Benarkah Indonesia Tidak Punya Uang?

Usulan lockdown kembali muncul dari publik saat kasus positif Covid-19 melonjak drastis di Tanah Air. Publik tidak begitu yakin kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat ini yang dijalankan Pemerintah bisa efektif. Langkah lockdown ini dinilai akan sangat ampuh menekan penyebaran Covid-19 seperti yang sudah dilakukan negara tetangga Malaysia yang memberlakukan lockdown total.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu sempat menyampaikan, biaya yang ditanggung tidak murah. Untuk DKI Jakarta saja dibutuhkan Rp 550 miliar perhari. Jabodetabek berarti bisa tiga kali lipat dari biaya tersebut. Berdasarkan angka tersebut, jika dihitung secara kasar dengan cara dikalikan 34 provinsi maka biaya total yang diperlukan untuk lockdown sekitar Rp 18,7 triliun perhari (https://nasional.kompas.com/).

Pada sisi lain, kondisi geografis dan mobilitas penduduk di Indonesia tidak cocok dengan pola lockdown. Dikhawatirkan, kas negara habis, namun Covid juga tidak teratasi.

Alasan lain yang disampaikan Jokowi adalah dalam memutuskan setiap negara itu beda-beda. Tidak bisa kita disuruh meniru negara lain.

Mereka yang juga menolak kebijakan lockdown lebih banyak berargumen secara politis dengan berbagai macam alasan. Utamanya dampak perputaran ekonomi yang akan terganggu. Efek domino lainnya, akan banyak para pekerja yang kena PHK karena perusahaan tempatnya bekerja tidak mampu membiayai operasional nantinya. Daya beli masyarakat kita yang masih menurun, kalau ditambah kebijakan lockdown, bisa memicu krisis ekonomi. Permasalahan lain, yaitu masyarakat yang kurang disiplin, jadi mau lockdown sekalipun kalau tidak dibarengi kedisiplinan akan percuma. Lockdown bukan solusi.

Padahal kebijakan lockdown untuk tujuan kesehatan selaras dengan kebijakan untuk tujuan ekonomi. Studi yang dilakukan Bernard H Casey konsultan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), pada Desember 2020 menunjukkan bahwa tidak terbukti adanya pertentangan (trade off) antara ekonomi dan kesehatan (Bernard H Casey December 18th, 2020 Covid-19: Is there a trade-off between economic damage and loss of life?)

Adapun anggaran untuk menangani dampak dari Covid-19 ditetapkan Pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggaran cukup besar diberikan Pemerintah sejak tahun lalu dan masih saja ditambah bila memang ada kebutuhan yang mendesak.

Kementerian Keuangan mencatat realisasi anggaran PEN hingga 18 Juni 2021 sebesar Rp 226,63 triliun atau 32,4% dari pagu yang ditetapkan sebesar Rp 699,43 triliun. Artinya, masih ada sisa anggaran sebesar Rp 472,8 triliun lagi yang bisa digunakan hingga akhir tahun untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19.

Dalam perkembangannya, Program PEN untuk tahun 2021 kembali ditingkatkan menjadi Rp 744,75 triliun, terutama untuk memberikan tambahan dukungan penanganan kesehatan dan perlindungan sosial di tengah peningkatan kasus Covid-19.

Rincian alokasi anggaran dari Program PEN dalam APBN meliputi sektor: (1) Kesehatan dengan pagu Rp 214,95 triliun; (2) Perlindungan Sosial dengan pagu Rp 187,87 triliun; (3) Dukungan UMKM dan Korporasi dengan pagu Rp 161,20 triliun; (4) Program Prioritas dengan pagu Rp 117,94 triliun; (5) Insentif Usaha dengan pagu Rp 62,83 triliun (https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita).

Pandemi Covid-19 telah memberikan tekanan yang sangat besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam dua tahun terakhir ini. Pembiayaan program penanggulangan pandemi Covid-19 dan dampak sistemiknya serta program pemulihan ekonomi nasional mengakibatkan pos belanja negara membengkak jauh di luar dugaan.

Defisit APBN pada 2019 mencapai Rp 348,7 triliun atau setara dengan 2,20 persen produk domestik bruto (PDB). Pada masa pandemi tahun 2020 melambung 3X lipat menjadi Rp 1.039,2 triliun (6,34 persen dari PDB).

Defisit APBN ini sudah melanggar batas maksimum defisit APBN. Sebagai informasi, defisit anggaran diatur dalam Undang-Undang (UU) 17/2003 tentang Keuangan Negara. Payung hukum tersebut membatasi defisit APBN sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Agar tidak dianggap melanggar UU, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2020 sebagai respon terhadap gelombang pandemi yang datang tidak terduga.

Tidak tanggung-tanggung, Pemerintah mengajukan kelonggaran defisit APBN sampai angka tak terhingga selama masa pandemi Covid-19 atau paling tidak sampai tahun 2023. Dikhawatirkan pada tahun 2021 defisit APBN masih sangat tinggi, yaitu mencapai 5,70 persen terhadap PDB atau mencapai angka Rp 1.006,4 triliun.

Di sisi lain, dampak pandemi Covid-19 terhadap sumber-sumber pendapatan negara mengalami tekanan yang tidak kalah beratnya. Negara kehilangan berbagai sumber pendapatan utamanya seperti pendapatan pajak dan pendapatan negara bukan pajak dari usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada tahun 2020 diperkirakan rasio pajak terhadap PDB kembali turun drastis dari 9,76 persen menjadi hanya 7,90 persen. Hal yang sama juga terjadi dari penerimaan hasil usaha BUMN di mana diperkirakan pada tahun 2020 turun sekitar 15 persen dan pada tahun 2021 diperkirakan kembali turun sebanyak 40 persen.

 

Beban Utang APBN

Pemerintah harus menutup defisit APBN yang semakin meningkat. Jurus ampuh yang dilakukan Pemerintah, yaitu penambahan utang baru. Di tengah pandemi Covid-19, menggenjot penerimaan dari pajak dan hasil usaha BUMN merupakan hal yang mustahil. Utang menjadi satu-satunya opsi yang paling realistis menurut pendekatan dan mazhab ekonomi yang selama ini dianut oleh Pemerintah dan mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia.

Konsekuensi opsi ini memiliki efek negatif yang sangat besar dalam jangka panjang. Bom waktu berupa warisan utang akan diterima oleh generasi Indonesia selanjutnya. Rezim defisit APBN Pemerintah saat ini akan mewariskan beban utang untuk Pemerintahan Indonesia berikutnya.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, posisi utang Pemerintah per akhir Juni 2021 menembus di angka Rp 6.554, 56 triliun dengan rasio utang Pemerintah terhadap PDB sebesar 41,35%. Walaupun jumlahnya sudah sangat besar, Kementerian Keuangan masih memiliki keyakinan bahwa utang Pemerintah masih berada di zona aman dan tetap terjaga.

Hal ini disebabkan karena komposisi utang Pemerintah sebagian besar sekitar 67,59% atau Rp 4.430,87 triliun dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) yang terdiri dari utang Domestik dalam bentuk mata uang rupiah seperti Surat Utang Negara (SUN) domestik dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) (https://www.kemenkeu. go.id/apbnkita).

 

Alternatif Sumber Pendanaan

Diperlukan langkah out of the box untuk mencari sumber pembiayaan lain yang jauh lebih fleksibel.

Mengutip tulisan Agus Herta Sumarto Ekonom INDEF, dalam teori modern public finance dan modern monetary theory, sebenarnya masih terdapat satu cara yang bisa dijadikan pilihan alternatif Pemerintah untuk menutupi defisit anggaran yang sangat besar ini, yaitu dengan mencetak uang baru (https://news.detik.com/kolom/d-5481806/menimbang-alternatif-pembiayaan-defisit-apbn) .

Namun, berkaca dari sejarah dan fakta, pencetakan uang ini memiliki beberapa resistensi. Pertama, penciptaan uang yang dilakukan dalam jumlah besar, secara teori ekonomi Keynesian klasik, akan menciptakan inflasi yang sangat tinggi dan cenderung tidak terkendali (hyperinflation). Kondisi ini pernah dilakukan pada pemerintahan Orde Lama.

Kedua, penciptaan uang untuk pembangunan proyek-proyek mercusuar seperti pada masa Orde Lama maka tidak menciptakan efek pengganda (multiplier effect) ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang signifikan.

Ketiga, penciptaan uang ini juga dikhawatirkan dapat mengancam independensi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Indonesia. Penciptaan uang atas permintaan Pemerintah akan menghilangkan otoritas BI sebagai ujung tombak utama kebijakan moneter dan makro-prudensial.

Tiga resistensi dari penciptaan uang tersebut akan terus terjadi selama mata uang yang diciptakan terpisah antara nilai intrinsik uang dengan nilai nominal uang (fiat money) yang berlaku di pasar.

Berbeda kalau dalam penciptaan uang selalu dijamin dengan cadangan emas. Jaminan emas sebagai jaminan nilai intrinsik uang bisa diganti dengan komoditas berharga lainnya. Nilai intrinsik uang baru yang akan dicetak tidak terkena risiko inflasi.

Sebenarnya sistem mata uang emas telah memainkan peran yang penting dalam peradapan dunia. Bahkan sejak zaman Nabi Muhammad saw. masyarakat Arab menerima koin emas (dinar) yang dikeluarkan oleh Kekaisaran Bizantium Romawi. Namun, penerbitan Islamic dinar sendiri baru dilakukan 50 tahun setelah wafatnya Nabi saw. Tepatnya 75 Hijrah (696 M), yaitu pada saat Khalifah Abd al-Malik ibn Marwan. Dengan demikian ‘Dinar Emas’ bukan hal yang baru. Namun, karena peranan fiat money yang sangat kuat maka ‘Dinar Emas’ seakan tenggelam dan tergantikan sampai saat ini.

Sumber alternatif kedua yang bisa dilakukan sebagai sumber pembiayaan APBN adalah mengganti sumber pendapatan dari pajak ke sumber-sumber pendapatan negara yang sesuai tuntunan syariah.

Sektor perpajakan masih menjadi sumber penerimaan utama APBN dengan porsi sekitar 86 persen dari total penerimaan atau meningkat dari 10 tahun yang lalu yang masih 66 persen. Ini menunjukkan semakin bergantungnya Pemerintah pada rakyatnya.

Peningkatan pendapatan pajak dalam kebijakan anggaran Pemerintah tidak lepas dari paradigma negara yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara (fungsi budgeter). Pemerintah juga beralasan, pendapatan dari sektor bukan pajak seperti sektor migas cenderung menurun, sehingga Pemerintah cenderung menggenjot pendapatan dari sektor pajak.

Padahal banyak faktor yang menyebabkan pendapatan negara dari sektor migas mengalami penurunan. Di antaranya adalah banyak tambang-tambang minyak di Indonesia yang pengelolaanya tidak lagi di tangan Pemerintah (BUMN) secara penuh, namun telah beralih atau dikelola oleh perusahaan-perusahaan minyak asing/swasta dengan sistem profit sharing.

Belum lagi privatisasi yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan milik umum dan negara (BUMN). Hal inilah yang menyebabkan Pemerintah kehilangan pemasukan yang berasal dari sektor migas dan SDA lainnya. Negara hanya mendapatkan sebagian kecil melalui pajak atau pembagian laba dari penyertaan modal pada perusahaan tersebut (BUMN).

Implikasi lainnya, secara faktual, sektor-sektor perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak atau semestinya dikuasai negara untuk mencegah konsentrasi kepemilikan di tangan segelintir orang malah diserahkan kepada mekanisme pasar yang sudah jelas didominasi kaum kapitalis.

Dengan doktrin laizzes faire, negara terus dicegah untuk melakukan dominasi/intervensi atas perekonomian. Akhirnya, munculah berbagai program dan kebijakan yang pro pada pasar dan kebebasan kepemilikan (liberalisasi), seperti privatisasi dan penghapusan subsidi.

Dengan demikian strategi penyusunan APBN Indonesia dipengaruhi oleh ideologi kapitalis yang dianut oleh Pemerintah. Pemerintah mengatasi defisit anggaran dengan melakukan utang dan meningkatkan pendapatan dari sektor pajak. Pendapatan pajak dijadikan basis utama APBN, sedangkan pendapatan dari sektor SDA tidak. Privatisasi dan investasi asing menjadi paradigma dalam pengelolaan SDA. Peran negara sebisa mungkin diminimalkan. Subsidi negara di sektor publik secara bertahap harus dihapuskan.

Semuanya itu membuktikan, kebijakan negara mengarah pada ideologi yang kapitalistik. Maka tidak aneh, ketika menghadapi masa pandemi Covid-19 pun tidak menjadikan ajaran Islam sebagai solusinya.

WalLahu a’lam bish ash-shawwab. [Ahmad Zulfikar]

 

Sumber: https://al-waie.id/iqtishadiyah/benarkah-indonesia-tidak-punya-uang/

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi