Menakar Kemanfaatan Program Blue Halo-S terhadap Masyarakat Nelayan: Untung atau Buntung?

Oleh. Ervan Liem

Konsep Blue Halo-S dilaksanan guna memberikan konsesi pada perusahaan atau kelompok usaha untuk menangkap ikan secara komersial di perairan sekitar kawasan konservasi. Program tersebut ditujukan agar kelestarian ikan bisa terjaga, dengan batasan kuota yang telah ditentukan.

Melihat tujuan dari inisiasi konsep ini memang terkesan manis karena membawa isu kelestarian lingkungan dan perubahan iklim. Namun, perlu ditilik lebih jauh bahwa dalam perkembangannya, konsep ini juga membuka keran investasi domestik hingga internasional dalam pembiayaannya.

Ketentuan penangkapan ikan berbasis zonasi ini pun sangat rentan dikuasai oleh pemodal besar. Hal ini pun tidak menutup kemungkinan untuk memicu konflik antara nelayan tradisional setempat dengan kapal-kapal ikan industri yang telah menanamkan investasinya dalam program ini.

Dengan kejadian yang diperkirakan akan seperti itu, maka kenyataan hidup nelayan yang selama ini masih jauh dari kesejahteraan jika dibandingkan dengan sektor lain. Maka, kemanfaatan konsep Blue Halo-S ini disinyalir tidak akan banyak membawa keuntungan bagi nelayan, sebaliknya mereka justru semakin buntung menghadapi persaingan dengan pemodal besar, terlebih biaya melaut semakin tinggi dengan kenaikan bahan bakar minyak beserta turunannya.

Blue Halo-S Rentan dikuasai Pemodal Besar

Konsep Blue Halo-S adalah program yang memberikan konsesi pada perusahaan atau kelompok usaha untuk menangkap ikan secara komersial di perairan sekitar kawasan konservasi. Melalui kebijakan penangkapan berbasis kuota tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan membagi wilayah penangkapan dalam enam zonasi dengan kuota yang ditawarkan mencapai 5,99 juta ton per tahun. Angka tersebut setengah dari jumlah stok ikan berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) sebanyak 12,5 juta ton.

Seiring penerapan kebijakan penangkapan terukur, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga tengah menyiapkan teknologi berbasis satelit yang terintegrasi yang akan digunakan sebagai sistem utama pengawasan operasi penangkapan ikan. Sistem tersebut akan mengoptimalkan penggunaan integrated surveillance system (ISS) yang terhubung dengan kapal pengawasan penangkapan ikan.

Program Blue Halo-S diinisiasi oleh Conservation International (CI) dan rencananya berlokasi di Papua Barat. CI memaparkan bahwa Blue Halo-S merupakan perairan di luar/sekitar kawasan konservasi yang keberadaan sumber daya ikannya ditentukan dan dipengaruhi oleh kawasan konservasi melalui proses bioekologi. Ikan yang ditelurkan dan dibesarkan di kawasan konservasi akan tumpah ke perairan yang berdekatan sebagai ikan dewasa. Ikan-ikan ini akan menjadi target operasi penangkapan ikan secara komersial. Selanjutnya, perusahaan atau kelompok usaha yang menangkap ikan atau memanfaatkan sumber daya ikan di Blue Halo-S, harus berinvestasi dalam pengelolaan konservasi jangka panjang seperti dalam bentuk patroli berkelanjutan, pemantauan dan evaluasi biologis dan sosial, pembangunan kesadaran masyarakat, pengembangan pendidikan dan mata pencaharian, dikelola bersama oleh pemerintah.

Harapannya, konsep ini akan menjadi sistem pembiayaan baru untuk konservasi agar tidak tergantung pada APBN atau APBD. Juga dapat menjadi program Kementerian/Lembaga dengan mengkaji secara bioekonomi, manajemen perikanan dan aspek legal. Proyek percontohan akan dilaksanakan di Fakfak dan Misool, Papua Barat.

Dari arah kebijakan program tersebut bisa dicermati bahwa konsep Blue Halo-S ditujukan agar kelestarian laut dan perikanan tanggung jawabnya diserahkan kepada masyarakat atau pengelola/swasta, secara perlahan negara berlepas tanggung jawab dengan mendorong Blue Halo-S ini mendapatkan pendanaan secara mandiri tidak bergantung kepada APBD maupun APBN. Disinilah letak kerentanannya, bahwa dengan peran pemerintah yang hanya sebagai regulator maka keadilan tidak akan merata. Penangkapan berbasis kuota ini tentu akan menguntungkan pemodal besar, kapal-kapal industri perikanan akan menjadi juaranya, sementara nelayan tradisional disinyalir akan semakin tersingkir.

Dampak Negatif Kapitalisasi Blue Halo-S

Memang kuota penangkapan ikan dalam program ini telah ada ketentuaannya. Misi pemerintah mengedepankan ekologi dibanding ekonomi juga berulang telah ditegaskan. Dalam skema kuota ini juga ada kewajiban melaporkan jumlah yang ditangkap dan berapa yang masuk PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Namun, dampak negatif dari konsep ini menganga didepan mata, mulai dari rawan konflik antara kapal perikanan industri dengan nelayan tradisional karena dalam satu zonasi penangkapan hingga penguasaan wilayah tangkapan.

Di mana pun hal itu terjadi, maka sudah hampir pasti bahwa yang punya modal besar akan menjadi penguasa zonasi. Apalagi program Blue Halo-S ini membuka peluang investasi dari usaha perikanan internasional. Besar kemungkinan bahwa rakyat dan nelayan tradisional akan semakin tipis dan buntung pendapatannya.

Pengaturan pemberian kuota antara perusahaan besar dengan kelompok nelayan rencanaya memang akan dilakukan Dirjen Perikanan Tangkap KKP. Kapal besar dan nelayan tradisional tidak beroperasi di satu wilayah yang sama agar tidak banyak konflik, misal nelayan tradisional dibatasi 12-24 mil, yang besar di luar itu. Maka dengan skema seperti ini pun disinyalir akan tetap merugikan kelompok nelayan karena beda zonasi tentu beda kualitas ikannya. Dengan peran investor asing maka pengusaha besar akan mudah berkuasa dan memilih wilayah, adapun nelayan kecil hanya akan memungut sisa ikan dan bekas zonasi penangkapan oleh kapal industri.

Strategi Islam Mengembangkan Potensi Perikanan agar Masyarakat Nelayan Sejahtera

Dunia maritim membutuhkan perhatian lebih dari berbagai pihak agar tetap asri sehingga mampu memberikan manfaat ekonomi berkelanjutan, utamanya adalah kepada masyarakat pesisir sebagai garda terdepan yang bersentuhan secara langsung dengan laut. Dengan begitu, generasi saat ini ataupun generasi mendatang dapat mengelolanya dengan baik.

Sesungguhnya, Blue Halo-S menjadi wacana yang penting tentang ekonomi kelautan sebagai mekanisme pertumbuhan ekonomi suatu negara, agar potensi laut tersebut tidak punah dan dijamah sesuai kebutuhan.

Namun, jika cara pandang dan pengelolaannya tidak secara langsung diurus oleh negara, dalam hal ini adalah membuka seluas-luasnya pendanaan dari investor global, maka tentu hal tersebut hanya akan menguntungkan pihak investor swasta dan asing, rakyat dan nelayan hanya mendapatkan secuil remahannya saja. Sungguh menjadi hal yang unfaedah dan merugikan menggencarkan konsep Blue Halo-S tapi realisasi dari konsep tersebut masih mengikuti arah pandang kapitalisme. emiskinan yang melanda masyarakat pesisir, ketika pada saat yang sama potensi bahari begitu besar, adalah ironi kronis yang sulit disembuhkan.

Memang dalam mengusung konsep Blue Halo-S ini, kapitalisme sedikit tampak lebih manis dan ramah karena mengusung isu kelestarian lingkungan. Namun perubahan mendasar dan mengakar yang dapat memposisikan potensi bahari selaku milik umum, tidak akan pernah terjadi, kecuali sistem pengelolaannya diganti menurut aturan Islam. Rasulullah saw. bersabda:

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Laut, menurut hadis tersebut termasuk ke dalam kategori air. Laut beserta seluruh potensi bahari dalam Islam adalah sumber daya kepemilikan umum (milik rakyat). Pengelolaannya harus di bawah tanggung jawab penguasa negara untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat secara luas selaku pemilik potensi bahari tersebut.

Negara seharusnya berperan mewakili rakyatnya untuk mengelola potensi bahari sehingga tidak boleh terjadi privatisasi oleh pihak tertentu, baik individu maupun para pemodal komersial.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi