Jebakan Utang Luar Negeri


Oleh. H.M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirrahim

Menurut pemberitaan media lokal yang dapat dipercaya, Indonesia terjebak dalam gunungan utang dari Cina yang jumlahnya terus meroket sejak 2013. Sebanyak US$23 miliar dan sekitar US$18 miliar di antaranya tergolong utang tersembunyi karena masuk lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan bank-bank pelat merah, sehingga tidak tercatat sebagai utang pemerintah. Tapi, bila pengembalian utang itu macet, negara pula yang bakal menanggung.

Begitu pula sebagian negara-negara di Eropa kini tengah ketar-ketir atas serangan Rusia ke Ukraina pascapandemi. Namun, Beijing malah terus memperluas portofolionya dengan menjalankan sejumlah pelabuhan dan tambang di Eropa, membangun jalan dan jembatan, serta berinvestasi di tempat yang tidak dimiliki pihak-pihak lain.

Menurut laporan BBC, kini sebagian besar negara Eropa harus mempertimbangkan imbalan dan risiko dari penandatanganan kesepakatan dengan Cina. Mereka makin waspada terhadap apa yang disebut debt trap ‘jebakan utang’.

Dengan kondisi tersebut, pemberi pinjaman, yakni pemerintah Cina dapat mengambil konsesi ekonomi atau politik jika negara yang menerima investasi tidak dapat mengembalikan atau membayarkan kembali. Dana yang diberikan negeri Cina biasanya digunakan untuk proyek pembangunan infrastruktur negara-negara terkait. Namun, beberapa negara di dunia dilaporkan justru terjebak utang tersebut karena tak mampu membayarnya. Bahkan, tidak sedikit proyek pembangunan infrastruktur yang dijalankan dengan utang dari Cina berakhir mangkrak.

Secara menyeluruh bahwa membangun negara dengan hutang merupakan cara pandang ekonom kapitalis. Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang. Pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak. Penekanan pengeluaran biasanya dengan mengurangi subsidi untuk rakyat, di sisi lain pajak makin tinggi.

Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negeri-negeri berkembang pada hakikatnya adalah salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut. Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan” belaka yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi utang. Faktanya, jumlah pembayaran kembali cicilan dan bunga utang-utangnya telah menyedot porsi yang sangat besar dari belanja negara.

Utang jangka pendek maupun jangka panjang sama berbahayanya. Jangka pendek akan merusak sistem moneter negara pengutang, pada saat jatuh tempo untuk membayar, maka tidak bisa membayar dengan mata uang lokal, harus dibayar dengan mata uang dollar misalnya. Kemudian saat membeli dollar, mata uang itu langka sehingga harganya menjadi naik melambung tinggi, maka sangat berat bagi negara pengutang untuk melunasinya.

Begitupula utang jangka panjang, sama berbahayanya karena makin lama jumlahnya semakin menggila. Akhirnya, akan dapat melemahkan anggaran belanja negara pengutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya. Pada saat inilah, negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara pengutang.

Tentu sangat berbahaya, bahaya ini menyasar politik negara, yaitu terkait kedaulatan. Dalam theory of sovereignty, Jean Bodin menganggap negara tidak dianggap berdaulat jika kedaulatan berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.

Dalam sudut pandang Islam, syarat negara itu disebut sebagai negara berdaulat adalah ketika kedaulatan negara ada pada hukum-hukum syariah. Karena itu, haram kedaulatan negara disandarkan pada negara-negara kafir melalui “jebakan utang” (debt trap) mereka.

Bagaimana utang negara dalam pandangan Islam? Walaupun boleh, ada beberapa syarat sebagaiman syarat-syarat dan rukun dalam bermuamalah. Utang – bahasa Arab- disebut al-qardh yang secara bahasa berarti al-qath’ (terputus). Harta yang diutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh karena ia terputus dari pemiliknya. Utang-piutang merupakan salah satu bentuk mu’amalah yang bercorak “ta’awun” (pertolongan). Namun, ketika utang ini dilakukan oleh negara, maka menjadi persoalan yang lain, di antaranya;

Pertama, utang negara saat ini tidak dapat dilepaskan dari riba. Padahal Islam tegas mengharamkan riba (Lihat QS Al-Baqarah: 275).

Kedua, utang negara adalah alat penjajahan yang berbahaya, digunakan sebagai Palse War dan bagian dari penjajahan model baru yang merusak kedaulatan negara. Terhadap hal berbahaya yang merusak ini, maka diharamkan, sesuai kaidah:

كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْمُبَاحِ إِذَا أَوْ صَلَ إِلَى ضَرَر حَرَمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَ بَقِيَ الشَّيْءُ مُبَاحًا

“Setiap bagian dari satuan-satuan sesuatu yang mubah, jika membawa pada bahaya, haram untuk satuan itu, sedangkan bagian sesuatu yang lainnya tetap mubah.”

Ketiga, utang bukan sumber pokok penopang ekonomi. Negara dituntut untuk mandiri dan menjauhi sifat boros dalam sistem kapitalisme. Jika dirunut lagi, masalah utang luar negeri yang diambil oleh pemerintah di negara Dunia Ketiga yang dirancang sistem ekonomi kapitalis untuk tidak mandiri dan boros.

Hal ini berbeda dalam sistem ekonomi Islam. Negara tidak pernah tertumpu pada utang. Sepanjang periode pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah , defisit anggaran hanya pernah terjadi pada saat Penaklukan Makkah. Itu pun segera dilunasi pada periode Perang Hunain pada tahun yang sama.

Anggaran negara pada masa Daulah Islam kebanyakan surplus. Pertimbangan utama keseimbangan anggaran pada masa itu adalah prinsip kesederhanaan dan kemampuan untuk mandiri sebagaimana dalam ajaran Islam. Sungguh, hanya dengan meninggalkan sistem kapitalisme dan kembali pada sistem Islam, negeri-negeri muslim mampu keluar dari jerat bahaya hutang dan makar musuh-musuh Allah Swt.

Wallahu a’lam bishawab

Bandung, 26 Jan. 2023/4 Rajab 1444 H

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi