30 JURUS MENGUBAH NASIB; Hari-6 : UBAH ASUMSI

Oleh : Ust. Prof. Dr. -Ing. H. Fahmi Amhar
Penyusun : Jusmin Juan

(Apa Yang Bisa Bisa Ubah Agar Allah Mengubah Nasib Kita)

Hari-6 : UBAH ASUMSI

Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu asumsi-asumsi yang selama ini digunakannya

Dunia ini penuh dengan asumsi (anggapan yang dianggap benar). Setiap hari orang beraktivitas pun dengan menyimpan asumsi di dalamnya. Contoh dari asumsi: dia berangkat ke tempat kerja karena, berasumsi disana ada sesuatu yang dapat dikerjakannya, atau kalau dia tidak berangkat, dia akan mendapatkan sanksi, setidaknya sanksi sosial (malu), karena orang-orang lain juga berangkat, dan mereka sama-sama dibayar untuk itu. Tentunya akan sangat berbeda, kalau dari awal dia punya asumsi bahwa di kantor tidak ada yang dapat dikerjakannya, atau disana dia akan mendapatkan suasana yang tidak enak, yang membuatnya makin lama mereka justru makin terpuruk.

Setelah berasumsi bahwa tempat yang dituju ada, maka dalam perjalanan kesana orang juga berasumsi bahwa di jalan raya secara umum orang lain akan mematuhi aturan lalu lintas. Tanpa asumsi ini, kita akan sangat sulit berperilaku di jalan, misalnya di sisi kiri atau kanan kendaran kita berjalan, atau kalau lampu lalu lintas berwarna hijau kita sebaiknya jalan terus atau berhenti.

Ketika sampai di tempat tersebut, orang juga akan berperilaku sesuai asumsi. Misalnya, orang Indonesia yang biasa buang sampah atau meludah sembarangan, begitu sampai ke Singapura akan mendadak takut buang sampah atau meludah sembarangan. Hal ini karena dia berasumsi, di Singapura ada hukum kebersihan yang sangat ketat, konon buang sampah sembarangan bisa didenda 100 Dollar, dan penegak hukumnya sangat tegas, tidak bisa disuap. Asumsi ini yang membuat Singapura menjadi kota terbersih di dunia, termasuk di tempat-tempat yang tidak ada polisi.

Asumsi ini muncul karena sebab yang bermacam-macam. Yang terbanyak adalah karena tradisi (al-urf) yang sudah dibuat orang sebelumnya, yang bisa saja bersumber dari mitos. Bisa juga itu peraturan yang telah lama terisolasikan dan patuhi. Namun ada juga asumsi karena pengalaman individual, baik dialami sendiri atau didengar dari pengalaman orang lain.

Yang repot kalau asumsi ini bersifat negatif. Misalnya orang Barat berasumsi bahwa orang Islam -apalagi Arab dan keriting- itu bebal-bebal, susah diajak berpikir kritis dan maju. Asumsi bahwa orang Jawa itu nrimo (pasrah pada nasib), lelaki Sunda itu pemalas, dan perempuan Minang itu matre. Disini asumsi sama dengan prasangka. Dan benar menurut Qur’an: sebagian besar prasangka itu dosa. Prasangka adalah asumsi yang tidak rasional.

Contoh asumsi negatif yang lain adalah yang menyangkut kelemahan diri, sehingga diri enggan berubah. Misalnya ucapan, “Yach, saya belum dapat hidayah padahal kalau Allah kehendaki, tentu tak ada yang menghalangi”.

Dampak asumsi ini bisa mengerikan.

Asumsi bahwa Tuhan memang belum memberinya hidayah, membuatnya hanya menunggu, bukannya malah giat memburu hidayah. Akibatnya meski sudah mapan, bekal sudah cukup, tetapi tidak juga mendaftar untuk berangkat haji atau pergi berdakwah.

Intinya, kalau mau berubah, kita memang harus merubah asumsi-asumsi dalam kita. Asumsi-asumsi yang negatif harus kita ganti. Asumsi yang tidak rasional harus diganti dengan asumsi rasional yang ada dasarnya dalam Kitabullah atau Sunnah Rasul, atau ada dasarnya menurut ilmu pengetahuan.

Termasuk juga Asumsi kita tentang Tegaknya Khilafah harus diperjuangkan bukan dengan menunggu dan menunda-nunda.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk mengubah asumsi-asumsi kita. Mudah-mudahan, mulai Hari-6 Ramadhan kita sudah bisa mengubah ASUMSI kita, agar Allah mengusah nasib kita.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi