Ekonomi Global Tanpa Kapitalisme

Kapitalisme telah mendorong kemajuan sains dan pengetahuan yang sangat pesat, perkembangan teknologi, sharing informasi; juga peningkatan standar konsumsi, kesehatan, pendidikan di banyak negara.1

Pertumbuhan dan inovasi luar biasa yang telah dicapai oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa, selama dua abad terakhir memang mengesankan. Sebagai contoh, tingkat harapan hidup dua abad lalu hanya sekitar setengah atau bahkan kurang dari saat ini. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuat rata-rata daya beli seorang warga Amerika satu abad yang lalu hanya sepuluh persen dari apa yang dia miliki saat ini.2

Sebagai sebuah sistem, Kapitalisme berpijak pada beberapa prinsip inti. Pertama, hak setiap individu memiliki berbagai aset, baik yang berwujud maupun tak berwujud seperti saham dan hak paten. Kedua, prinsip egoisme menekankan bahwa tindakan individu yang mementingkan diri sendiri dapat memberikan manfaat secara keseluruhan. Ketiga, persaingan pasar bertujuan memaksimalkan manfaat produsen dan konsumen. Keempat, mekanisme pasar mengalokasikan sumberdaya berdasarkan imbalan tertinggi. Kelima, kebebasan individu dalam konsumsi, produksi, dan investasi. Terakhir, peran pemerintah dalam Kapitalisme terbatas pada melindungi hak-hak warga swasta dan menjaga lingkungan yang mendukung fungsi pasar.3

 

Kerapuhan Kapitalisme Global

Di balik kemajuan ekonomi yang dihasilkan Kapitalisme, para ekonom yang mengusung ideologi Kapitalisme mengakui sejumlah kelemahan yang meliputi sistem tersebut. Beberapa di antaranya adalah ketimpangan ekonomi yang semakin lebar, krisis ekonomi yang terus berulang, dominasi berlebihan dolar AS, aturan perdagangan global yang diskriminatif, serta kerusakan lingkungan yang masif.

Pertama: Ketimpangan ekonomi. Salah satu kritik utama terhadap Kapitalisme adalah problem distribusi yang mengandalkan mekanisme pasar. Akibatnya, ada kesenjangan ekonomi yang signifikan antara kelompok kaya dan miskin. Distribusi kekayaan dan pendapatan yang tidak merata dapat menyebabkan masalah sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Dalam studinya,  Piketty (2014) yang memeriksa data dari abad ke-18, menunjukkan bahwa dalam sistem Kapitalisme, tingkat pengembalian investasi sering melebihi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dampaknya, kekayaan yang dimiliki oleh pemilik modal akan bertambah dengan cepat dibandingkan dengan pendapatan masyarakat biasa.

Salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan itu adalah akses modal lebih mudah bagi orang kaya dibandingkan dengan orang miskin. Di berbagai negara, bank-bank yang menjadi sumber utama perolehan modal sulit dijangkau oleh penduduk miskin karena faktor agunan dan suku bunga tinggi. Bank dengan mudah mengambil rumah atau aset berharga dari orang yang gagal membayar utang.

Untuk mengatasi kelemahan dalam model ini, beberapa negara bagian di AS telah menerapkan regulasi yang melarang bank-bank untuk menyita jaminan rumah debitur jika mereka gagal membayar, terutama untuk melindungi penduduk miskin. Sayangnya, sistem ini hanya memudahkan orang kaya untuk mengakses modal perbankan. Pasalnya, mereka memiliki agunan non-rumah yang dapat dijadikan jaminan, sementara orang miskin sering tidak memiliki aset lain selain rumah.4

Solusi keuangan inklusif dengan mempermudah orang mengakses kredit tanpa agunan justru menyebabkan debitur terlilit utang karena bunganya yang tinggi.

Sementara itu, pendidikan khususnya pendidikan tinggi, yang menjadi salah satu tangga untuk menaikkan kelas ekonomi, semakin sulit dijangkau oleh kelas menengah bawah. Di AS, sebagai contoh, hanya sekitar 10-20% dari anak-anak di kelas menengah bawah (50 persen terbawah) yang mampu mengakses pendidikan tinggi. Di kelas menengah atas (25 persen teratas), persentasenya meningkat dari 40% menjadi 80% dari tahun 1970 hingga 2010. Dengan kata lain, kemampuan mengakses perguruan tinggi sering ditentukan oleh tingkat pendapatan orangtua.5

Penduduk kurang mampu di AS mengandalkan utang untuk bisa mengecap pendidikan tinggi. Utang pinjaman mahasiswa tahun 2018 mencapai hampir $1,5 triliun. Ini lebih tinggi daripada utang kartu kredit atau pinjaman otomotif yang belum lunas.6

Kedua: Sistem keuangan global yang rentan krisis. Sistem Kapitalisme mendorong instabilitas dan krisis.  Sistem ini mendukung siklus ekonomi (business cycle) dengan periode booming dan kemudian terjadinya resesi atau depresi.  Sumber krisis ini kebanyakan berasal dari sektor finansial maupun sektor riil yang mengalami investasi berlebihan (overinvestment) seperti pada sektor properti. Ketidakstabilan dalam sistem Kapitalisme juga dibuktikan oleh Minsky dengan hipotesisnya yang populer: Hipotesis Ketidakstabilan Keuangan Minsky. Menurut dia, ketidakstabilan melekat dalam pasar keuangan di dalam sistem Kapitalisme. Ringkasnya, situasi yang stabil akan mendorong para investor untuk mengambil risiko yang lebih tinggi, yang berkembang pada penggelembungan harga aset, seperti aset finansial dan properti, sampai pada titik mengkhawatirkan sehingga harga aset turun tajam, yang pada akhirnya menyebabkan krisis.7

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan di dalam sistem Kapitalisme cenderung semakin terkonsentrasi melalui merger dan akuisisi perusahaan-perusahaan lain. Lobi perusahaan-perusahaan besar juga sangat berpengaruh secara politik, termasuk meminta insentif atau mengurangi regulasi yang membatasi investasi mereka.8

Ketiga: Standar moneter global yang dikontrol AS. Sejak terbentuknya perjanjian Bretton Woods, seluruh mata uang di dunia dikaitkan dengan cadangan dolar AS yang pada saat itu dijamin oleh emas. Setelah perjanjian tersebut berakhir, peran dolar AS semakin dominan. Kekuatan dolar AS didukung oleh keunggulan AS dalam hal output PDB, perdagangan, pasar modal dan belanja pertahanan. Dengan kekuatan ini, AS memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemerintah lain agar mengadopsi dolar, termasuk melalui tekanan untuk dolarisasi. Ini seperti yang terlihat dalam tindakan pemerintah AS yang memaksa negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah untuk menerima pembayaran komoditas minyak hanya dalam dolar.9

Dominasi dolar tersebut menyebabkan dinamika yang terjadi di AS. Misal, perubahan suku bunga The Fed berdampak luas ke berbagai negara, lewat fluktuasi mata uang mereka terhadap dolar AS. Ekonomi mereka menjadi tidak stabil.

Di sisi lain, meskipun AS terus mengalami defisit perdagangan dan defisit APBN, mereka mampu bertahan melalui utang dan pembayaran utang dengan dolar. Surat-surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah dan perusahaan swasta, disamping saham dan penanaman modal langsung, dibeli oleh investor negara lain. Ironisnya, sebagian dana mereka justru berasal dari surplus perdagangan dengan AS. Pembayaran utang dan bunganya dengan dolar tersebut menjadikan dolar beredar di seluruh dunia. Bank Sentral AS juga dengan mudah mencetak dolar sebab biayanya super murah, tanpa perlu dibatasi komoditas berharga. Pada saat yang bersamaan, nilai dolar yang dipegang di luar AS semakin turun akibat peningkatan pasokan dolar.10

Karena itu politisi Perancis, De Gaulle, menyebut posisi dolar AS di dunia dengan istilah “keistimewaan yang terlalu berlebihan” (exorbitant privilege).

Keempat: Aturan perdagangan global yang diskriminatif. Aturan perdagangan global di bawah WTO menjadi sarana yang efektif bagi negara-negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, untuk melindungi kepentingan perusahaan mereka, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, atas nama perdagangan bebas. Menurut Norrlof (2010), Pemerintah AS selalu siap untuk campur tangan demi kepentingan perusahaan AS. Ketika kepentingan bisnis terancam di dalam negeri, AS telah merespon dengan tarif anti-dumping dan subsidi. Sejumlah perusahaan besar yang berkaitan dengan semikonduktor, pesawat komersial dan peralatan telekomunikasi kadang-kadang memanfaatkan undang-undang perdagangan itu untuk melawan pesaing mereka dari Jepang dan Eropa. Namun, ketika perusahaan-perusahaan Amerika kesulitan bersaing di pasar asing, Pemerintah AS menggunakan kebijakan perdagangannya untuk menegakkan apa yang dianggap sebagai “hak” di dalam perdagangan.11

Peraturan WTO juga cenderung mendukung negara-negara industri maju, khususnya kelompok Quad (AS, UE, Kanada, Jepang). Perjanjian WTO juga lebih mengutamakan agenda korporat dan menimbulkan dampak negatif bagi negara berkembang. Ketidaksetaraan struktural mencegah negara berkembang mengajukan kasus WTO, terutama karena negara industri maju dapat mengancam menarik manfaat atau bantuan yang mereka berikan kepada mereka. Biaya litigasi atau biaya penyelesaian sengketa pengadilan yang tinggi juga menjadi hambatan bagi negara berkembang yang kurang memiliki sumberdaya institusional dan keuangan. Berbeda dengan negara-negara maju biaya ligitigasinya dapat didukung oleh korporasi swasta.12

Menangnya gugatan AS di WTO pada tahun 2016 terhadap Indonesia yang membatasi impor produk pangan untuk mendukung produsen lokal merupakan contoh kuatnya pengaruh AS lewat WTO.

Kelima: Eksploitasi sumberdaya alam secara serakah. Dalam upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat, korporasi di dalam sistem Kapitalisme sering melakukan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam. Kerusakan lingkungan yang ditandai dengan deforestasi, polusi dan perubahan iklim yang mengakibatkan berbagai bencana seperti banjir dan kekeringan, merupakan buah dari keserakahan negara dan korporasi. Tingginya kerusakan alam juga ditopang oleh sifat konsumerisme yang mendorong konsumsi barang dan jasa secara berlebihan. Keadaan ini didukung oleh strategi pemasaran dan periklanan yang membuat orang menginginkan hal-hal yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.13

Keenam: Pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun korporasi dalam sistem kapitalis, sering lebih fokus pada keuntungan jangka pendek untuk meraup pendapatan sebesar-besarnya daripada pertimbangan jangka panjang, seperti dampak lingkungan atau kesejahteraan sosial.  Upaya untuk mengurangi kerusakan alam dianggap sebagai investasi yang kurang menguntungkan karena tidak memberikan keuntungan yang pasti dan dapat diukur secara kuantitatif.

Parahnya lagi, negara-negara maju yang menyerukan negara-negara berkembang untuk mengadopsi pembangunan berkelanjutan seakan tutup mata bahwa investor dari negara merekalah yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang. Dalam sebuah studi disebutkan bahwa rantai pasok global perusahaan multinasional seperti BP, Coca-Cola, dan Walmart bertanggung jawab atas hampir seperlima dari emisi karbon dioksida yang menyebabkan perubahan iklim.  Transfer karbon dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang melalui investasi langsung perusahaan-perusahaan multinasional berkembang dengan pesat.14

Namun, perusahaan-perusahaan besar, melalui lembaga lobi mereka, terlibat aktif untuk memastikan bahwa agenda lembaga internasional seperti PBB dan pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim global tidak menghambat kepentingan bisnis mereka.15

 

Islam sebagai Pengganti 

Beberapa contoh kelemahan dalam sistem Kapitalisme di atas telah diakui tidak hanya oleh para pemikir dan politisi, tetapi juga oleh masyarakat umum yang hidup dalam sistem tersebut. Berbagai upaya untuk mengoreksi dan memperbaiki sistem Kapitalisme terus dilakukan. Namun, kelemahan sistem ini tidak kunjung membaik, sebab fondasi-fondasi yang membentuknya tetap eksis. Seperti yang dikatakan oleh Einstein, tidak mungkin menyelesaikan masalah dengan menggunakan cara berpikir yang menciptakan masalah tersebut.

Salah satu persoalan mendasar dalam sistem Kapitalisme adalah sistem distribusi yang mengandalkan mekanisme pasar. Akibatnya, yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tetap sulit mendapatkan hak-hak dasar mereka.

Kondisi tersebut bertolak belakang dengan sistem Islam, yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Mekanisme distribusi kekayaan di dalam masyarakat Islam sangat solid, mulai dari level individu, keluarga hingga negara. Kekayaan dilarang beredar pada kalangan tertentu dengan berbagai mekanisme, seperti larangan menimbun kekayaan (kanz al- maal), kewajiban membayar zakat, dorongan berinvestasi, hingga motivasi untuk melakukan kegiatan filantropis, seperti wakaf dan sedekah. Layanan pendidikan dan kesehatan juga diberikan Negara Islam secara cuma-cuma kepada seluruh warga negara tanpa ada perbedaan agama, suku dan ras.

Untuk mengembangkan kekayaan, Islam memiliki aturan yang mendukung kegiatan bisnis. Islam mengatur bentuk-bentuk kontrak secara rinci, seperti larangan transaksi riba dan transaksi yang mengandung spekulasi.

Secara makro, Negara Islam akan menerapkan kebijakan fiskal yang tidak bersumber dari utang riba, namun dari sumber-sumber yang telah ditetapkan oleh syariah seperti fai, kharaj, jizyah dan pengelolaan harta milik umum, seperti tambang dan sektor kehutanan. Standar moneter yang tidak berbasis uang kertas (fiat money), tetapi standar emas dan perak, akan memberikan kestabilan jangka panjang sehingga mendorong perdagangan dan investasi.

Peradaban yang mengadopsi sistem tersebut pernah eksis dalam kurun waktu yang panjang. Bahkan seperti yang dijelaskan dengan detail oleh Al-Jazairi (2005), kemajuan peradaban Barat dalam aspek sains dan teknologi telah berhutang besar dari kemajuan peradaban Islam pada abad pertengahan.16

Peradaban Islam yang merosot sejalan dengan penghancuran institusi politik Islam, Khilafah Islamiyah, kini sedang direkonstruksi kembali. Dengan izin Allah SWT, peradaban itu dalam waktu dekat akan menggantikan dominasi kapitalisme dalam panggung ekonomi global.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Muis]

 

Catatan kaki:

1        Bowles, S., et al. (2018). Understanding capitalism. Oxford University Press, hal. 2.

2        Baumol, W. J., Litan, R. E., & Schramm, C. J. (2007). Good capitalism, bad capitalism, and the economics of growth and prosperity. Yale University Press, hal. 2.

3        Jahan, S. and Mahmud, A.S.(2015). What is capitalism? Finance & Development, June, Vol. 52, No. 2.

4        Rajan, R., & Zingales, L. (2003). Saving capitalism from the capitalists: how open financial markets challenge the establishment and spread prosperity to rich and poor alike. Currency, bab 1.

5        Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century. Harvard University Press, hal. 485.

6        Greenspan, A., & Wooldridge, A. (2018). Capitalism in America: An economic history of the United States. Penguin, bab 12.

7        Kindleberger, C. P., Aliber, R. Z., & Solow, R. M. (2015). Manias, panics, and crashes: A history of financial crises (Vol. 7). London: Palgrave Macmillan, hal. 39-52.

8        Bowles, S., et al. (2018). Understanding capitalism. Oxford University Press,  hal. 456.

9        Norrlof, C. (2014). Dollar hegemony: A power analysis. Review of International Political Economy, 21(5), 1042-1070.

10      Norrlof, C. (2010). America’s global advantage: US hegemony and international cooperation. Cambridge University Press. hal. 120.

11      Norrlof, C. (2010). America’s global advantage: US hegemony and international cooperation. Cambridge University Press.

12      Smith, J. (2004). Inequality in international trade? Developing countries and institutional change in WTO dispute settlement. Review of International Political Economy, 11(3), 542-573.

13      Park, J. T. (2015). Climate change and capitalism. Consilience, (14), 189-206.

14      Zhang, Z., Guan, D., Wang, R., Meng, J., Zheng, H., Zhu, K., & Du, H. (2020). Embodied carbon emissions in the supply chains of multinational enterprises. Nature Climate Change, 10(12), 1096-1101; Multinational companies account for nearly a fifth of global CO2 emissions, researchers say. Reuters, 8 September 2020. https://shorturl.at/eoOZ1. Diakses 11 Desember 2023.

15      Tansey, R. 2015. ‘Dirty hands on dirty deals: TTIP and COP21 shaped by same big business interests’. Corporate Europe Observatory, 21 October 2015. https://corporateeurope.org/sites/default/files/2019-03/dirtydeals_small.pdf. Diakses 9 Desember 2023.

16      Al-Djazairi, S. E. (2005). The hidden debt to Islamic civilisation. Bayt Al-Hikma Press.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi