Oleh. Yani
(Kontributor MazayaPost.com)
Ribuan massa aksi demonstrasi yang menolak RUU Pilkada terlibat bentrokan dengan tim gabungan TNI-POLRI di depan gedung DPR RI Senayan Jakarta, pada kamis (22/8/2024). Berdasarkan pantauan di lokasi, bentrokan antara massa dengan aparat terjadi sekitar pukul 16.40 WIB sesaat ketika salah satu pagar kompleks DPR RI berhasil dijebol. Massa mulai melempari aparat dengan batu, kemudian dibalas dengan satu kali tembakan gas air mata oleh tim gabungan TNI POLRI. Kericuhan diawali dengan massa aksi yang merangsak maju mendekati gerbang utama kompleks parlemen DPR RI. Para demonstran menuntut DPR RI membatalkan RUU Pilkada (22/8/2024).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat sekitar 159 demonstran ditangkap pihak kepolisian saat aksi tolak RUU PILKADA tersebut. Komisioner komnas HAM Azis Hidayah menyebut, sebanyak 102 orang diantaranya merupakan anak-anak. Komnas HAM mendesak aparat penegak hukum tidak melalukan kekerasan berulang terhadap massa aksi. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menyuarakan hal yang sama, terlebih pada mereka yang masih di bawah umur seperti para pelajar. Pengamat politik Endiyah Puji Tristanti, menyayangkan adanya penangkapan yang dilakukan oleh aparat dalam menangani aksi tersebut (28/8/2024).
Umat berunjuk rasa karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Ini salah satu cara rakyat untuk mengingatkan pemerintah. Mirisnya, aparat justru menyemprotkan gas air mata dan melakukan tindakan refpresif lainnya. Hal ini menunjukkan sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat. Seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan, dan tidak mengabaikannya.
Buah dari penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan karakter kekerasan pada generasi muda. Syahwat politik rezim yang menghalalkan segala cara dalam mempertahankan kekuasaan. Realitas lain bahwa kehidupan kapitalisme mengajarkan kekerasan, contohnya di sekolah ada pengalaman kekerasan dari para senior, ada bulliying, game online dan film yang mengandung unsur kekerasan serta tindak kriminal, circle pertemanan semacam geng motor, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal ini akan memunculkan benih-benih perlawanan terhadap negara.
Berbeda dengan sistem Islam, yang mana salah satu mekanismenya untuk menjaga pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah dengan adanya “muhasabah lil hukam” atau mengoreksi penguasa, juga lembaga seperti majelis ummah dan Qadli Madzalim. Dalam sistem Islam, mengkritik penguasa atau khalifah dianggap sebagai jihad karena merupakan bagian dari dakwah amar makruf nahi munkar. Kritik sebagai wujud kepedulian dan kasih sayang rakyat terhadap penguasanya yang lalai atau zalim.
Dalam Islam, amar makruf nahi munkar adalah kewajiban setiap individu, kelompok, dan masyarakat. Penguasa pun memahami tujuan adanya muhasabah yaitu, untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi ini. Karena itu, jika aktivitas amar makruf nahi munkar ini telah hilang maka akan berimbas pada meratanya kemunkaran di muka bumi ini. Hal ini akan lebih berbahaya bagi peradaban masa depan. Maka hanya Khilafahlah yang mampu menegakkan aturan Allah, dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, serta mewujudkan terciptanya negara yang “baldatun thayyibatun wa robbun ghafur.” Wallahualam bisawab.