Ironis! Di Kerajaan Sawit, Tapi Harga Minyak Goreng Melangit

Oleh. Ervan Liem.

Sungguh ironis, negara dengan sebutan Raja Sawit yang memiliki hamparan perkebunan dan menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia, namun hari ini seluruh anak bangsa sedang dihadapkan dengan masalah melambungnya harga minyak goreng yang kian hari kian sulit dinalar. Harga minyak goreng terus merangkak naik setidaknya dalam enam bulan terakhir dan diperkirakan akan terus mengalami kenaikan hingga tahun depan. Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan per 11 November 2021, harga eceran nasional untuk minyak goreng curah sudah berada di posisi Rp16.500 per liter atau naik mencapai 14,58 persen dari bulan lalu. Di sisi lain, harga minyak goreng kemasan naik sebesar 10,91 persen menjadi Rp18.300 per liter dari pencatatan bulan lalu (Bisnis.com 24/11/2021).

Kementerian Perdagangan mengungkap sederet penyebab mahalnya harga minyak goreng. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan kenaikan harga minyak goreng karena adanya berbagai hambatan di berbagai negara yang memacu harga internasional juga naik. “Kanada dan Argentina sebagai pemasok Canola Oil terjadi gangguan panen sehingga produksinya turun sekitar 7% dan menyebabkan turunnya pasokan dunia,” katanya kepada detikcom melalui pesan singkat, Jumat (5/11/2021). Kemudian, produksi crude palm oil (CPO) Malaysia turun sekitar 8%. Hal itu dikatakan karena kekurangan tenaga kerja yang disebabkan oleh pandemi.

“Krisis energi di beberapa negara, India, China, Eropa, sehingga mengalihkan ke bioenergi termasuk biodiesel. Biaya logistik tinggi (akibat pandemi) karena penurunan frekuensi pelayaran sehingga space kapal angkut terbatas juga berdampak pada kelangkaan kontainer internasional,” pungkasnya.

Seperti tak berujung permasalahan di negara ini, sematan sebagai penghasil CPO terbesar ternyata juga tak mampu membawa kesejahteraan untuk kehidupan rakyat. Minyak goreng yang katanya berlimpah ruah hasil dari bumi sendiri, namun justru bisa mencekik leher. Harganya harus tunduk dan mengikuti pasar internasional, padahal digarap di tanah sendiri. Lantas buat apa negara ini disebut sebagai Raja Sawit?

Pemerintah sering mengelu-elukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Tapi, apa maknanya tumbuh jika kesejahteraan rakyat tidak ikut tumbuh? Buktinya semakin hari angka kemiskinan makin melonjak dan jika mahalnya harga minyak goreng ini terus berlanjut, bukan hal yang tidak mungkin banyak pedagang gorengan yang gulung tikar.

Harga Minyak Goreng Melangit di Kerajaan Sawit Terbesar Dunia

Indonesia digadang-gadang sebagai raja ekspor sawit dunia karena menyumbang 37,3% dari total ekspor minyak sawit dunia pada tahun 2020. Sementara, untuk pangsa pasar sendiri, Indonesia merupakan yang terbesar dunia, yakni 55% dari total pasar kelapa sawit dunia. Pada tahun 2020, diperkirakan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia mampu menghasilkan 51,627 juta ton. Sementara, minyak sawit mentah berkelanjutan bersertifikat (certified sustainable palm oil/CSPO) diprediksi sekitar 15,19 juta ton dengan sebanyak 52%-nya berasal dari Indonesia. Tidak hanya menjadi produsen CSPO terbesar melalui RSPO saja, prestasi Indonesia juga dapat dilihat dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan International Sustainability and Carbon Certification (ISCC). Pasalnya, sebagai produsen terbesar CPO dunia, kini predikat terbesar produsen minyak sawit berkelanjutan juga melekat kepada Indonesia. Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Emil Satria juga menargetkan bahwa Indonesia akan menjadi penentu harga (price setter) kelapa sawit dunia pada 2045 mendatang.

Seiring dengan berbagai predikat diatas, muncul banyak pertanyaan, mengapa kini terjadi lonjakan harga minyak goreng? Sebagai Raja Sawit, mengapa rakyatnya justru berkabung karena harga minyak goreng melambung? Sejatinya, kenaikan harga minyak goreng saat ini adalah akibat dari sektor hulu, yakni meningkatnya harga crude palm oil (CPO) dunia. Akhirnya berpotensi memicu kerusakan harga hasil produksi minyak goreng dalam negeri. Selama ini, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng berada di kisaran Rp12-13ribu. Semestinya, kenaikan harga tidak akan jauh dari harga patokan, tetapi kini meroket hingga Rp20 ribu.

Menurut Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri, kenaikan harga minyak goreng sudah terjadi sejak enam bulan lalu. “Kemungkinan ada (penimbunan minyak goreng), makanya harus diawasi supaya tidak ada pihak yang bermain,” ujarnya (cnbcindonesia.com, 10/11/2021). Jelas, publik mengeluhkan kenaikan harga minyak goreng yang terus melangit. Harga dua liter minyak goreng biasanya di kisaran Rp27.000-Rp29.000, tetapi saat ini harganya menyentuh Rp40.000. Tentu dari situ bisa dibayangkan kesulitan rakyat akibat kenaikan harga minyak goreng yang juga masuk dalam komuditas utama pangan.

Pengaruh pasar global selalu menjadi alasan kenaikan harga. Gangguan yang paling signifikan saat ini di antaranya adalah pemasok Canada Canola Oil di Argentina yang mengalami gangguan produksi hingga turun sekitar 7%. Selain itu, meskipun negara ini adalah produsen CPO terbesar dunia, namun sebagian besar produsen minyak goreng nasional sangat bergantung pada pasokan CPO global, apalagi CPO mengikuti harga internasional. Otomatis, harga minyak goreng nasional pun naik. Gejolak harga komoditas strategis ini juga dipicu oleh turunnya produksi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di sejumlah negara pemasok pada akhir tahun ini. Sehingga para pengusaha dan industri pengolahan sawit dalam negeri, lebih suka memenuhi permintaan pasar global yang dari sisi harga pasti lebih menguntungkan daripada memenuhi CPO untuk kebutuhan bangsa sendiri. Tidak heran jika kemudian limpahan minyak sawit mentah negeri ini jauh lebih banyak yang diekspor keluar negeri, ditambah lagi perusahaan-perusahaan perkebunan sawit maupun pengolahan CPO yang saat ini juga didominasi oleh perusahaan swasta dan asing. Hal ini menambah derita pilu yang kian hari kian tergantung pada kapitalis.

Pemerintah mengklaim telah melakukan mitigasi permasalahan harga minyak goreng dan memastikan stok dalam negeri saat ini 628 ribu ton untuk mencukupi kebutuhan 1,5 bulan ke depan. Kemudian meminta produsen menyiapkan minyak goreng kemasan sederhana sebanyak 11 juta liter sebagai alternatif memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek dengan harga 14 ribu per liter. Dari sini, kemudian banyak timbul keanehan juga, status negera penghasil sawit terbesar ternyata tidak berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan rakyat atas minyak goreng itu sendiri.

Menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, entitas produsen minyak goreng berbeda dengan pelaku usaha kebun sawit. Hanya sebagian kecil produsen CPO yang terafiliasi dengan produsen minyak goreng sehingga produsen minyak goreng sangat tergantung harga CPO. Inilah penyebab Indonesia yang walaupun bergelar Raja Sawit Dunia, namun tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat atas minyak goreng dan bergantung pada harga CPO internasional. Jika begitu kenyataan yang ada, maka akan semakin sulit bagi negara ini untuk mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk minyak goreng dengan harga terjangkau.

Sementara di sisi lain, pemerintah selalu saja membanggakan pertumbuhan ekonomi yang dinilainya naik. Padahal, pertumbuhan ekonomi tidak menjamin terdistribusinya kesejahteraan. Dalam sistem kapitalisme yang kini tengah diterapkan, kemajuan ekonomi ditentukan oleh besarnya investasi, pertumbuhan, dan lain-lain. Akibatnya, yang diperhatikan adalah para pengusaha. Sebab, merekalah yang dipandang pencipta kemajuan ekonomi. Kondisi rakyat serba kekurangan tidaklah jadi ukuran. Secara teoretis, jika pertumbuhan ekonomi meningkat, maka seharusnya kesejahteraan meningkat dan penyerapan lapangan pekerjaan pun meningkat pula. Tapi, realitas menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi diy daerah dalam lima tahun terakhir tidak diiringi oleh turunnya kemiskinan, jumlah penduduk miskin terus bertambah.

Masih banyak permasalahan dan potensi kenaikan harga minyak goreng dalam negeri ini yang juga disebabkan karena sebagian besar industri hilir CPO masih belum terintegrasi dengan kebun sawit. Hal itu mengakibatkan produsen minyak goreng membeli CPO yang sudah mengalami kenaikan harga di pasar dunia. Sebagai negara agraris yang berpredikat Raja Sawit, lonjakan harga minyak goreng semacam itu, seharusnya tak perlu terjadi. Lha wong punya kebun sendiri tapi tidak untuk mencukupi kebutuhan rakyat sendiri, buat apa? Namun, inilah Indonesia yang harus bergantung pada mekanisme pasar global. Bahkan bukan hanya soal minyak, sebagian besar bahan pangan pokok dan hasil pertanian juga diimpor dari negara lain. Suatu kenyataan yang pahit namun harus rakyat terima.

Dampak Negatif Tingginya Harga Minyak Goreng

Dampak langsung yang bisa diketahui dan rasakan, di pasar tradisional kini ibu-ibu seperti orang bingung. Mereka mondar-mandir melihat barang dagangan yang ada, tidak berani menawar karena uang mereka cekak alias pas-pasan. Dulu, mereka masih bisa membeli tahu dan tempe sepotong yang harganya tak begitu tinggi. Tapi sekarang hal itu sukar sekali untuk dijalani karena memikirkan pula bahan penunjang seperti halnya minyak untuk goreng. Hampir semua kebutuhan pokok terus merangkak naik hingga masyarakat bawah makin terjepit hidupnya. Liberalisasi sektor pangan memperburuk keadaan, kebutuhan pangan tidak lagi sanggup dipenuhi sendiri. Indonesia meskipun menjadi penghasil minyak sawit terbesar nyatanya masih tergantung oleh ketentuan internasional. Hal itu semakin memperburuk distribusi minyak dalam negeri. Pengusaha dan produsen CPO lebih mengutamakan kebutuhan pasar global yang notabene lebih banyak memberikan keuntungan finansial, apalagi minyak sawit ini adalah penyumbang terbesar devisa negara, tentu pemerintah akan menggulirkan regulasi yang mudah. Dengan kenyataan dan ketentuan global, maka rakyat lagi yang jadi korban, harga minyak goreng akan terus disetir kepentingan.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan suburnya lineralisasi pangan terhadap komuditas minyak, diantaranya:

Pertama, meski produksi minyak sawit tinggi dan terbesar dunia, namun peruntukannya lebih banyak untuk kebutuhan global terlebih China dan India. Dengan prinsip ekonomi kapitalis yang berlaku saat ini, maka produsen CPO yang mayoritas juga dikuasai perusahaan asing akan lebih tertarik mengekspor CPO keluar negeri. Adapun produktivitas tanaman pangan pokok yang lain masih rendah dan terus menurun. Penyempitan lahan pertanian juga terus berjalan seiring bertumbuhnya pemukiman penduduk.

Kedua, keberpihakan pemerintah terhadap pertanian yang menyediakan kebutuhan pangan sering kalah oleh industri atau pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impor. Salah satunya adalah pembukaan lahan perkebunan sawit saat ini yang terkesan ugal-ugalan hingga pemusnahan hutan, yang berdampak pula pada semakin besarnya bencana banjir yang terjadi saat ini. Sebagai contoh, Lampung merupakan salah satu produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia dengan produksi sekitar 43,82 persen dari total produksi dunia dan sebanyak 76,39 persen diekspor. Akibatnya, kebutuhan dalam negeri berkurang atau tidak terpenuhi dan akhirnya langka. Ujung-ujungnya, harga minyak goreng pun melonjak naik seperti saat ini. Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah mengutamakan market friendly daripada people friendly dan tidak memiliki kemandirian kecuali ketergantungan kepada pasar dan asing.

Ketiga, Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga bantuan internasional lainnya terus mendesak negara-negara berkembang untuk meningkatkan ekspornya demi kelancaran pembayaran bunga dan cicilan utangnya. Sejak International Moneter Fund (IMF) memangkas fungsi Bulog, perusahaan pelat merah itu hanya menangani komoditas beras. Sedangkan komoditas pangan pokok lainnya diserahkan mekanisme pasar. Buntutnya, ketika harga komoditas pangan seperti minyak goreng, gula, kedelai, dan kebutuhan pokok lainnya bergerak liar, pemerintah selalu keteteran menahan laju kenaikan harga.

Penyebab lain tingginya harga minyak goreng adalah karena produsen minyak goreng di Indonesia kebanyakan belum terafiliasi dengan kebun sawit penghasil CPO, sehingga produsen minyak goreng tergantung pada harga CPO global. Jika kita lihat ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng dipatok di angka Rp11.000. Saat penyusunan HET tersebut, maka harga CPO masih berkisar antara USD 500-600 per metrik ton. Sekarang ini posisi harga sudah di 1.365 USD per metrik ton dan tentu saja sangat berpengaruh, karena tidak semua produsen terafiliasi dengan kebun sawitnya.

Strategi Islam Mengatur Industri Minyak Goreng

Di antara tujuan terpenting dari didirikannya suatu negara adalah untuk menyejahterakan rakyat. Landasan terwujudnya kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Ajaran Islam tidak menyetujui pembangunan sirkuit di mana-mana, tetapi rakyat sengsara. Stadion olah raga megah bertaraf internasional tetapi busung lapar dan gizi buruk makin menjelma. Mobil mewah berseliweran, tapi masih banyak rakyat untuk makan hari ini saja susah bukan kepalang. Islam sangat mendorong kemajuan dan pertumbuhan. Tapi, keduanya bukanlah landasan. Yang lebih didahulukan adalah bagaimana setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya. Inilah yang menjadi konsen pertama. Setelah itu, baru mengusahakan tercapainya berbagai macam pernak-pernik kemajuan secara kolektif.

Allah SWT. menegaskan macam kebutuhan pokok yang harus terpenuhi pada setiap individu. Sebagaimana firman-Nya:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS Al-Baqarah: 233)

Di dalam ayat yang lain disebutkan:

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS Ath-Thalaq :6)

Kedua ayat ini dan ayat-ayat senada lainnya menunjukkan bahwa kebutuhan pokok setiap individu rakyat adalah makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Berdasarkan hal ini, politik ekonomi Islam merupakan politik ekonomi yang berpihak kepada kebutuhan rakyat. Tidak boleh seorang pun terabaikan kebutuhan pokoknya. Karena itu, indikator utama maju tidaknya perekonomian bukanlah pertumbuhan, inflasi, dan lain-lain. Tapi, melainkan berapa banyak pengangguran, berapa jumlah penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal layak, berapa jumlah orang yang tidak dapat makan layak, dan berapa penduduk yang pakaiannya jauh dari kepatutan.

Untuk itu, setiap orang harus didorong, diberi kemampuan (skill) untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Oleh karena itu, pemerintah wajib memperhatikan pada terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu warga. Di samping memberikan peluang yang sama untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Tidak boleh ada warga yang terkena busung lapar dan gizi buruk, atau jungkir balik hanya sekedar untuk makan sehari sekali. Ketahanan pangan merupakan salah satu masalah strategis yang hukumnya wajib diperhatikan penguasa. Terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketahanan pangan juga menjadi bagian dari kekuatan negara untuk menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing. Bukan hanya itu, pangan kini menjadi alat politik bangsa-bangsa Barat guna mempengaruhi situasi politik suatu negara. Oleh karena itu, ketahanan pangan yang tangguh harus didukung dengan kekuatan politik suatu bangsa. Pemerintah harus mempunyai sistem politik pertanian yang juga didukung dengan teknologi peningkatan produksi. Islam sebagai sebuah solusi persoalan umat sangat memperhatikan sistem politik pertanian.

Pada dasarnya, politik pertanian dalam Islam dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pilihan tata cara peningkatan produksi merupakan hal yang mubah/boleh untuk ditempuh. Tentu, pilihan cara peningkatan produksi harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte asing, serta mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan. Pengelolaan sawit dari hulu sampai hilir, mutlak harus dilakukan oleh negara tanpa campur tangan asing, pemenuhan kebutuhan minyak goreng dan bahan pangan lain juga harus mendahulukan kebutuhan dalam negeri, bukan menomorduakan rakyat hanya demi meraup keuntungan dan pujian dari penjajah dan kapitalis. Untuk itu, peningkatan produksi dalam pertanian biasanya menempuh dua jalan: intensifikasi (peningkatan) dan ekstensifikasi (perluasan).

Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Namun bukan artinya dalam pengembangan perkebunan sawit, lalu kemudian terus membuka seluas-luasnya kebun sawit atas dasar pemenuhan pasar dan permintaan internasional. Inilah yang terjadi saat ini, hingga berubahnya hutan menjadi ladang sawit justru membahayakan penduduk masyarakat negara sendiri, ancaman kerusakan lahan dan banjir menganga. Pemerintah dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani sawit membantu pengadaan mesin peralatan, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan dan intervensi kepada pihak asing dalam pengelolaan pertanian/perkebunan negara dapat dihindarkan.

Dalam permasalahan permodalan, negara tidak boleh membuka investasi asing seperti saat ini yang berlaku di perkebunan sawit. Negara harus memberikan modal yang diperlukan rakyat, bagi yang tidak mampu maka modal bisa diberikan sebagai hibah, bukan sebagai utang. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan kepada para petani di Irak harta dari Baitul Mal yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Di samping itu negara harus melindungi air menjamin sistem irigasi sebagai milik umum dan sebagai input produksi pertanian/perkebunan. Karena itu, air berikut sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi. Tapi, mengapa pemerintah memberikan kebebasan kepada swasta untuk mengelola sumber daya air (barang milik umum) dengan terbitnya UU SDA Air.

Ada pun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan:

Pertama, mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan pasang-surut, dan sebagainya sesuai dengan peraturan negara. Namun jangan sampai over seperti yang terjadi sekarang, mafia tanah harus dibasmi, perusahaan asing harusnya diambil alih negara, bukan malah dibiarkan menguasai tanah adat dan juga hak rakyat. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang dan tidak tampak bekas-bekas apa pun seperti pagar, tanaman, pengelolaan, atau pun yang lainnya. Menghidupkan tanah mati itu artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut menjadi siap untuk langsung ditanami. Adapun lahan yang baru dibuka biasanya menghadapi berbagai kendala untuk menjadi lahan pertanian. Seperti keragaman sifat fisiko-kimia dan biofisik. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius oleh pemerintah untuk mengoptimalkannya dengan mencari dan menerapkan teknologi budidaya.

Kedua, setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal, sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya dengan optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut diambil dan diberikan kepada yang lain. Umar bin al-Khaththab ra pernah mengatakan, “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.” Sehingga, tidak ada lagi tanah yang tidak produktif atau kosong. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, negara/pemerintah harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian/perkebunan, pembukaan lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta melarang terbengkalainya tanah. Di samping itu, pemerintah harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini. Baik lewat industri-industri pertanian asing maupun lewat perjanjian multilateral WTO. Dengan demikian, terdapat jaminan produksi yang terus berlangsung dan meningkat sehingga terjamin pula pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

Khatimah

Dari uraian singkat di atas kami dapat tarik beberapa kesimpulan:

1) Pengaruh pasar global menjadi alasan kenaikan harga minyak goreng yang diprediksi akan terus naik hingga dikuartal kedua tahun depan. Indonesia adalah produsen CPO terbesar dunia, namun sebagian besar industri minyak goreng nasional sangat bergantung pada pasokan CPO global, apalagi CPO mengikuti harga internasional, otomatis harga minyak goreng nasional pun naik. Gejolak harga komoditas strategis ini juga dipicu oleh turunnya produksi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di sejumlah negara pemasok pada tahun ini. Sehingga para pengusaha dan industri pengolahan sawit dalam negeri, lebih suka memenuhi permintaan pasar global yang dari sisi harga pasti lebih menguntungkan daripada memenuhi CPO untuk kebutuhan bangsa sendiri. Tidak heran jika kemudian limpahan minyak sawit mentah negeri ini jauh lebih banyak yang diekspor keluar negeri, ditambah lagi perusahaan-perusahaan perkebunan sawit maupun pengolahan CPO yang saat ini juga didominasi oleh perusahaan swasta dan asing, menambah derita pilu yang kian hari kian tergantung pada kapitalis.

2) Dampak tingginya harga minyak goreng, berpotensi semakin meningkatkan angka kemiskinan. Ketika minyak sawit diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pasar global karena tergiur oleh harga yang tinggi maka sudah tentu pemenuhan dalam negeri semakin keteteran. Karakteristik ekonomi kapitalis yang prinsipnya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang seminimal mungkin, akan berdampak pada tidak diutamakannya kepentingan rakyat, apalagi sektor perkebunan sawit ini nilai ekspornya sebagai penyumbang terbesar devisa negara, maka bukan suatu yang berlebihan jika kiranya kedepan rakyat akan semakin sulit mendapatkan hak-haknya.

3) Politik pertanian dalam Islam dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Adanya perkebunan sawit yang luas di Indonesia harus segera dinasionalisasi agar tidak dikuasai asing. Produksi harus mandiri dari hulu-hilir, dijaga dari unsur dominasi dan dikte asing, serta mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan. Pengelolaan sawit dari hulu sampai hilir, mutlak harus dilakukan oleh negara tanpa campur tangan asing, pemenuhan kebutuhan minyak goreng dan bahan pangan lain juga harus mendahulukan kebutuhan dalam negeri, bukan menomor duakan rakyat hanya demi meraup keuntungan dan pujian dari penjajah dan kapitalis.

 

Makalah ini disampaikan hari Kamis, 25 November 2021
(Uniol 4.0 Diponorogo)
Dalam asuhan Prof. Pierre Suteki

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi