BRICS, Kekuatan Baru Dunia?

Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju membuat negara-negara BRICS disebut-sebut dapat menjadi kekuatan ekonomi baru yang dapat menyaingi negara-negara besar seperti AS dan Uni Eropa. BRICS adalah singkatan dari Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan, yang merupakan kelompok lima ekonomi regional.

Pada awalnya, empat negara pertama dikelompokkan sebagai “BRIC” pada tahun 2001 oleh ekonom Goldman Sachs Jim O’Neill. BRIC digadang-gadang sebagai kekuatan ekonomi yang tumbuh pesat dalam satu dekade berikutnya (O’neill,  2001).

Kekuatan ekonomi BRICS, jika digabungkan, memang cukup besar. Secara keseluruhan, BRICS memiliki luas gabungan sekitar 26,7% dari luas permukaan bumi serta populasi total yang mencapai sekitar 3,21 miliar, setara dengan 41 persen dari total populasi dunia.  Kelima negara ini juga merupakan anggota G20, dengan total PDB nominal sebesar US$27 triliun, yang setara dengan 26 persen dari total PDB dunia tahun 2023. Namun, dari kelima negara itu, Cina merupakan kekuatan ekonomi terbesar, yang menguasai  18 persen PDB dunia.

Sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama tahun 2009 hingga KTT ke-14 tahun 2022,  BRICS juga telah mendiskusikan berbagai kebijakan dan menggalang kerjasama dalam beberapa isu global. Salah satu kesepakatan yang telah terwujud adalah pendirian New Development Bank. Bank ini dirancang untuk mendukung pembangunan ekonomi di negara-negara anggota serta untuk membantu mempromosikan kerjasama ekonomi dan perdagangan antara negara-negara anggota. Pada 2015, BRICS juga telah bersepakat  untuk membentuk Contingent Reserve Arrangement (CRA), yaitu penyediaan likuiditas bagi negara-negara anggota jika mereka mengalami kekurangan cadangan devisa akibat ketidakseimbangan jangka pendek pada neraca pembayaran mereka.

Pada KTT ke-14, Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang mendapatkan sanksi pembekuan aset akibat dari perang Rusia-Ukraina, menyerukan agar negara-negara BRICS membentuk cadangan mata uang global yang didukung oleh aset keras, seperti emas. Seruan tersebut secara tidak langsung merupakan kritik atas dominasi dolar AS, yang sangat berpengaruh pada ekonomi global.

 

Penurunan Pengaruh AS

Sejak kemunculannya, BRICS telah menjadi kekuatan baru dalam ekonomi global dan menjadi sorotan bagi banyak negara di seluruh dunia. Apalagi AS sebagai kekuatan dominan dalam politik dan ekonomi global menghadapi tren pelemahan dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun Amerika Serikat saat ini masih menjadi kekuatan global yang penting, baik dari aspek politik, militer, sains dan teknologi,  kekuatan ekonomi negara ini cenderung melemah.

Salah satu indikator kemunduran ekonomi AS adalah penurunan signifikan kontribusi ekonomi negara itu terhadap ekonomi global. Pada tahun 1960, kontribusi ekonomi AS mencapai puncaknya, yaitu 40 persen. Angka tersebut mengalami penurunan akibat krisis domestik, penurunan daya saing, serta menguatnya peran ekonomi negara-negara lain, khususnya Cina. Pada tahun 2023, kontribusi ekonomi AS terhadap ekonomi global diperkirakan tinggal 25,4 persen. Jika pada tahun 1960, ekonomi AS sebesar 9 kali ekonomi Cina, pada tahun, 2021, AS hanya 1,3 kali lebih besar dari negara itu. Dengan kata lain, sejalan dengan membesarnya kue ekonomi global, potongan kue ekonomi untuk AS semakin kecil.

Ketertinggalan tersebut juga terlihat pada kontribusi sektor industri manufaktur AS terhadap dunia, yang mencapai 18 persen, tersalip Cina yang mencapai 20 persen. Cina juga telah melampaui AS bersama dengan IMF dan Bank Dunia dalam pemberian pinjaman di tingkat global. Menurut pejabat AS, seperti yang dikutip oleh Behsudi (2023), sejak 2017, Cina telah menjadi kreditur resmi terbesar di dunia, melampaui Bank Dunia, gabungan IMF dan 22 anggota Klub Paris. Pembiayaan proyek Cina di negara lain antara tahun 2000 dan 2017 berjumlah lebih dari $800 miliar. Sebagian besar dalam bentuk utang.

Dominasi ekonomi AS melalui mata uang dolar juga semakin banyak dikritik. Pasalnya, kebijakan moneter AS yang cenderung mengedepankan kepentingan domestik berdampak negatif pada perekonomian global. Tindakan Federal Reserve AS dalam menaikkan suku bunga, akibat krisis domestik, dapat menyebabkan aliran modal keluar dari negara-negara berkembang. Pada gilirannya hal itu memicu ketidakstabilan ekonomi dan melemahkan mata uang negara-negara berkembang.

Sebagai cadangan mata uang terbesar dunia, dolar AS juga telah memberikan keuntungan signifikan bagi AS, termasuk kemampuan untuk mencetak uang lebih banyak daripada yang seharusnya. Hal ini dapat menyebabkan inflasi dan merugikan negara-negara yang memiliki ketergantungan pada dolar AS. Penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional  sering memberikan AS–melalui IMF dan Bank Dunia–kekuatan politik yang besar, yang dapat digunakan untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri negara lain, khususnya negara-negara yang tertimpa krisis ekonomi dan kekurangan cadangan devisa.

 

Kendala BRICS

Meskipun negara-negara BRICS memiliki potensi untuk menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan utama dalam politik dan ekonomi global, kelompok ini juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang tidak mudah untuk diatasi. Salah satu tantangan utama bagi BRICS adalah perbedaan kepentingan antara negara-negara anggota. Meskipun mereka memiliki tujuan yang sama untuk memperkuat kekuatan politik dan ekonomi, masing-masing negara anggota memiliki perbedaan dalam hal kekuatan politik dan ekonomi, serta perbedaan pendekatan dan prioritas dalam politik luar negerinya. Hal ini bisa memperlemah koordinasi dan kerjasama di antara mereka. Juga bisa membuat BRICS kurang efektif dalam mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh,  sebagai salah satu anggota BRICS, India juga merupakan sekutu AS yang cukup kuat di kawasan Indo-Pasifik, terutama dalam menghadapi kemajuan Cina. AS, India, Jepang dan Australia, misalnya, telah membentuk Quadrilateral Security Dialogue yang disebut sebagai NATO-nya Asia. Kerjasama ini merupakan upaya untuk beradaptasi dengan Cina yang semakin kuat secara ekonomi dan militer di kawasan Asia-Pasifik (Mohan, 2022).

Dalam beberapa tahun terakhir, Cina dan India masih bersengketa soal wilayah perbatasan pegunungan yang dikenal sebagai Line of Actual Control (LAC). Pemerintahan Biden dalam Strategi Pertahanan Nasional Oktober 2022 telah menegaskan bahwa pihaknya akan mendukung sekutu dan mitranya atas tindakan Cina yang sedang membangun kendali atas Laut Cina Timur, Selat Taiwan, Laut Cina Selatan dan perbatasan darat yang disengketakan seperti dengan India (Curtis & Grossman, 2023). Dengan posisi seperti ini, akan sangat sulit bagi India untuk menelurkan kesepakatan bersama BRICS yang akan menekan sekutu utamanya itu.

Dalam perkembangannya, negara-negara BRICS juga menghadapi masalah internal yang cukup pelik sehingga dapat menghambat kemajuan ekonomi mereka. Cina yang menjadi motor utama BRICS juga sedang menghadapi masalah pelik. Pertumbuhan ekonomi negara itu dalam beberapa tahun terakhir tidak lagi sekencang tahun 1990-an hingga 2010 yang rata-rata di atas 10 persen. Negara itu juga mengalami pertumbuhan penduduk yang menurun. Kondisi ini telah lebih dulu dirasakan oleh negara-negara Eropa dan Jepang yang mengalami pertumbuhan penduduk yang minus. Penduduk usia produktif lebih banyak menanggung penduduk non-produktif. Cina juga saat ini mengalami krisis di sektor perumahan, sektor yang menyumbang sepertiga ekonomi negara itu.

Bukan tidak mungkin, Cina dapat mengalami seperti apa yang dihadapi Jepang pada tahun 1990. Pada tahun 1990-an Jepang mengalami periode pertumbuhan ekonomi yang melambat secara signifikan setelah tumbuh kuat pada tahun 1970-an dan 1980-an. Periode yang dikenal sebagai Lost Decade ini memupus peluang Jepang yang digadang-gadang sebagai kekuatan ekonomi yang dapat menyaingi Amerika Serikat. Di antara pemicunya adalah meletusnya gelembung spekulatif di pasar real estat dan keuangan Jepang, yang menyebabkan harga properti dan aset lainnya jatuh secara drastis.

Adapun kekuatan ekonomi Rusia dan Brazil hingga saat ini masih sangat bergantung pada sumberdaya alam, seperti energi dan pangan, yang harganya sangat fluktuatif. Kedua negara ini belum mampu membangun industri manufaktur secara kompetitif seperti yang dilakukan oleh Cina. Karena itu ketika Barat memboikot ekspor energi negara itu, Rusia kelimpungan mencari pasar energi alternatif. Untungnya, harga energi yang sangat tinggi mampu menyelamatkan ekonomi negara itu dari kebangkrutan akibat embargo.

Negara-negara BRICS juga dianggap gagal merumuskan dan menerapkan kebijakan yang bersifat strategis sebagai alternatif dari sistem ekonomi global saat ini. O’Neill yang dua puluh tahun lalu mencetuskan istilah BRIC, belakangan mengkritik kumpulan negara-negara itu yang dianggap banyak mengeluarkan pernyataan luhur, namun hanya disertai dengan sedikit langkah kebijakan. “Selain mendirikan Bank BRICS, yang sekarang dikenal sebagai Bank Pembangunan Baru, sulit untuk melihat apa yang telah dilakukan kelompok tersebut selain bertemu setiap tahun.” (O’Neill, 2021).

 

Potensi Negara-negara Muslim

Negara-negara Muslim memiliki potensi besar sebagai alternatif kekuatan global, terutama dalam hal ekonomi. Meskipun belum terbentuk sebuah kelompok atau aliansi formal seperti BRICS, dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki sebagai satu kesatuan umat dalam satu institusi politik, negara-negara Muslim di dunia berpeluang untuk menjadi kekuatan raksasa di level global.

Negara-negara Muslim memiliki sumberdaya alam yang melimpah menjadi basis untuk memperkuat ekonomi mereka. Negara-negara Timur Tengah dikenal sebagai penghasil minyak dan gas, sementara negara-negara Muslim di Asia Tenggara dan Asia Tengah memiliki cadangan energi dan mineral yang sangat melimpah.  Berdasarkan data SESRIC (OKI) dan EIA, potensi cadangan minyak mentah negara-negara OKI per 2020 sebesar 1,01 triliun barel atau 65% dari total cadangan dunia yang mencapai 1,55 triliun barel. Adapun total cadangan gas dunia pada 2020 sebesar 7.257 total cubic feet (tcf), dan sekitar 4.137 tcf atau 57% berada di negara-negara Muslim. Dengan penyatuan negeri-negeri Muslim dalam satu institusi global, yakni Khilafah Islam, maka pasokan global dapat dikontrol oleh kaum Muslim. Kondisi tersebut juga dapat menjadi posisi tawar politik yang efektif sekaligus sarana dakwah terhadap negara-negara lain.

Negara-negara Muslim juga memiliki letak yang strategis di antara tiga benua, yaitu Asia, Eropa, dan Afrika. Letak strategis ini memungkinkan negara-negara Muslim menjadi pusat perdagangan internasional dan menghubungkan berbagai pasar di tiga benua tersebut. Beberapa jalur penting perdagangan internasional (choke points)  juga berada di negara-negara Muslim, seperti Selat Hormuz (terletak antara Oman dan Iran), Selat Bab-el-Mandeb (terletak antara Yaman dan Pulau Socotra),  Selat Malaka (terletak antara Malaysia dan Pulau Sumatera), Terusan Suez (menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah) dan Selat Gibraltar (terletak di antara Spanyol, Gibraltar dan Maroko).

Populasi Muslim di seluruh dunia juga sangat besar dengan pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan penganut agama lainnya. Saat ini  populasi Muslim diperkirakan mencapai 1,8 miliar jiwa atau sekitar 24% dari total populasi dunia. Menurut Pew Research Center (2017), penduduk Muslim diproyeksikan menjadi kelompok agama besar dengan pertumbuhan tercepat di dunia dalam beberapa dekade mendatang. Dengan jumlah penduduk yang besar, negara-negara Muslim memiliki potensi pasar yang besar untuk berbagai produk dan jasa.

Bagaimanapun negara-negara industri seperti AS, Cina, dan Uni Eropa, yang memiliki tren penurunan populasi, membutuhkan pasar atas produk-produk yang mereka produksi, sehingga sangat penting bagi mereka untuk bekerjasama dengan negara-negara Muslim.

Kekuatan utama yang dimiliki umat Islam yang tersebar di lebih dari 56 negara saat ini adalah adanya kesamaan akidah Islam yang merupakan dasar dari ideologi Islam. Dengan mengadopsi Islam sebagai ideologi yang didukung oleh berbagai potensi yang dimiliki, umat Islam di dunia akan kembali menjadi negara super power di bawah kesatuan politik Khilafah Islam. Sejarah telah mencatat, sistem politik ini mampu menjadi pusat peradaban dunia, yang menjadi pusat pendidikan, sains dan teknologi, serta  memiliki  kekuatan politik, militer, dan ekonomi yang tangguh di level global.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Muis]

 

Referensi:

  1. O’neill, Jim (2001). Building better global economic BRICs.
  2. O’neill, Jim (16 September, 2021). Will the BRICS Ever Grow Up? Project Syndicate. https://www.project-syndicate.org/commentary/brics-20-years-of-disappointment-by-jim-o-neill-2021-09?barrier=accesspay. Diakses 16 Mei 2023.
  3. Curtis, Lisa & Derek Grossman (30 Maret, 2023). India-China Border Tensions and U.S. Strategy in the Indo-Pacific.
  4. https://www.cnas.org/publications/reports/india-China-border-tensions-and-u-s-strategy-in-the-indo-pacific. Diakses 16 Mei 2023.
  5. Behsudi, Adam (November 04, 2023).  IMF-World Bank Spring Meetings: The ‘rift is there’: Cina vs. the world on global debt. https://www.politico.com/news/2023/04/11/Cina-lending-imf-world-bank-00090588. Diakses 16 Mei 2023.
  6. Pew Research Centre (2017). The Changing Global Religious Landscape. https://www.pewresearch.org/religion/2017/04/05/the-changing-global-religious-landscape/. Diakses 16 Mei 2023.
  7. Mohan, C. Raja (2022). Why China Is Paranoid About the Quad. Foreign Policy. https://foreignpolicy.com/2022/05/17/india-china-quad-summit-modi-xi-biden/. Diakses 16 Mei 2023.
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi