi.
Peran Sistem Islam
Sebagai ideologi yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, Islam telah memiliki aturan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Dari aspek perekrutan, pejabat yang dipilih adalah orang-orang yang bertakwa dan memiliki kecakapan yang sesuai dengan tanggung jawab pada suatu jabatan.
Aspek ketakwaan menjadi penting bagi siapapun, termasuk bagi pejabat dan pegawai negara maupun rakyat secara umum. Jika rasa takut kepada Allah telah hilang dari seseorang, ketaatan pada apa yang diperbolehkan dan dilarang telah ditinggalkan, pekerjaan dipisahkan dari hubungan dengan Allah, hisab Hari Kiamat dikesampingkan, sementara uang dijadikan sebagai tujuan akhir, maka ia akan mampu melakukan berbagai transaksi keuangan baik yang legal maupun ilegal, dan akan mencoba untuk menghindari hukuman termasuk dengan melakukan money laundering (Salim, 2002).
Dengan ketakwaan tersebut, para pejabat atau pegawai negara akan menghindari untuk mendapatkan harta ghuluul. Harta ghuluul adalah harta yang diperoleh oleh pegawai negara baik dari harta milik negara maupun milik rakyat dengan cara yang tidak syar’i. Pejabat atau pegawai negara yang mengambil harta haram tersebut wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya jika diketahui ataupun disita dan diserahkan kepada Baitul Mal.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum (2004), ada beberapa sumber harta ghuluul, yaitu: Pertama, harta suap. Ini adalah harta yang diperoleh oleh seseorang sebagai kompensasi karena telah memberikan maslahat yang semestinya diputuskan tanpa perlu balas jasa karena memang sudah menjadi kewajiban orang itu. Suap juga mencakup imbalan karena tidak melakukan sebuah kewajiban yang seharusnya dikerjakan. Suap juga termasuk mengambil imbalan karena melakukan pekerjaan yang dilarang negara. Orang yang melakukan suap, menerima suap ataupun perantara keduanya akan diberikan sanksi oleh Negara.
Kedua, hadiah atau hibah. Ini juga haram diterima oleh pejabat atau pegawai negara. Larangan penerimaan hadiah ataupun hibah tersebut tidak memandang apakah si pemberi memiliki kepentingan pada saat diberikan ataupun tidak.
Ketiga, harta yang berasal dari harta negara atau harta rakyat yang diperoleh dengan jalan pemaksaan dan kesewenang-wenangan, kekerasan, tekanan dan penyalahgunaan kekuasaan. Semua tindakan tersebut adalah kezaliman dan harta yang dihasilkan adalah harta yang haram.
Keempat, harta yang diperoleh pejabat dan pegawai negara yang berasal dari hasil makelar ataupun komisi. Harta ini biasanya merupakan balas jasa atas jual beli atau berbagai transaksi yang dilakukan antara perusahaan dan negara.
Kelima, harta korupsi, yaitu mengambil harta yang berada di bawah kekuasaannya untuk membiayai tugas pekerjaan, membiayai proyek, kepentingan negara maupun kepentingan publik. Contohnya adalah memanipulasi transaksi pembelian baik dengan melakukan penggelembungan atau membuat transaksi fiktif.
Selain aspek ketakwaan, kontrol dari negara dan publik, serta penerapan sanksi yang tegas, menjadi faktor yang sangat penting dalam menjaga agar pejabat dan pegawai negara tidak mudah terjerumus untuk mendapatkan harta ghuluul.
Salah satu bentuk intervensi negara adalah kontrol atas aset pegawai sebelum dan setelah ia menjabat. Hal ini telah dipraktikkan pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau, jika mempekerjakan seorang pegawai, terlebih dulu mencatat hartanya. Tujuan dari pencatatan itu adalah untuk mengetahui pertambahan hartanya dan sumber penambahan itu kalau ada.
Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Khalifah Umar kerap menanyakan asal harta pejabatnya dan menyita dengan cara membagi pertambahan harta pejabatnya, terutama jika sang pejabat tidak mampu menjelaskan sebab pertambahan tersebut. Sebagai contoh, Khalifah Umar pernah membagi harta Abu Hurairah setelah ia ditugaskan dari Bahrain. Khalifah Umar juga membagi harta Harits bin Wahab setelah dicopot dari jabatannya. Ia berkata kepada dia, “Satu unta engkau seratus dinar?” Harits menjawab, “Saya keluar memperniagakan harta yang merupakan nafkah untuk saya.” Khalifah Umar berkata kepada dia, “Sungguh kami tidak mengutus engkau untuk berdagang dengan harta kaum Muslim.” (Al-Haritsy, 588: 2003).
Pada masa Khalifah Umar, pejabat negara juga dilarang untuk melakukan bisnis. Khalifah Umar . telah melarang para wali untuk berdagang ketika mereka menjabat. Hal itu disampaikan kepada Abu Musa al-Asyari bahwa jangan sekali-kali dia berjual beli. Perintah ini bertujuan agar mereka tidak disibukkan dengan perniagaan. Keterlibatan wali dalam perniagaan akan merusak pasar karena status wali tidak sepadan. Kadang-kadang wali dapat mengambil harta yang tidak sah karena posisinya sebagai wali atau amir (al-Haritsy, 587: 2003).
Secara khusus, syariah Islam juga melarang Khalifah untuk mengambil pajak ala sistem Kapitalisme. Selain menutup celah korupsi, penghapusan kebijakan tersebut membuat ekonomi lebih produktif. Negara Khilafah akan menjadi pusat bisnis dan investasi yang besar. Proyek-proyek baru akan bermunculan dan perdagangan dalam negeri dan internasional menjadi lebih aktif. Pengangguran pun akan berkurang dan tingkat pendapatan rakyat akan meningkat. Berbagai pihak termasuk pengusaha dari negara lain akan berbondong-bondong untuk menjadi bagian dari negara tersebut karena iklim usaha sangat kondusif. Tak ada pajak yang melilit seperti di negara mereka.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Muis]
Referensi
- Antonakas, N. P., Giokas, A. E., & Konstantopoulos, N. (2013). Corruption in tax administration: Interviews with experts. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 73, 581-589.
- Purohit, M. C. (2007). Corruption in tax administration. Performance accountability and combating corruption, 285-302.
- Abu Ghazy Fathy Salim, Ghasîl al Amwâl wa Tabyîdh al Amwâl. Majallah Al-Waie (Arab) No. 178 , Dzul Qi’dah 1422 H – Februari dan Maret 2002)
- United Nations Global Compact, International Chamber of Commerce (ICC), Transparency International (TI), World Economic Forum. (2014). Clean Business is Good Business: The Business Case against Corruption
- Tanzi, V. (1998). Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures. Staff Papers – International Monetary Fund, 45(4), 559. doi:10.2307/3867585
- Jarîbah bin Ahmad al-Hâritsy. (2003). Al-Fiqh al-Iqtishâd Li- Amîr al-Mu’minîn ‘Umar Ibnu al-Khattâb. Jeddah: Dâr al-Andalus al-Nadhrâ’
- Zallûm, Abdul Qadim. (2004). Al-Amwâl fî Daulah al-Khilâfah. Beirut: Dâr al-Ummah.