Harta Karun Bawah Laut Dijamah Asing: Bukti Negara Gagal Menjaga Aset Berharga?

Oleh. Ervan Liem

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa pemerintah Republik Indonesia tahun lalu telah mengizinkan investor swasta, termasuk asing untuk mencari harta karun maupun Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) di bawah laut Indonesia. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan mengungkapkan alasan pemerintah membuka izin tersebut, karena beban biaya yang cukup besar dalam setiap pengangkatan BMKT. Biaya setiap pengangkatan ini sekitar USD500 ribu hingga USD1 juta (idxchannel.com, 08/03/2021). Masalahnya, kebijakan perihal izin tersebut legal. Diatur berdasarkan Peraturan Presiden 10/2021, aturan turunan UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja yakni pengangkatan BMKT di bawah laut Indonesia (idxchannel.com, 08/03/2021). Investasi ini tadinya masuk daftar negatif investasi, namun kini terbuka bagi asing dan swasta. Maka tentu saja, kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi yang mengizinkan investor asing untuk berburu harta karun bawah laut di Indonesia ini memicu kontroversi.

Harta Karun Bawah Laut dan BMKT diswastanisasi

Letak geografis Indonesia yang strategis, antara benua Asia dan Australia, antara samudera Hindia dan Pasifik, menjadikan wilayah perairan negeri ini jalur lalu lintas pelayaran internasional yang sibuk, menghubungkan kawasan Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur. Disamping letaknya yang strategis, Indonesia juga terkenal sebagai penghasil rempah-rempah, yang pada saat itu merupakan komoditas berharga bagi masyarakat di kawasan Eropa dan Timur Tengah. Kekayaan alam inilah yang menarik pedagang dari berbagai negara berdatangan ke Indonesia, sehingga tidak mengherankan apabila wilayah perairannya dikenal sebagai salah satu wilayah perairan yang dipenuhi ratusan hingga ribuan kapal karam, terutama di jalur pelintasan dan sekitar pusat-pusat perdagangan. Dalam kapal-kapal karam tersebut terdapat muatan berupa logam mulia, batuan berharga, keramik, dan benda lainnya yang diperkirakan memiliki nilai ekonomi tinggi.

Berdasarkan hasil survei, seperti disampaikan Sekretaris Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia (APPP BMKTI) di wilayah perairan Indonesia disinyalir terdapat 464 titik lokasi kapal tenggelam. Dari semua lokasi yang terdeteksi itu, diperkirakan terdapat harta karun bernilai ekonomi yang mencapai sekitar USD 12,7 miliar atau setara dengan Rp 127,6 triliun. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri merilis, terdapat sedikitnya 134 lokasi kapal tenggelam di Pelabuhan Ratu dan 37 lokasi di Selat Malaka. Jumlah tersebut diperkirakan jauh lebih banyak, karena berdasarkan hasil penelitian UNESCO, terdapat sekitar 20 ribu kapal dari berbagai negara di dunia pernah berlayar ke Selat Malaka dan diketahui tidak pernah kembali ke negara asalnya, kapal-kapal tersebut diduga kuat tenggelam di perairan Indonesia.

Banyaknya kapal karam di wilayah perairan Indonesia mengundang banyak tindakan penjarahan dan pencurian BMKT, yang paling fenomenal adalah pencurian yang dilakukan Michael Hatcher atas BMKT dari kapal Geldermalsen yang kemudian melelangnya di balai lelang Christie, Belanda dengan nilai 17 Juta USD, dan Indonesia tidak mendapat bagian sama sekali. BMKT memiliki nilai yang kompleks, tidak saja secara ekonomi tapi juga sejarah dan ilmu pengetahuan. Teka-teki mengenai perdagangan, teknologi perkapalan dan hubungan antar bangsa dapat terjawab melalui temuan kapal dan BMKT. Saat ini, Indonesia memiliki potensi peninggalan shipwrecks (bangkai kapal) yang tinggi (kkp.go.id, 1/3/2018). Ini wajar, karena wilayah perairan Indonesia merupakan wilayah strategis bagi pelayaran dunia sejak dahulu, menghubungkan negara-negara di Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Tak heran, BMKT banyak ditemukan terdeposit di perairan nusantara.

Banyaknya potensi harta karun bawah laut dan BMKT yang masih terbengkalai ini rupanya tak luput dari incaran pihak swasta dan asing, hingga pada tahun lalu dengan alasan karena beban biaya yang cukup besar dalam setiap pengangkatan BMKT yakni sekitar USD500 ribu hingga USD1 juta maka dibuatlah kebijakan perihal izin tersebut secara legal. Diatur berdasarkan Peraturan Presiden 10/2021, aturan turunan UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja yakni pengangkatan BMKT di bawah laut Indonesia (idxchannel.com, 08/03/2021). Sebenarnya investasi ini tadinya masuk daftar negatif investasi, namun kini terbuka bagi asing dan swasta. Maka tentu saja, kebijakan pemerintahan yang mengizinkan investor asing untuk berburu harta karun bawah laut di Indonesia ini memicu polemik, alih-alih mengelolanya sendiri tapi malah justru seolah lepas tangan menyerahkan ke pihak swasta dan asing.

Indonesia sendiri saat ini tercatat memiliki harta karun atau kekayaan laut mencapai USD1.388 miliar atau setara Rp19.133 triliun (kurs Rp14.300) per tahun. Nilai kekayaan laut ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Namun, Pemerintah dianggap belum memanfaatkan atau mengoptimalkan kekayaan tersebut dengan baik. Penyebabnya banyak, mulai dari tata kerja yang tidak terstruktur hingga aturan yang membuat investor tidak mau menanamkan dananya di sektor kelautan dan perikanan (detik.com, 8/3/2021). Dari catatan 464 titik benda muatan kapal tenggelam di Indonesia, baru 25% yang sudah disurvei dan hanya sekitar 3% yang sudah dieksploitasi dan diangkat. Perkiraan nilai itu dihitung dengan asumsi benchmark balai lelang Christie yang mencapai USD20 juta per titik (idxchannel.com, 8/3/2021). Padahal, menurut Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT Indonesia, dari sisi ekonomi setiap lokasi BMKT dapat bernilai antara USD80 ribu hingga USD18 juta. Jika dimanfaatkan untuk mendukung pariwisata, lokasi BMKT dapat menghasilkan USD800 hingga USD126 ribu per bulan di satu lokasi harta karun (idxchannel.com, 8/3/2021).

Dampak Negatif Swastanisasi Harta Karun Bawah Laut dan BMKT

Iklim kapitalisasi yang disuburkan oleh sistem demokrasi di negeri ini, telah memfasilitasi keserakahan para pemodal. Banyak unsur ketidakjelasan pengelolaan harta, bahkan tak sedikit praktik-praktik yang diharamkan. Tak hanya itu, hal ini kemudian berdampak pada distribusi harta yang salah sasaran dan tidak berdaya guna. Hanya berputar dan dikuasai oleh segelintir elit dan lagi-lagi rakyat bawah hanya bisa gigit jari menyaksikan kekayaan negeri ini dikangkangi asing. Tidakkah ini kebijakan yang benar-benar mengabaikan rasa syukur? Sungguh, akibat kebijakan yang keliru -bahkan membabi buta ala UU Cipta Kerja- dari penguasa, tak ayal keberadaan kekayaan bawah laut ini pun berpeluang mengalami nasib tragis, terancam tidak akan dinikmati rakyat sendiri. Melainkan segera dinikmati swasta/asing. Betapa zalimnya pengelola negara. Harta karun yang tak terduga keberadaannya ternyata sudah dikapling untuk diliberalisasi.

Pengelolaan BMKT dengan cara kolaborasi antarnegara juga justru akan merugikan negara ini sendiri karena harta karun yang harusnya dikelola secara mandiri yang bisa jadi dari sisi shipwreck dan underwater heritage sangatlah banyak mengandung ilmu pengetahuan. Kiranya tidak tepat jika menginginkan dan gembar-gembor menjadi negara poros maritim dunia tapi membuka diri kepada negara lain untuk rame-rame mengeksplorasi kekayaan laut. Kejadian penjarahan dan pencurian BMKT memang sangat memprihatinkan ditahun 2017 didapati kapal berbendera Tiongkok Chuan Hong 68 tipe kapal keruk yang diduga sedang mengangkat BMKT bangkai kapal Swedish Supertanker Seven Skies (yang tenggelam tahun 1969), Italian Ore/Oil steamship Igara (tenggelam 12 maret 1973), kapal perang Jepang Ijin Sagiri, kapal penumpang Jepang Hyoshi Maru dan Katori Maru di perairan timur Natuna. Penjarahan harta karun laut dan BMKT tentu tidak dapat dibenarkan, swastanisasi dengan dibukanya kran investasi dibidang tersebut juga tetap akan merugikan negara ini jika dihitung pembagiannya. Tentu kita semua tidak ingin barang berharga negeri ini diambil asing secara legal, apapun alasannya.

Strategi Islam Mengelola Harta Karun Bawah Laut dan BMKT

Dikutip dari laman resmi kkp.go.id (1/3/2018), yang dimaksud dengan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam, yang selanjutnya disebut BMKT, adalah benda berharga yang memiliki nilai sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi yang tenggelam di wilayah perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia dan landas kontinen Indonesia, paling singkat berumur 50 (lima puluh) tahun. Masih dari laman yang sama, dinyatakan bahwa yang termasuk kegiatan pengelolaan BMKT adalah kegiatan survei, pengangkatan, dan pemanfaatan BMKT. Survei adalah kegiatan mencari dan mengidentifikasi keberadaan dan potensi BMKT. Pengangkatan adalah kegiatan mengangkat dari bawah air, memindahkan, menyimpan, inventarisasi, dan konservasi BMKT dari lokasi asal penemuan ke tempat penyimpanannya. Pemanfaatan adalah kegiatan yang meliputi penjualan kepada pihak ketiga dan pemanfaatan lain untuk Pemerintah.

Islam sebagai sebuah jalan hidup, memiliki sistem pengelolaan keuangan yang mengatur perihal harta sejenis BMKT ini. Dalam Kitab Al-Amwalu fil Daulati Al-Khilafati, disebutkan riwayat dari Abdullah bin Amru ra, bahwa Nabi saw telah ditanya tentang harta yang ditemukan di negeri yang telah porak-poranda. Beliau saw. bersabda:

“Di dalam harta tersebut dan rikaz ada khumus.”

Berdasarkan hal ini, semua harta yang ditemukan dari kota-kota bangsa terdahulu, atau terdapat di tanah mati, serta negeri yang telah hancur, merupakan milik penemunya. Setiap penemu rikaz atau barang tambang diambil darinya khumus, baik penemunya laki-laki, perempuan, anak-anak, orang dewasa, berakal maupun gila, muslim ataupun kafir dzimmi. Ini berlaku, baik rikaz (barang temuan) dan barang tambang tersebut jumlahnya sedikit maupun banyak. Bahkan, rikaz (yang telah diambil khumus-nya) diperbolehkan untuk dimiliki penemunya meski dirinya orang kaya. Khumus sendiri kemudian diserahkan ke Baitulmal. Besaran khumus yang diserahkan ke Baitulmal adalah seperlima dari seluruh harta tersebut. Sementara empat perlimanya dikembalikan kepada penemunya.

Khumus yang diambil dari penemu rikaz dan penemu barang tambang, statusnya sama dengan harta fai’, demikian pula status hukumnya. Khumus disimpan di Baitulmal pada bagian harta fai’ dan kharaj. Pengelolaannya pun sama dengan harta fai’ dan kharaj. Penggunaannya menjadi wewenang Khalifah untuk mengatur urusan-urusan umat dan mewujudkan kemashlahatannya. Khumus ini harus segera dikeluarkan ketika dijumpai rikaz atau barang tambang. Tidak boleh mengulur-ulur waktu pembayarannya ke Baitulmal. Sebagai penjelasan tambahan, untuk barang tambang yang dimiliki oleh penemunya adalah barang tambang yang jumlah depositnya sedikit. Jika jumlah depositnya banyak, maka tidak boleh dimiliki. Karena termasuk harta kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki seseorang, melainkan milik seluruh kaum muslim, sehingga pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat.

Sungguh, ajaran Islam memiliki sistem yang berperan menjamin pengelolaan keuangan negara secara mandiri, tidak bergantung pada asing. Sistem Islam juga menerapkan syariat perihal tata cara kepemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, tata cara pengelolaan harta, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Harta tersebut baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak. Harta karun bawah laut—BMKT tadi—sebagaimana hadis Rasulullah saw. di atas, adalah termasuk rikaz (barang temuan). Dalam Islam, pengelolaan rikaz telah jelas, yakni digunakan secara khusus untuk mengatur kepentingan kaum muslim serta kemaslahatan mereka sesuai pendapat dan ijtihad Khalifah. Jadi, sangat keliru jika penguasa malah memberi jalan investasi atau bahkan privatisasi swasta/asing begitu saja dalam pengelolaan harta karun bawah laut ini.

Dibaca

 127 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi