Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan bahwa dampak pandemi virus Corona atau Covid-19 ini sangat memengaruhi proses bisnis perusahan BUMN hingga beberapa perusahaan mengalami kerugian. Erick menyebutkan, BUMN selama 10 tahun terakhir telah berkontribusi terhadap pajak, PNBP dan dividen sebesar Rp 3.282 triliun. “Namun, suka tidak suka, pada 2019 dan 2020 semua terdampak Covid-19, kalau melihat data-data perbandingan pendapatan BUMN dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sangat merosot,” ucapnya, Kamis, 29 April 2021.
Keempat BUMN yang masih bisa bertahan adalah perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan, asuransi dan dana pensiun, pangan serta perkebunan. Klaster perusahaan negara itu disebut bertahan karena masing-masing membukukan pendapatan Rp 13 triliun, Rp 7 triliun, Rp 4 triliun dan Rp 4 triliun. Sebanyak 9 klaster BUMN lainnya merugi dengan penurunan pendapatan terbesar dipimpin klaster migas dan energi, yang kinerjanya turun Rp 193 triliun. Berikutnya, ada klaster infrastruktur yang pendapatannya turun Rp 71 triliun, dan klaster pariwisata yang pendapatannya turun Rp 55 triliun.
Pernyataan Erick tersebut selah-olah penyebab kerugian dan kebangkrutan BUMN adalah pandemik Corona. Padahal sebelum ada pandemik Corona, kondisi BUMN ini memang sedang menghadapi krisis keuangan. Menurut data yang dirilis Tempo tahun 2017, ada 23 BUMN yang mengalami kerugian dengan total kerugian sebesar Rp 5,3 Triliun. Kerugian meningkat pada tahun 2018. Dari 13 BUMN tercatat jumlah kerugian sekitar Rp 22 Triliun, sementara kasus Covid-19 baru melanda Indonesia awal maret 2020. Karena itu akar masalah menumpuknya utang dan bankrutnya BUMN bukan masalah pandemik Corona.
Akar Masalah
Akar masalah kebangkrutaan BUMN di Indonesia sebetulnya mengarah pada dua hal. Pertama: Paradigma yang keliru dari pengelolaan BUMN, yaitu paradigma bisnis yang muncul dari prinsip liberalisasi pengelolaan SDA. Kedua, pengelolaan BUMN yang tidak profesional dan penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam Sistem Ekonomi Kapitalis, hubungan Pemerintah dengan rakyat menggunakan paradigma bisnis, yaitu untung dan rugi. Pemerintah diposisikan sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli. Karena itulah dalam sistem kapitalis subsidi yang diberikan kepada rakyat dianggap beban. Para pemimpin kapitalis dan intelektual kapitalis selalu berupaya untuk mencari dalih atau alasan agar subsidi dihapuskan dan BUMN diswastanisasikan.
Dalam kasus penghapusan subsidi BBM beberapa tahun yang lalu, mereka membuat alasan agar penghapusan subsidi itu menjadi logis seperti: subsidi membebani APBN; dibandingkan dengan negara Asia lainnya, Indonesia merupakan negara yang paling boros subsidi; murahnya harga BBM membuat konsumsinya menjadi meningkat. Akibatnya, terjadi defisit pada neraca pembayaran. Alasan lainnya, harusnya masyarakat mulai menyadari Indonesia bukanlah negara yang kaya minyak. Alasan lainnya yang juga sering ditonjolkan adalah aspek keadilan karena dianggap subsidi tidak tepat sasaran. Itulah alasan-alasan yang sering dikemukakan untuk menghapuskan subsidi.
Faktanya, setelah subsidi dihilangkan, APBN tetap deficit. Hutang terus menumpuk. BUMN-nya juga terancam bangkrut.
Karena itu alasan yang sebenarnya adalah karena paradigma bisnis yang digunakan untuk mengatur dan mengelola Negara. Dengan paradigama bisnis, sudah dipastikan landasan pengambilan kebijakannya adalah untung dan rugi (loss and profit). Bukan lagi kewajiban dan pelayanan. Dengan paradigma bisnis tersebut, ketika Pemerintah menjual harga BBM di bawah harga pasar, hal itu dianggap rugi. Ketika menjual listrik di bawah harga pokok, itu juga dianggap rugi. Akhirnya, harga BBM dan listrik mengikuti harga pasar. Ini pun sering tidak konsisten. Ketika harga BBM international turun, berbagai alasan mereka kemukakan untuk tidak menurunkan harga.
Kedua: Pengelolaan yang tidak profesional dan penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Salah satu bukti tidak profesionalnya pengelolaan BUMN adalah keberadaan direksi dan komisaris yang masih diisi oleh relawan partai politik yang tidak mempunyai track record atau pengalaman di bidangnya. Ini berdampak pada kinerja BUMN tersebut. Akhirnya, BUMN menjadi sapi perah partai politik.
Kebijakan aneh lainnya yang membebani BUMN adalah Pemecahan perusahaan perusahaan yang lebih sempit atau lebih kecil yang dikenal dengan Unbundling. Misalnya, PERTAMINA (Unbundling) menjadi perusahaan-perusahaan kecil, yaitu di Industri Hulu dipecah menjadi PT Pertamina , PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina Geothermal, PT Pertamina Drilling Service dan PT PTC. Indistri Hilirnya adalah PT Limited Petral dan PT Patra Niaga. Unbundling ini akan menambah biaya dan memperpanjang rantai pemasaran sehingga harga akhir menjadi mahal.
Begitu juga PLN, Pemerintah juga sejak reformasi melakukan unbundling baik secara horisontal, vertikal maupun fungsional. Padahal tren perusahaan dunia saat ini adalah merger untuk tujuan efesiensi, misalnya Standar oil of New Jersey dan Anglo-American bergabung menjadi Exxon. Standar Oil of New York dan Vaccum oil menjadi Mobill. Setelah itu Exxon dan Mobill bergabung menjadi Exxonmobill.
Faktor lain dari sisi manajerial, penyebab kerugian BUMN adalah banyaknya investasi yang sia-sia. Menurut hasil audit BPK, 54 persen kerugian BUMN karena misinvestasi. Investasinya mubazir. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur seperti proyek pembangkit listrik 35.000 watt, pembangunan Bandara Kertajati, Kereta Api Cepat Bandung-Jakarta dan infrastruktur lainnya.
Kerugian BUMN juga karena Pemerintah belum membayar Public Service Obligation (PSO). Padahal sebagian besar BUMN menerapkan kebijakan PSO. Ironisnya, Pemerintah tidak pernah nunggak membayar bunga utang yang tiap tahun di atas Rp 250 Triliun.
Korupsi di tubuh BUMN juga menjadi penyebab bankrutnya BUMN. Menurut Erick Thohir, pada tahun 2019 yang lalu ada 159 kasus hukum di bawah kementriannya. Ada korupsi di PT Pertamina, Angkasa Pura II, PLN, Pelindo, Krakatau Steel , Garuda Indonesia, Jasindo dan BUMN lainnya.
BUMU dan BUMN dalam Sistem Ekonomi Islam
Islam sebagai sistem hidup yang sempurna memiliki paradigma yang berbeda dengan sistem kapitalis dalam memandang hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Dalam sistem ekonomi Islam, hubungan antara Pemerintah dan rakyat bukan hubungan bisnis, tetapi hubugan ri’ayah atau pelayanan. Karena itu pengelolaan sumberdaya alam dalam sistem ekonomi islam memiliki dua prinsip. Pertama: Pengelolaan sumberdaya alam harus berdasarkan paradigma ri’ayah. Kedua: Pengelolaan sumberdaya alam harus profesional serta bebas dari korupsi dan kolusi.
Pemimpin adalah Pelayan, Bukan Pedagang
Seorang kepala negara dalam sistem politik dan ekonomi Islam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam operasionalnya sebagai pengatur dan pemelihara urusan rakyat, khalifah atau negara berperan sebagai regulator dan pelaku. Sebagai regulator, kepala negara (khalifah) menetapkan hukum dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan hukum Allah SWT (syariah Islam), bukan berdasarkan akal atau asas sekularisme. Sebagai pelaku, Negara atau Khalifah akan mengelola sumberdaya alam berbasis negara atau state based managemen, baik berbentuk Badan Usaha Milik Umum (BUMU) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tentu dengan paradigma ri’ayah, bukan paradigma bisnis.
BUMU bertugas untuk mengelola sumberdaya alam yang masuk kategori kepemilikan umum yang masuk kategori fasilitas umum (seperti air, hutan, sumber energi dan jalan tol, pelabuhan) maupun sumberdaya milik umum dalam bentuk barang tambang yang jumlahnya banyak (seperti emas, perak, batubara, besi dan lain lain). Negara wajib mengelola sumberdaya milik umum tersebut sebagai wakil dari umat. Negara haram menyerahkan penguasaan dan pengelolaan barang milik umum tersebut kepada swaasta baik lokal apalagi asing. Dalilnya adalah sabda Nabi saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis lainnya adalah tentang pembatalan pemberian tambang garam kepada Abyad bin Hammal ra. Diriwayatkan; Sesungguhnya Abyad bin Hammal pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Ibnu al-Mutawakkil berkata,”Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi saw. pun memberikan tambang itu kepada dia. Ketika Abyad bin Hammal ra. telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-ma’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw mencabut kembali pemberian tambang garam itu dari dia (Abyad bin Hammal).” (HR Ahmad).
Kedua hadis tersebut menunjukkan keharaman harta milik umum dikelola oleh individu atau swasta baik lokal maupun asing.
Adapun BUMN adalah badan usaha yang dibentuk oleh negara untuk mengelolala sumberdaya ekonomi yang masuk dalam kategori kepemilikin pribadi seperti pabrik mobil, perusahaan properti dan lainnya. Berbeda dengan sumber daya alam milik umum yang haram pengelolaannya diserahkan kepada swasta, pengelolaan sumberdaya ekonomi yang masuk dalam kategori milik pribadi dibolehkan swasta memiliki, menguasai dan mengelolanya dan dalam kondisi tertentu negara juga bisa kerjasama atau syirkah dengan swasta untuk mengelola BUMN tersebut.
Dalam menjalankan tugasnya, BUMU dan BUMN tersebut harus melakukan riset, ekplorasi, pengolahan dan distribusi kepada rakyat. Dalam mendistribusikan hasil produksinya kepada rakyat, keduanya tidak boleh berorientasi laba melainkan bentuk pelayanan publik sebagai bentuk tanggung jawab Negara. Namun, untuk optimalisasi pendapatan, negara boleh menjual produksi dengan tujuan ekspor keluar negeri dengan tetap menjamin pemenuhan kebutuhan energi dalam jangka panjang dan tidak menyebabkan kerusakan dan ketidakseimbangan lingkungan. Penjualan keluar negara dibolehkan mengambil keuntungan yang seoptimal mungkin.
Profesional dan Bebas Korupsi
Selain paradigam ri’ayah, pengelolaan BUMU dan BUMN juga harus dikelola secara profesional dan bebas korupsi serta kolusi. Pengelolaan BUMU dan BUMN harus dilakukan secara terpadu dan profesioanal. Para direktur yang ditugaskan untuk mengelola perusahaan haruslah orang-orang yang memiliki keahlian sesuai dengan bidangnya. Inilah yang diperintahkan dan diingatkan oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya, “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya.” (HR al-Bukhari).
Beliau juga bresabda, “Siapa saja yang memegang kuasa tentang sesuatu urusan kaum Muslim, lalu dia memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik dari orang itu, dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslim.” (HR al-Hakim).
Berdasarkan hadis di atas, Islam memerintahkan agar menyerahkan urusan pada ahlinya, berdasarkan kompetensi dan keilmuannya, bukan atas dasar kolusi, nepotisme, balas jasa, atau bagi-bagi jabatan.
Sebagai bentuk profesionalisme, Islam juga akan memberikan gaji yang layak kepada para pekerja dan memberikan ancaman serta sanksi yang tegas bagi mereka yang melakukan korupsi. Rasullah saw. bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاه عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْد ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
Berdasarkan hadis ini harta yang diperoleh para direksi, aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb), merupakan harta ghulul dan hukumnya haram. Karena itu pendapatan para direksi dan karyawan perusahaan BUMN dan BUMU hendaknya diungkap secara transparan sehingga mudah diawasi. Harta direksi, karyawan pejabat dan aparat harus dicatat, bukan hanya mengandalkan laporan yang bersangkutan. Harta kekayaan mereka harus diaudit. Jika ada pertambahan harta yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa, hartanya yang tidak wajar disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas Negara. Bersamaan dengan itu Islam memberikan sanksi (ta’zir), mulai dari yang ringan hingga hukuman mati.
Penutup
Itulah prinsip pengelolan Badan Usaha Milik Umum dan Badan Usaha Milik Negara. Mekanisme tersebut hanya bisa dilaksanakan dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara yang mennerapkan syariah secara kaffah, bukan hanya dalam urusan ibadah dan muamalah, tetapi juga dalam urusan politik. []