Krisis Ekonomi Dunia

Laporan terbaru IMF menyebutkan kondisi ekonomi tahun 2023 akan lebih suram. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya 3,2 persen. Hampir separuh lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 6,1 persen. Tahun depan diperkirakan hanya tumbuh 2,9 persen. Penyebabnya, tiga negara motor penggerak ekonomi global—Cina, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa—mengalami tekanan yang cukup berat.

AS, yang menyumbang 25 persen ekonomi global,  tahun ini menghadapi masalah ekonomi yang cukup serius. Pada bulan Juli, inflasi di negara itu mencapai 9,1 persen. Tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Kondisi ekonomi AS dalam enam bulan terakhir secara teknis sebenarnya telah masuk ke dalam resesi. Pertumbuhan ekonomi negara itu negatif pada kuartal pertama dan kuartal kedua tahun ini. Masing-masing -1.9 persen dan 0,6 persen. Kenaikan inflasi yang tinggi tersebut kemudian direspon oleh The Fed, Bank Sentral AS, dengan menaikkan suku bunga Federal Fund Rate, hingga mencapai 2,5 persen pada bulan Juli. Dalam beberapa bulan ke depan The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga hingga inflasi dapat dijinakkan ke level dua persen, target inflasi ideal otoritas moneter itu.

Federal Fund Rate merupakan suku bunga acuan bagi bank-bank di AS dalam memberikan kredit kepada nasabah mereka. Semakin tinggi suku bunga The Fed, semakin tinggi pula suku bunga yang dikenakan sektor perbankan kepada nasabah mereka. Dengan demikian  mereka akan mengurangi belanja dan berinvestasi, dan sebaliknya  mendorong mereka untuk menyimpan uang mereka di perbankan atau portofolio keuangan lainnya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah suku bunga The Fed, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk berbelanja dan berinvestasi, termasuk di sektor properti ataupun di pasar modal, baik di dalam ataupun di luar negeri. Semakin ketat kebijakan moneter The Fed, semakin suram pula proyeksi pertumbuhan ekonomi AS ke depan.

Uni Eropa juga mengalami kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan AS. Dampak dari sanksi negara-negara Barat ke Rusia mengakibatkan negara-negara Uni Eropa kesulitan mendapatkan pasokan energi fosil alternatif setelah Rusia mengurangi ekspornya ke kawasan tersebut. Pada bulan Juni, inflasi tahunan Uni Eropa adalah 9,6%. Bahkan inflasi di beberapa negara seperti Estonia, Lithuania dan Latvia berada di kisaran 20 persen. Lagi-lagi, menghadapi inflasi yang tinggi tersebut, European Central Bank (ECB) mengeluarkan jurus yang sama dengan bank sentral lainnya: menaikkan suku bunga, pertama kalinya sejak 2016.

Selain itu, Cina yang dalam beberapa dekade menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi global, kini juga mengalami tekanan akibat kebijakan Pemerintah yang menerapkan zero-tolerance COVID-19 Policy, untuk mencegah penularan pandemi di negara itu, telah membatasi mobilitas masyarakat sehingga kegiatan ekonomi anjlok.  Namun, tekanan yang paling mengancam ekonomi negara itu adalah krisis di sektor properti. Menurut Rogoff & Yang (2020), sektor ini setara dengan 29 persen PDB Cina, bahkan bisa lebih tinggi.

Kemajuan ekonomi penduduk Cina telah mendorong meningkatnya investasi di sektor itu, terutama untuk tujuan spekulasi. Namun, baik pengembang dan investor sama-sama mengandalkan utang untuk menggerakkan sektor itu. Upaya Pemerintah untuk mengatasi gelembung di sektor tersebut menyebabkan perusahaan-perusahan sektor properti kelimpungan. Pengembang papan atas seperti Evergrande, Fantasia, Sinic dan Modern Land mengalami gagal bayar atau sedang menuju default.  Belakangan, pelemahan ekonomi juga menyebabkan pembeli enggan membayar cicilan kredit mereka. Ini semakin memperparah tekanan keuangan para developer untuk melanjutkan proyek dan membayar utang mereka yang semakin meningkat. Kini di berbagai kota muncul kota-kota hantu, gedung-gedung apartemen yang sunyi dari penghuni.  Karena itu krisis properti di Cina dikhawatirkan berdampak seperti krisis properti yang terjadi di Jepang tahun 1992 dan di AS tahun 2008. Di Jepang, setelah mengalami gelembung (bubble) akibat spekulasi, sektor properti dan pasar modal meledak tahun 1992 dan mengakibatkan stagnasi hingga satu dekade, atau sering disebut sebagai Lost Decade.

 

Terus Berulang

Definisi National Bureau of Economic Research (NBER) menekankan bahwa resesi melibatkan penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan. NBER menggunakan sejumlah indikator untuk mengukur ekonomi aktivitas, termasuk PDB riil, lapangan kerja ekonomi, penjualan riil, dan produksi industri. Meskipun demikian, media seringkali menggunakan istilah resesi teknikal, yaitu ketika dua kuartal ekonomi tumbuh negatif.

Resesi merupakan bagian integral dalam ekonomi kapitalisme. Dalam berbagai textbook Pengantar Ilmu Ekonomi,  kondisi ekonomi suatu negara akan mengikuti suatu pola yang disebut siklus ekonomi. Siklus ini dimulai dari ekspansi ekonomi, lalu mencapai puncaknya, lalu menurun atau mengalami resesi hingga mencapai palung, lalu kembali berekspansi lagi, dan seterusnya. Yang berbeda-beda adalah durasi masing-masing siklus tersebut. Berdasarkan data NBER, sejak tahun 1858 hingga 2020, AS telah mengalami resesi sebanyak 34 kali. Jika dirata-rata, negara itu mengalami resesi lima tahun sekali. Celakanya, sebagai negara raksasa, krisis yang terjadi di AS akan berdampak ke negara-negara lainnya.

Resesi yang terjadi di AS disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang paling sering adalah masalah pemanasan (overheating) yang disebabkan oleh lonjakan permintaan—yang  kebanyakan didorong oleh motif spekulasi—terutama pada produk-produk investasi yang mengakibatkan gelembung harga (bubble). Gelembung tersebut pada akhirnya meledak dan berakhir dengan resesi. Pertumbuhan ekonomi terkontraksi dan pengangguran meningkat. Contohnya adalah pecahnya gelembung saham-saham internet atau dot-com pada tahun 2000, dan gelembung aset keuangan berbasis kredit perumahan (subprime mortgage) pada tahun 2008.

Kebijakan Bank Sentral yang menaikkan suku bunga yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab resesi. Ketika terjadi pemanasan ekonomi—akibat permintaan yang meningkat pesat sehingga mengakibatkan inflasi—Bank  Sentral akan melakukan  pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga. Dengan kenaikan bunga tersebut, permintaan masyarakat turun, sementara tagihan kredit mereka meningkat. Maklum, masyarakat AS sangat bergantung pada kredit untuk membiayai gaya hidup mereka; untuk properti, kendaraan, uang sekolah dan kartu kredit. Menurut data Experian, perusahaan pelapor kondisi kredit di AS, rata-rata pinjaman penduduk AS tahun 2021 sebesar US$90,460. Jika dirupiahkan sekitar Rp 1,4 miliar perkepala.  Penurunan konsumsi tersebut kemudian menurunkan produksi dan laba perusahaan. Pengangguran pun naik. Investasi anjlok, termasuk di pasar modal. Ketika pasar modal anjlok maka turun pula pendapatan masyarakat AS. Pasalnya, mengutip Survey Gallup (April 2022), 58 persen penduduk AS, terutama kelas menengah atas, berinvestasi di pasar modal.

Meskipun demikian, ada pula resesi yang disebabkan oleh peristiwa eksternal, yang disebut sebagai goncangan (schock) sehingga menghentikan laju pertumbuhan ekonomi. Contohnya, antara lain, kenaikan harga minyak tahun 70-an akibat embargo minyak oleh negara-negara OPEC; resesi akibat pandemi COVID-19, dan resesi yang ditimbulkan oleh peperangan.

 

Dampak Global

Potensi resesi yang terjadi di AS dan Uni Eropa, serta perlambatan ekonomi Cina, akan berdampak cukup besar bagi negara-negara lain, khususnya yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan negara-negara tersebut.  Pertama: Melemahnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut akan menyebabkan penurunan permintaan impor dari negara lain. Negara-negara eksportir pun akhirnya ikut menurun. Paling terpukul tentu saja negara-negara Asia yang menyumbang 44 persen dari impor AS, disusul benua Amerika dan Eropa, yang masing-masing sebesar 31 persen dan 23 persen.

Kedua: Harga-harga komoditas primer di pasar global akan turun sehingga pendapatan negara-negara produsen juga akan turun. Ketika diperkirakan akan terjadi resesi atau perlambatan ekonomi global, maka harga komoditas akan cenderung turun. Sebagai gambaran, dari total minyak mentah yang dipasarkan di dunia, sebanyak 25 persen diserap oleh Cina. Negara itu juga merupakan pengimpor terbesar batubara (17 persen)  biji besi (71 persen)  dan biji tembaga  (60 persen). Peran para spekulator di pasar komoditas berjangka juga sangat berpengaruh terhadap harga komoditas global. Tatkala prospek ekonomi suram, maka para spekulan cenderung mengurangi permintaan mereka di pasar berjangka.

Ketiga: Pengetatan moneter di AS dan Uni Eropa akan mendorong para investor global menarik dana mereka dari negara-negara berkembang (capital outflow). Akibatnya, nilai tukar negara-negara berkembang tersebut akan mengalami pelemahan. Ini pada akhirnya  mengakibatkan biaya impor dan pembayaran cicilan utang mereka naik secara otomatis. Saat ini sektor finansial dimonopoli oleh perusahaan investasi dari negara-negara maju, khususnya AS. Dengan suku bunga rendah di negara mereka, mereka dapat meminjam ke perbankan, lalu berinvestasi di negara-negara yang memiliki mata uang yang berbeda dan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi. Karena itu, ketika suku bunga di negara mereka naik, ia akan menarik likuiditas mereka ke negara asal mereka. Praktik yang  dikenal sebagai carry trade ini  diduga sangat berkorelasi dengan stabilitas keuangan dan nilai tukar global dan sering disalahkan sebagai penyebab anjlok dan menguatnya nilai mata uang di berbagai negara.

 

Dampak ke Indonesia

Sebagai negara yang memiliki keterkaitan yang kuat secara ekonomi dengan AS dan Cina, perlambatan ekonomi di negara itu juga akan menekan perekonomian Indonesia.

Dampak resesi akan menurunkan ekspor Indonesia. AS menjadi salah satu tujuan utama ekspor Indonesia dengan pangsa pasar di kisaran 11 persen pertahun, sementara ke Cina berada di kisaran 25 persen. Karena itu, jika ekonomi negara tersebut melemah maka ekspor Indonesia akan turun. Harga-harga komoditas primer juga akan cenderung turun akibat melemahnya permintaan global. Dengan demikian beberapa andalan ekspor Indonesia seperti batubara, minyak sawit, tembaga dan nikel akan ikut turun.

Pengetatan moneter di AS telah menyebabkan modal asing keluar dari Indonesia. Imbasnya, nilai tukar rupiah melemah cukup signifikan, dari kisaran Rp 14,200 perdolar AS ke kisaran Rp 15,000 pada akhir Juli. Nilai utang dan pembayaran bunga utang Pemerintah dan perusahaan dalam mata uang asing  meningkat. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2020, setiap pelemahan kurs seribu rupiah, maka beban utang PLN secara otomatis naik Rp 9 triliun. Setiap pelemahan seribu rupiah, belanja APBN 2022, terutama akibat peningkatan bunga utang, naik Rp 13 triliun.

Alhasil, penurunan ekspor yang dibarengi dengan peningkatan pembayaran impor, cicilan utang dan bunganya akan mengakibatkan penurunan cadangan devisa Indonesia. Pada akhir 2022, cadangan devisa Indonesia masih US$ 145 miliar. Namun, pada akhir Juli nilainya turun menjadi US$ 132 miliar. Dengan kata lain, dalam periode itu, cadangan devisa telah terkuras sebesar US$ 13 miliar atau sekitar Rp 195 triliun dengan kurs Rp 15 ribu perdolar.

Semakin dalam pelemahan rupiah, saat penerimaan devisa menurun, maka beban Bank Indonesia dalam mengendalikan nilai tukar rupiah semakin terbatas. Kondisi ini mendorong Pemerintah mencari utang luar negeri, termasuk dari lembaga multilateral atau negara lain, ataupun menerbitkan surat utang global untuk menyelamatkan nilai tukar rupiah. Ini dengan catatan kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan, khususnya perbankan tetap stabil, harga-harga tetap terkendali dan kondisi politik juga relatif kondusif. Jika tidak, kondisi ekonomi Indonesia berpotensi mengalami hard landing.

Namun, terlepas dari seberapa besar potensi resesi di AS dan dampaknya ke Indonesia, jika mengikuti teori siklus ekonomi di atas, AS dan negara-negara kapitalisme raksasa dunia akan terus menghadapi resesi ke resesi berikutnya dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Dengan demikian, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, akan terus dihantui ketidakstabilan ekonomi, ketidakstabilan nilai tukar, kerentanan sektor finansial, di samping distribusi ekonomi yang semakin timpang. Wajar jika survei Edelman tahun 2022 menyebutkan 52 penduduk global berpandangan sistem kapitalisme lebih banyak mendatangkan bahaya dibandingkan kebaikan. Karena itu tanpa adanya perubahan fundamental terhadap sistem kapitalisme, seperti yang diadopsi Indonesia saat ini, potret suram ekonomi seperti yang digambarkan IMF di atas, akan terus berulang.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Muis; (Pengamat Ekonomi Politik)]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi