Kepentingan Oligarki di Balik Perppu Ciptaker

Presiden Joko Widodo telah meneken Perpu Cipta Kerja dan mengumumkan penerbitannya pada 30 Desember 2022. Pemerintah beralasan Perppu tersebut perlu dikeluarkan dengan alasan adanya kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan perekonomian.

Alasan tersebut tentu saja tidak rasional. Pasalnya, belum lama ini di forum G-20, Jokowi sendiri membanggakan kinerja ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Ketika ekonomi dunia menghadapi perlambatan, Indonesia tumbuh 5,72% pada kuartal ke-III dan sekitar 5,14% sepanjangan tahun 2022.

Alasan untuk memperkuat investasi yang diutarakan Pemerintah juga tidak masuk akal. Berdasarkan publikasi BKPM, realisasi investasi hingga triwulan ketiga tahun 2022 sudah menembus angka Rp 892,4 triliun. Target investasi sebesar Rp 1200 Triliun sepanjang tahun 2022 sangat optimis bisa terealisir. Artinya, tanpa Perppu kinerja investasi Indonesia sudah sangat baik.

Fakta lapangan juga menkonfirmasi kebijakan rezim Jokowi yang terus melanjutkan proyek infrastruktur ugal-ugalan seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, kereta cepat, IKN. Tidak masuk akal jika memang perekonomian sedang sulit, kebutuhan dasar masyarakat belum terpenuhi, tetapi proyek infrastruktur jalan terus. Artinya, tidak ada isu kegentingan dalam konteks makro ekonomi.

Berbeda halnya dengan konteks mikroekonomi. Pada level rumah tangga, misalnya, menurut hasil survey Kompas, 68% atau 183,7 juta orang Indonesia tak mampu membeli makanan dengan gizi seimbang setiap harinya. Karena itu kebutuhan mendesak hari ini adalah mengupayakan makanan dengan gizi seimbang sampai ke seluruh masyarakat; menekan angka stunting, juga ketimpangan pendapatan yang luar biasa parah. Masyarakat tentu akan senang jika Jokowi mengeluarkan Perppu untuk mengatasi ini semua. Sayang, ini yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh Jokowi.

 

Pembangkangan Terhadap Konstitusi

Sejumlah pihak menyebut bahwa langkah Jokowi mengeluarkan Perppu merupakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, syarat mengeluarkan Perppu tidak terpenuhi. Presiden boleh mengeluarkan Perppu diatur dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dengan tiga ketentuan, yakni: 1) Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; 2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai; 3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Berdasarkan realitas negeri ini, jelas ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi. Artinya, Jokowi telah secara sembrono menggunakan haknya mengeluarkan Perppu.

Kedua: Melecehkan keputusan MK dan UUD. Sebelumnya, pada 25 November 2021, MK telah memutus Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945. Amar putusan MK menyatakan bahwa RUU tersebut inkonstitusional bersyarat. Pemerintah serta DPR diberi waktu hingga dua tahun untuk memperbaikinya. Jika dalam waktu dua tahun tidak dilakukan upaya perbaikan maka RUU tersebut inskontitusional secara permanen.

Sejauh ini, Presiden tidak melaksanakan keputusan MK. Justru ia secara sepihak mengeluarkan Perppu Ciptaker yang substansinya sama dengan UU Ciptakerja. Dengan kekuasannya, Jokowi mencoba membatalkan keputusan MK. Akibatnya, status negara ini sebagai negara hukum juga batal dengan sendirinya. Yang ada adalah negara kekuasaan alias kepemimpinan yang diktator.

 

Ciptakerja yang Tidak Pro Pekerja

Ketika Perppu ini baru dikeluarkan, terdapat penentangan keras secara masif dari kaum pekerja lantaran tidak pro pekerja. Begitu juga sebelumnya ketika UU Ciptaker akan disahkan. Kaum buruh bereaksi keras karena secara substansi keduanya tidak jauh berbeda, yakni sama-sama tidak sesuai harapan para pekerja.

Beberapa poin penolakan antara lain: Pertama, mengenai outsourcing. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, poin outsourcing sudah jelas diberlakukan hanya pada sektor tertentu. Misalnya, sekuriti, cleaning service, pertambangan, katering. Adapun pada Perppu Ciptaker tidak dijelaskn secara detail sehingga memungkinkan semua sektor akan di outsourcing-kan.

Kedua, mengenai tenaga kerja asing (TKA). Dalam Perppu Ciptaker penggunaan TKA terlalu disederhanakan. Perusahaan yang membutuhkan TKA hanya perlu menyampaikan kebutuhannya ke Kementerian terkait. Ssetelah itu TKA akan didatangkan. Berbeda dengan peraturan dulu ketika ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Misalnya, TKA yang bekerja di Indonesia adalah tenaga berkeahlian, bukan tenaga kasar, dan wajib berbahasa Indonesia. Persyaratan itu semua dihilangkan di Perppu.

Ketiga, soal upah minimum. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, kenaikan upah dihitung menggunakan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Selain itu ada komponen hidup layak atau KHL. Dalam Perppu Cipta Kerja, ada perubahan yang akan diatur dengan PP tentang pengupahan. PP 36 tentang pengupahan diitung dua komponen pilihan, yakni inflasi atau pertumbuhan ekonomi.

Keempat, dalam Perppu hilang ketentuan tentang upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK). Padahal UMSK menjadi penting untuk membedakan sektor perusahaan yang ada.

Kelima, hak istirahat dalam Perppu Cipta Kerja. Istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan.

Keenam, tidak adanya kepastian upah, status pekerjaan dan jaminan sosial terhadap karyawan kontrak.

Ketujuh, kompensasi pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang diterima buruh korban PHK berkurang dibandingkan aturan lama. Dalam UU Ketenagakerjaan besaran uang pesangon yang diterima buruh korban PHK paling banyak dibatasi 10 bulan gaji. Dalam Perppu Cipta kerja, pesangon dibatasi maksimal hanya 9 bulan gaji. Buruh juga memandang sistem upah yang berlaku dalam Perppu Cipta Kerja merugikan karena buruh berpotensi mendapatkan upah yang rendah.

Oleh karena itu, jika Perppu Ciptaker tetap dilaksanakan, ia berpotensi membuat pekerja semakin miskin. Sebaliknya, para pemilik modal akan semakin pesta-pora. Pasalnya, Perppu Ciptaker memang bertujuan untuk mendorong investasi dengan sistem perizinan yang sederhana serta syarat-syarat yang lebih mudah.

 

Kepentingan Oligarki

Negeri ini sudah dikendalikan oleh oligarki yang memiliki kekuatan modal untuk menguasai politik dan ekonomi. Semuanya berawal dari sistem politik yang rusak dan mahal. Mendagri Tito Karnavian pernah menyatakan untuk menjadi bupati minimal butuh Rp 30 milar, sedangkan untuk menjadi walikota dan gubernur jauh di atas itu.

Untuk menjadi presiden tentu dibutuhkan angka yang jauh lebih fantastis. Tidak ada rilis mutakhir, Forbes, 20 November 2013 pernah merilis bahwa untuk menjadi calon presiden, seorang kandidiat butuh Rp 7 Triliun. Belum termasuk biaya pemenangan, public relation, biaya media, logistik kompanye, merchandise, dll. Jika ditotal angkanya bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Ketika berhasil, maka Presiden harus membayar kembali biaya pemenangan melalui jatah proyek-proyek APBN maupun APBD ataupun konsesi tertentu. Pertambangan, misalnya, atau perdagangan, bebas pajak.

Cukup banyak pakar yang meneliti dan menjelaskan bagaimana Oligark manguasai panggung politik negeri ini. Melalui publikasi yang berujudul Democracy For Sale: Election, Clientilism, and the state of Indonesia, Edward Aspinall dan Ward Berenschot (2019) menganalisis terdapat jejaring informal dan strategi-strategi politik yang membentuk akses pada kekuasaan dan privilege dalam ekosistem politik kontemporer Indonesia. Mereka pun memaparkan bahwa seluruh institusi formal setiap tingkatannya telah dibayang-bayangi oleh dunia gelap koneksi personal, transaksi kekuasaan serta tukar guling kasus untuk saling menutupi.

Peter Geoghegan (2020), melalui publikas berjudul Democracy For Sale:  Dark Money Dirty Politic, menyatakan demokrasi sedang dalam krisis, melalui aliran uang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dilacak akan mempercepat kehancurannya. Democracy for Sale adalah kisah tentang bagaimana uang, kepentingan pribadi dan penipuan digital dilakukan secara massif dan liar. Geoghegan menyelidiki politisi, think tank partisan didanai dan propagandis memainkan sistem dengan curang.

Jeffrey A Winters (2011) menyebut bahwa demokrasi sudah tidak ada. Yang ada adalah oligarki yang memaanfaatkan demokrasi untuk menguasai regulasi. Melalui regulasi, kelompok oligarki mempertahkan kekayaan mereka. Menurut Winters, oligarki di Indonesia mengalami transisi dari Oligarki Sultanistik pada masa Soeharto menjadi oligarki penguasa kolektif (ruling oligarchy). Oligarki penguasa kolektif merupakan kekuasaan yang dikendalikan oleh kuatnya konsolidasi sesama oligarki. Sekelompok oligarki ini yang menentukan siapa yang akan menjadi presiden, serta bagaimana kebijakan dan peraturan perundangan. Model pemerintahan seperti ini ditemukan pada praktik kekuasaan Yunani Roma. Kita juga bisa menemukan praktik seperti ini di Kota Makkah pra Islam.

Kemunculan UU kontroversi, terutama dalam bidang bisnis yang berpihak kepada oligarki, mengkonfirmasi hal ini. Tangan-tangan oligarki yang tidak keliatan mengarahkan regulasi di negeri ini sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka bisa dengan bebas mengeruk kekayaan negeri ini dengan membuat peraturan perundangan melalui penguasa yang menjadi antek mereka.

Selain Perppu Cipataker, sebelumnya berbagai peraturan perundangan dikebut Pemerintah dan DPR tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Misalnya, UU no. 3 tahun 202 tentang Minerba, UU no. 3 tahun 2022 tentang IKN, UU KPK, UU MK, dll.

Melalui regulasi, berpestalah oligarki, termasuk investor tambang. Pasalnya, salah satu bagian penting dalam Perppu Ciptaker adalah perpanjangan otomatis konsesi-konsensi tambang selama 2 kali 10 tahun. Melalui Perppu ini ada ketentuan membayar royalti 0% untuk perusahaan batubara yang melakukan hilirisasi. Padahal Pemerintah sudah mengguyur pelaku bisnis pengolahan dengan berbagai insentif. Sebelumnya, Pemerintah telah menjalankan kebijakan tax holiday serta pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Parahnya lagi, rezim ini bukan saja kaki tangan oligarki. Bahkan sebagian pejabat utama pemerintahan merupakan bagian dari oligarki bisnis, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Tohir, Sandiaga Uno, Prabowo Subianto, Nadiem Makarim, Airlangga Hartarto, Bahlil Lahadalia, dll. Menurut Winters, meski AS merupakan negara yang dikendalikan oleh oligarki, mereka hanya sebagai dalang di balik layar. Tidak banyak yang maju sebagai wayang. Di Indonesia, sebagian besar dalang juga maju menjadi wayang. Akibatnya, negeri ini semakin jauh dari nilai-nilai keadilan, pemerataan dan kesejahteraan ekonomi. Yang ada adalah kesejahteraan oligarki.

 

Sistem Ekonomi Islam: Sistem EKonomi Terbaik

Sudah terbukti bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Aneka persoalan nyaris ada di seluruh dimensi kehidupan. Ekonomi, politik, pendidikan, hukum, korupsi, LGBT, kemiskinan akut, stunting. Bagaimana mengatasi ini semua? Apakah masih percaya dengan UU produk DPR atau Perppu produk Presiden atau aturan siapa yang lebih mengatur negeri ini selain dari aturan Allah SWT?

Begitu juga dalam bidang perekonomian. Akan terwujud kesejahteraan, pemerataan dan keadilan ekonomi jika sistem ekonomi Islam diterapkan. Sistem ekonomi Islam menyangkut asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan; juga menyangkut politik ekonomi Islam, yaitu jaminan kebutuhan pokok bagi individu (sandang, pangan, dan papan) dan jaminan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis).

Dalam Islam tidak dikenal agenda-agenda neoliberalisme dan neoimperialisme seperti privatisasi, liberalisasi perdagangan dan keuangan, serta kebijakan anggaran ketat (termasuk pencabutan subsidi). Selain itu tambang migas, dari segi kepemilikannya, merupakan milik umum, bukan milik individu (swasta). Dengan demikian selama karakter tambangnya adalah milik umum, yaitu menghasilkan produksi yang besar, maka haram hukumnya mengubah kepemilikan tambang migas itu menjadi milik individu. Demikian juga halnya dengan relasi antara pekerja dan pemberi kerja. Sistem tenaga kerja dalam Islam memberikan keadilan baik terhadap pekerja maupun pemberi kerja. Tidak seperti Kapitalisme yang sangat zalim terhadap para pekerja!

WalLaahu’alam bi ash-shawab. [Dr. Erwin Permana; (Koordinator PAKTA)]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi