Amerika Memimpin Kemunduran Barat, Umat Islam Harus Memanfaatkan Kesempatan Ini (#2 – habis)

AS Menghadapi Kontraksi Ekonomi

Ekonomi Amerika bernasib lebih baik daripada sistem politiknya. Ekonomi Amerika adalah yang terbesar di dunia dengan PDB 21,4 triliun dolar. Bahkan Amerika menikmati bagian terbesar dari ekonomi global, sebesar 25%.[24] Sedang dolar Amerika merupakan mata uang cadangan yang tak terbantahkan di dunia, dan secara luas digunakan untuk menyelesaikan transaksi lebih dari mata uang lainnya. Sementara perusahaan-perusahaan Amerika mendominasi daftar 20 perusahaan terbesar.[25] Amerika juga memiliki pendapatan per kapita tertinggi di antara negara-negara Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).[26] Namun terlepas dari dominasi ekonomi ini, kekuatan ekonomi Amerika telah berkontraksi selama bertahun-tahun.

Pada tahun 1960, bagian Amerika dari ekonomi global mencapai 40% dan selama bertahun-tahun— namun karena semakin banyak negara berusaha untuk menduduki posisi ekonomi global—ekonomi AS turun hampir setengah dari jumlah ini.[27] Ekonominya masih tetap kuat karena sistem dolar, tetapi mengalami penurunan daya beli yang mencolok karena efek kumulatif inflasi, di mana satu dolar pada tahun 1960 setara dengan daya beli sekitar 8,84 dolar hari ini, dengan peningkatan sebesar 7,84 dolar lebih dari 61 tahun. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja, harga hari ini 884% lebih tinggi dari harga rata-rata pada tahun 1960.[28] Diperkirakan bahwa daya beli dolar akan menurun lebih jauh dengan dimulainya rencana stimulus Biden senilai 1,9 dolar triliun. Fortune Global 500 tidak lagi mencerminkan dominasi perusahaan-perusahaan Amerika. Pada tahun 2020, Global Fortune 500 membanggakan 133 perusahaan China, dan 121 perusahaan Amerika—hanya 2 perusahaan AS yang berhasil masuk 10 Besar.[29] Terakhir, penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang di Amerika menimbulkan keraguan baru pada validitas indeks yang mengukur pendapatan perkapita AS. Untuk pertama kalinya, rata-rata pendapatan perkapita AS mencapai 63.000 dolar pada tahun 2019—tetapi setelah disesuaikan dengan inflasi, pendapatan itu hanya berada di level 1999 dolar saja.[30] Sementara itu, 1% orang terkaya di Amerika telah memperkaya diri mereka sendiri secara signifikan dengan menghasilkan 50 dolar triliun dari 90%,[31] dan jika tren seperti itu terus berlanjut—terutama perampasan kekayaan oleh kapitalis Amerika dari ultra-kaya—kekuatan ekonomi Amerika akan menjadi kurang kredibel dan efektif, dan akan menimbulkan pergolakan domestik, seperti yang dikatakan Ibn Khaldun dan Turchin.

 

Biaya Militer Makin Meningkat

Terlepas dari adanya 800 pangkalan militer di 70 negara dan wilayah, dan pengeluaran militer tahunan sebesar 734 dolar miliar—hampir 3 kali lipat dari saingan terdekatnya China—kekuatan militer AS memudar.[32, 33] Pada tahun 2010, Pentagon secara resmi tidak memprioritaskan pertempuran dua perang simultan di dua teater operasi militer yang berbeda dari doktrin perangnya. Pada tahun 2010, Tinjauan Pertahanan Empat Tahunan (QDR) tidak lagi memandang “persyaratan dua perang sebagai faktor fundamental dalam menentukan komposisi kekuatan.”[34] Keunggulan militer AS selama puluhan tahun atas negara lain, serta kemampuannya untuk menghalangi dan mengalahkan musuh, juga telah berkurang. Pada tahun 2018, sebuah komisi independen terdiri dari dua partai menunjukkan tentang strategi pertahanan Amerika bahwa “keunggulan militer Amerika telah berkurang” dan “keraguan tentang kemampuan Amerika untuk melindungi, jika perlu, mengalahkan lawan dan menepati komitmen globalnya”.[35] Ada komplikasi tambahan yang tercermin pada kemampuan Amerika untuk melakukan perekrutan baru, di mana minat di kalangan anak muda untuk bertugas di militer AS telah jatuh ke titik terendah sepanjang masa, dan situasinya menjadi sangat buruk sehingga hanya untuk mendukung Angkatan Darat dan Korps Marinir AS, keduanya menggunakan cara kenaikan gaji dan skema bonus yang luar biasa untuk menarik kaum muda,[36] Dalam hal ini tidak ada keraguan bahwa kinerja militer Amerika yang buruk di Afghanistan dan Irak berkontribusi pada penurunan kekuatan militer AS. Jika tren ini terus berlanjut, maka perang dengan negara-negara yang tidak kecil, seperti Rusia dan China, maka akan sangat menjadi ujian keras bagi kekuatan militer Amerika, yang membuatnya tidak mungkin menang. Namun, ancaman yang lebih mendesak berasal dari biaya ekonomi dan politik yang diperlukan untuk mempertahankan keterlibatan militer di luar negeri seperti yang disoroti oleh Kennedy. Disfungsi politik di dalam negeri dikombinasikan dengan pengaruh ekonomi yang surut diperkirakan akan mengganggu komitmen militer Amerika di luar negeri.

 

Munculnya Kekuatan Besar yang Lain

Jelas bahwa Amerika tengah menghadapi penurunan relatif dalam kekuatan ekonomi dan militer, serta diperburuk oleh sistem politik yang rusak. Ini juga mempengaruhi kemampuan Amerika untuk membujuk Eropa mengenai isu-isu kunci dan untuk mencegah negara-negara revisionis seperti Rusia dan China. Hubungan transatlantik telah menjadi landasan tatanan politik Amerika sejak tahun-tahun pasca perang. Eropa telah dengan sukarela menarik garis Amerika pada sejumlah besar masalah, dan memberikan dukungan kepada tindakan Amerika bila diperlukan. Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet perbedaan di antara mitra transatlantik muncul pada sejumlah isu penting seperti arah ekspansi Uni Eropa, misi baru NATO, peningkatan unilateralisme Amerika dalam urusan internasional, kebijakan terhadap selatan global dan sebagainya. Perang pilihan melawan Afghanistan dan Irak menambah kekecewaan Eropa yang membara pada Amerika. Pada tahun 2003, Dominique Moisi, wakil direktur Institut Hubungan Internasional Prancis yang berbasis di Paris menyatakan “apa yang kita saksikan adalah munculnya dua Barat—Barat Amerika dan Barat Eropa—dengan kepekaan dan emosi yang berbeda”.[37] Krisis keuangan global yang didahului oleh krisis zona Euro, krisis utang Yunani, perang mata uang dan ketidaksepakatan atas penghematan versus stimulus moneter memperparah hubungan antara keduanya. Musim semi Arab dan krisis pengungsi Suriah semakin mengikis kepercayaan dalam hubungan transatlantik.

Setelah naiknya Trump, hubungan itu mencapai titik terendah sepanjang masa. Tekad Trump bagi Eropa untuk meningkatkan bagiannya dari beban keuangan NATO dan ketidakpatuhannya pada Pasal 5 organisasi itu menuai kritik tajam dari sekutu. Berbicara tentang penolakan Trump menegaskan kembali janji Amerika untuk melindungi Eropa, Kanselir Markel mengatakan, “Saat-saat di mana kita dapat sepenuhnya bergantung pada orang lain dalam perjalanan keluar… Kita orang Eropa harus mengambil takdir kita ke tangan kita sendiri”.[38] Trump tanpa malu melanjutkan omelannya terhadap Eropa. Dia secara terbuka mendukung Brexit dan disintegrasi UE, menegur Macron karena menyarankan Eropa membutuhkan pasukan untuk mempertahankan diri dari Amerika dan memicu perang dagang.[39] Eropa bereaksi dengan mengabaikan kekhawatiran AS dan berkomitmen untuk menandatangani kesepakatan perdagangan yang komprehensif dengan China, mereka mengetahui sepenuhnya bahwa Trump akan keluar dari Gedung Putih. Hubungan transatlantik yang rusak parah telah membuat kerja sama menjadi sangat bermasalah—suatu hal yang ditekankan oleh Dalio. Macron dan Markel mengingatkan Biden—pada pertemuan publik pertamanya—bahwa aliansi Prancis-Jerman akan menjaga otonomi dan kepentingan Eropa. Pada pertemuan itu, Macron menekankan “otonomi strategis” dari AS, sementara Markel membela perjanjian perdagangan yang dicapai dengan China yang menyatakan “kepentingan kita tidak akan selalu bertemu”.[40] Ada sedikit optimisme bahwa hubungan antara benua Eropa dan Amerika akan membaik dalam waktu dekat.

Hubungan Amerika dengan Rusia juga anjlok ke titik terendah baru—tidak terlihat sejak tahap awal Perang Dingin—setelah menghadapi sejumlah batu sandungan selama bertahun-tahun. Tidak terpengaruh oleh asimetri kekuasaan, Rusia telah menantang keunggulan Amerika dan mendorong kembali pengaruh Amerika di Kaukasus, Ukraina dan Asia Tengah. Pada tahun 2008, Rusia menginvasi Georgia dan menduduki Ossetia Selatan, pada tahun 2014 mencaplok Krimea dan mengobarkan perang di Ukraina untuk menciptakan lingkup pengaruhnya sendiri di bagian timur negara itu. Rusia mampu mencapai ini, sambil menghadapi sanksi keras dan hukuman dari Barat. Di Asia Tengah, Rusia berhasil menggulingkan pengaruh Amerika di Uzbekistan dan Kirgistan. Mantan Menteri Pertahanan AS, Robert Gates menulis di The Wall Street Journal, tentang kekuasaan baru Rusia, dia berkata: “Kami ingin Rusia menjadi mitra, tetapi itu sekarang jelas tidak mungkin dilakukan di bawah kepemimpinan Putin. Dia telah memberikan tantangan yang tidak terbatas pada Krimea atau bahkan Ukraina. Tindakannya menantang seluruh tatanan pasca-Perang Dingin”.[41] Rusia lebih jauh membuat Barat khawatir dengan memotong pasokan gas ke Eropa selama bulan-bulan musim dingin yang keras, melakukan pembunuhan yang berani di tanah asing dan mencampuri pemilihan Amerika dan Eropa. Tampilan Rusia dari persenjataan siber canggih dan perangkat keras militer canggih dalam konflik Suriah dan di tempat lain mengungkapkan kepada pembuat kebijakan Amerika bahwa Rusia memiliki kecenderungan untuk menantang hegemoni Amerika di bidang-bidang tertentu.

Pertanyaannya: Bagaimana Amerika membiarkan ini terjadi? Bisa dibilang di tahun 90-an Amerika berada di puncak kekuatan ekonomi dan militernya, serta menikmati supremasi global sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia. Sementara Rusia berada di tengah-tengah krisis ekonomi dan politik yang mendalam. Rusia—yang tengah dalam pendarahan akibat pinjaman IMF—dalam posisi yang tidak dapat menghentikan ekspansi UE dan NATO ke bekas Eropa Timur. Juga, Kremlin tidak dapat mencegah Amerika menggusur pengaruh Rusia di Balkan. Hilangnya kapal selam Kursk (K-141) di Laut Barents pada tahun 2000, dan ketidakmampuan Kremlin untuk menyelamatkan awaknya menunjukkan seberapa jauh Rusia telah jatuh dari status kekuatan supernya.[42] Namun, selama dua dekade, Rusia dengan populasi yang menua dan ekonomi yang lemah mampu menegaskan kembali dirinya dan menantang Amerika. Kekuasaan yang sempit (hanya kekuatan militer) Rusia menunjukkan bahwa AS yang disibukkan oleh perang-perang yang membawa bencana di Afghanistan dan Irak, serta krisis keuangan global tidak mampu melawan perang Rusia secara spesifik di wilayah tertentu di dunia. Yang pasti Rusia tidak dapat menggeser kepemimpinan global Amerika, tetapi itu pasti dapat mengganggu rencana Amerika dan menggerogoti keunggulan Amerika di Eurasia.

Yang juga patut dipertanyakan adalah upaya AS untuk menahan kebangkitan China di Asia Pasifik. Sejak pertengahan tahun sembilan puluhan, Washington menganggap China sebagai musuh terbesar Amerika. Pemerintah AS berturut-turut bekerja dengan cermat untuk mencoba dan menjaga agar China tetap lumpuh di dalam perbatasannya melalui berbagai tindakan. AS melibatkan China dengan pembicaraan nuklir Korea Utara yang berlarut-larut—dengan sengaja menghindari penyelesaian permanen. Pada saat yang sama, Amerika mengeksploitasi pelanggaran hak asasi manusia China di Tibet, Xinjiang dan perlakuan terhadap kelompok agama Falun Gong untuk mendiskreditkan kepemimpinan China dan tetap fokus ke dalam.

Amerika menjadikan India benteng untuk menentang ekspansi China ke Barat. Washington meletakkan dasar bagi perang masa depan antara kedua negara dengan mendorong India untuk merombak kemampuan militer dan nuklirnya. Dalam upaya untuk mencegah ekspansi angkatan laut China, AS memasukkan India ke dalam Dialog Keamanan Segiempat (QSD). Dalam dekade terakhir, QSD—Amerika, India, China, dan Jepang—telah melakukan banyak latihan angkatan laut untuk mengirim pesan yang tidak menyenangkan ke Beijing agar tidak menjelajah di luar rantai pulau pertama dan kedua—tujuannya adalah untuk mengamputasi kaki laut China sebelum mereka tumbuh. Washington juga mendorong Vietnam, Filipina, dan Jepang untuk melibatkan China dalam sengketa wilayah yang sia-sia di Timur dan Laut China Selatan. Namun, andalan pengaruh Amerika atas China adalah Taiwan—ahli strategi Amerika memandang pulau itu sebagai kapal induk yang tidak dapat tenggelam—yang didukung AS dengan peralatan militer untuk menggagalkan segala upaya aneksasi dari daratan utama. Di sisi lain, China menganggap Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari satu China, dan sumber penghinaan besar selama pulau itu tetap berada di orbit Amerika.

Terlepas dari inisiatif keras Amerika yang dimaksudkan untuk menopang penahanan China, Beijing mampu mengatur negara itu pada jalur meteorik menuju dominasi regional. China dengan cepat naik menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia pada tahun 2010 menyalip Jepang, dan saat ini menikmati 17% dari PDB global, China berada di posisi kedua setelah AS.[43, 44] Dalam kurun waktu tiga dekade, ekonomi China sebagai persentase dari PDB nominal AS tumbuh dari 6% pada tahun 1990 menjadi 67% pada tahun 2019.[45, 46] Sementara PDB Uni Soviet yang pada puncaknya hanya 50% saja dari AS, dapat secara efektif bersaing dengan Amerika untuk supremasi global.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, kecakapan teknologi China meningkat secara substansial, terutama dalam 5G dan kecerdasan buatan. Ketua Alphabet Eric Schmidt terus-menerus memperingatkan tentang China yang menyalip AS dalam bidang kecerdasan buatan.[47] Di bidang militer, China membuat kemajuan luar biasa dalam mengurangi kesenjangan dengan Amerika. Pada tahun 2000, Departemen Pertahanan AS (DoD) mencatat “pasukan darat, udara, dan angkatan laut PLA cukup besar, tetapi sebagian besar sudah usang”.[48] Dua puluh tahun kemudian, DoD mengamati bahwa “China telah menyusun sumber daya, teknologi, dan kemauan politik selama dua dekade terakhir untuk memperkuat dan memodernisasi PLA dalam hampir segala hal. China sudah di depan AS di bidang-bidang tertentu”.[49] Peningkatan ekstensif dalam kemampuan militer China benar-benar mengkhawatirkan bagi ahli strategi militer AS.

Mungkin cacat dalam strategi penahanan China terletak pada keyakinan yang salah, bahwa dengan membatasi ambisi teritorial China dan secara bersamaan mengintegrasikan ekonomi China ke dalam sistem ekonomi global yang didominasi Barat akan memungkinkan AS untuk mendemokratisasikan dan mengelola kebangkitan China. Pada tahun 2000, Presiden Clinton membuat hubungan eksplisit antara pertumbuhan ekonomi dan promosi demokrasi sambil mendukung masuknya China ke WTO. Dia berkata, “Akibat bergabung dengan WTO, maka China setuju untuk mengimpor salah satu nilai demokrasi yang paling dihargai, yaitu kebebasan ekonomi. Semakin China meliberalisasi ekonominya, semakin membebaskan potensi rakyatnya”.[50] Dengan cerdik China membuka ekonominya sesuai dengan buku pedomannya sendiri—pertumbuhan ekonomi yang spektakuler tanpa harus PKC hilang kendali kekuasaan. Sementara Amerika membutuhkan satu dekade atau lebih, sebelum dapat menanggapi kesalahan dalam kebijakan penahanan China.

Pada tahun 2012, Presiden Obama mengumumkan strategi poros AS ke Asia yang telah lama ditunggu-tunggu, yang terutama terdiri dari reposisi 60% armada angkatan laut Amerika dari Eropa ke Asia Pasifik. Presiden Trump mengikuti pendahulunya dan memulai perang dagang dengan China yang secara khusus menargetkan industri teknologi tinggi China. Namun, sampai sekarang, tidak satu pun dari langkah-langkah ini telah merusak kemajuan China.

Beberapa pengamat seperti Dalio melihat kegagalan Amerika untuk menahan China, sebagai bukti bahwa China akan menggantikan Amerika untuk memimpin dunia dalam waktu yang tidak terlalu lama. Yang lain, seperti Fareed Zakaria dari CNN memperkirakan bahwa AS dan China akan menetapkan pengaturan bipolaritas yang mirip dengan AS-Soviet.[51] Pendapat ini didasarkan pada penilaian ulang kekuatan Amerika dan penurunan yang dirasakan.

Faktanya, beberapa pemikir kebijakan luar negeri terkemuka Amerika memperkirakan penurunan Amerika dua dekade lalu, tetapi menggambarkannya sebagai relatif daripada absolut. Pada tahun 1997, pada puncak kekuasaan Amerika, Zbigniew Brzezinski meramalkan kehancuran Amerika yang tak terhindarkan. Dia menulis di surat kabat The Guardian, “begitu kepemimpinan Amerika mulai memudar … apa yang akan Amerika wariskan kepada dunia …”[52] Haass menulis di Jurnal Foreign Affairs pada tahun 1999, yang meramalkan bahwa “superioritas AS pasti tidak akan bertahan” sebagai “posisi dan kebijakan Amerika, yang didasarkan pada memakan orang lain”.[53]

Tidak ada keraguan bahwa sebelum Covid-19 polarisasi sistem politik Amerika dan lemahnya kekuatan nasionalnya—khususnya kekuatan ekonomi dan militer—berkontribusi pada kemunduran negara terkemuka dunia. Memburuknya hubungan Amerika dengan Eropa, dan dorongan balik dari Rusia dan China membuat keunggulan Amerika semakin surut. Selain itu, Amerika yang melemah juga menyiratkan Barat yang melemah. Penanganan virus corona yang buruk di Barat telah sangat merusak kepercayaan pada kepemimpinan Amerika dan Eropa. Nasionalisme vaksin telah memberikan stigma buruk lainnya pada kompetensi Barat untuk memimpin. Hal ini sangat kontras dengan diplomasi vaksin yang dilakukan oleh Rusia dan China untuk meningkatkan citra mereka di antara negara-negara miskin di dunia.

 

Peluang Kaum Muslim

Dengan keluarnya dunia dari epidemi, sangat jelas bahwa hegemoni Barat atas dunia tidak akan pernah tetap sama (Lihat: QS al-A’raf [7]: 34).

Di sinilah letak peluang bagi negara-negara Islam untuk membebaskan diri dari dominasi Barat  [Adnan Khan. Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 26/05/2021]. [Abdul Majeed Bhatti]

Sumber:

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi