30 JURUS MENGUBAH NASIB; Hari-2 : UBAH POSISI

Oleh : Ust. Prof. Dr. -Ing Fahmi Amhar
Penyunting : Jusmin Juan

(Apa Yang Bisa Kita Ubah Agar Allah Mengubah Nasib Kita)

Hari-2 : UBAH POSISI

“Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu dimana posisinya…”

Yang diubah setidaknya ada 3 macam :
1). Ubah secara fisik posisi tempat dia berada
2). Ubah secara mental kedudukannya di dunia
3). Ubah posisinya terhadap sebuah peristiwa

Ketika Rasulullah menunjukan kemuliaan berjama’ah di shaf pertama, itu tanda bahwa posisi menentukan prestasi. Ketika Rasulullah saw menunjukkan bahwa berdiri sebagai muadzin itu lebih utama daripada berangkat ke masjid setelah mendengar adzan, itu tanda bahwa posisi menentukan nasib. Di dunia finansial saja kita melihat bahwa posisi tempat usaha bisa menentukan seberapa banyak akan didatangi pelanggan.

Dalam perjalanan dakwahnya, Rasulullah bahkan mencontohkan hijrah, sebagai perubahan posisi secara fisik (migrasi), yakni dari Daarul Kufur (negeri yang menerapkan sistem kufur dan menghalangi dakwah Islam) ke Daarul Islam (negeri yang menerapkan sistem Islam dan keamanannya ada di pundak kaum muslim).

Dalam konteks individual, Rasulullah bahkan menceritakan kisah seseorang dari umat terdahulu, yang telah membunuh ulama, lalu ingin bertobat, pembunuh itu harus pindah, keluar dari lingkungannya yang selalu memaksa dirinya tetap dalam kondisi fasik.
Pembunuh itu harus pindah ke lingkungan orang-orang shaleh. Dalam perjalanannya, pembunuh itu meninggal. Malaikat penjaga surga dan penjaga neraka memperebutkan pembunuh itu. Tetapi setelah diukur, ternyata pembunuh itu sudah lebih dekat ke kampung orang shaleh walaupun hanya satu jengkal. Maka jadilah dia hak malaikat penjaga surga. Itulah hikmah dari merubah posisi. Kalau kita ingin menjadi shaleh, ubahlah posisi kita secara fisik mendekati komunitas orang-orang shaleh.

Namun, selain mengubah posisi fisik, kita juga bisa mengubah posisi mental. Orang-orang yang bermental inferior (rendah diri), akan tidak berhasil merubah nasibnya, sekalipun diberikan memang amat penting, terlebih lagi fasilitas dan bekal yang super lengkap. Posisi mental memang amat penting, terlebih lagi bagi pemangku jabatan publik. Ada pejabat eselon-1 yang suka mengeluh. Katanya anak buahnya payah. Padahal, dia dalam posisi bisa melakukan perubahan.

Seorang muslim harus memiliki posisi mental sebagai hamba Allah yang hidup untuk beribadah dan taat kepada Syariatnya, dan pada saat yang sama berusaha keras menjadi bagian danri umat yang terbaik, yang mampu dan berwibawa menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah. Hanya dengan itu dia akan dapat menuntaskan misi sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam. Ini posisi mental yang harus dipegang teguh oleh seorang muslim, di negeri mananpun dia berkiprah dan pada profesi dan jabatan apapun dia bekerja.

Sebagai seorang hamba, seorang muslim harus memposisikan diri bahwa dia itu lemah dan terbatas. Karena itu dia selalu merasa membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah. Petunjuk itu turun lewat Nabi-Nya. Karena itu, seorang muslim tidak merasa lebih pintar dari Rasulullah, dalam mengatur urusan kehidupan. Dia tidak akan menjadikan kehendak orang banyak sebagai sumber hukum tasyri’, karena membuat hukum itu wewenang Allah semata. Dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan, dia senantiasa mencari apa syari’at Allah dalam menjawab persoalan persoalan itu. Ketika dia telah mendengarnya, maka dia mentaatinya. Dia memposisikan dirinya sebagai hamba dan Allah sebagai majikannya.

Namun yang terpenting adalah posisi seseorang seseorang terhadap suatu peristiwa. Ketika ada masalah atau musibah, maka dia bisa memposisikan diri sebagai korban, sebagai penonton, atau sebagai PENOLONG. Kalau memposisikan diri sebagai korban, kita hanya perlu menyalahkan orang lain. Semua yang salah orang lain, konspirasi Yahudi, ulah iluminati atau makar dajjal. Kita tidak perlu intropeksi. Kalau kita memposisikan diri sebagai penonton, kita salahkan saja korban, dan kita tidak perlu berbuat apa-apa. Tetapi kalau kita memposisikan diri sebagai penolong, maka kita akan berpikir keras, bagaimana musibah itu dapat diatasi, dan ke depan tidak terulang lagi. Sesungguhnya Allah pasti akan menolong seorang hamba menolong urusan agama-Nya.

Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk mengubah posisi kita, bukan malah bulan bertahan dalam posisi kebekuan yang lama. Mudah-mudahan, mulai masuk hari kedua bulan Ramadhan, kita sudah bisa mengubah POSISI kita, agar Allah mengubah nasib kita.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi